#2 Basket dan Dita.

46 4 2
                                    

Sudah 1 minggu lamanya Adi bersekolah disini. Ia tak pernah memperlihatkan hal - hal yang menunjukkan ia memiliki hobi, atau apapun. Ia terlihat monoton, yang ia lakukan hanya datang ke kelas, belajar, istirahat, belajar lagi, pulang. Hanya itu.

Aku tak mengerti mengapa aku memikirkan Adi sejauh itu, mungkin karena ia berbeda dengan saat pertama kali aku melihatnya. Kini ia lebih pendiam. Tetapi sikapku yang dingin membuatku acuh.

"Senja! Ke kantin yuk!" Kata Dita. Anak yang riang, cerewet, tak bisa diam itu selalu saja berusaha merubah sifatku. Meski begitu, ia adalah seorang sahabat yang sangat mengerti aku, walaupun sifatku yang dingin ini.

"Males." Kataku datar sembari membuka laptopku.

"Ngga seru, emang ngga pernah seru." Ia menampakkan wajah kesalnya.

"Bodoamat, dih manyun. Jelek." Aku memang dingin, tapi tak sedingin yang kalian kira. Aku tetap bisa bercanda. Yaaa setidaknya dengan Dita.

"Biarin jelek, timbang ngeselin. Ayoooo ikut ke kantin, cuma temenin doang susah banget, mageran ih." Wajahnya yang kesal justru membuatku tertawa.

"Bilang aja biar nggak keliatan jomblo." Kataku mengejek.

Lama kelamaan jika dilihat, wajah kesal itu justru lucu, karena pipinya yang seperti balon, membuat manusia dingin ini bisa tertawa.

"Yaudah ayok, dasar jomblo."

"Kayak sendirinya ngga jomblo aja, sama cowok yang paling pinter aja ngga mau." Ia selalu menggodaku, tetapi aku tak pernah mempedulikan itu.

"Dih bodoamat, suka suka lah."

Yaa sifatku memang dingin, tetapi wajahku cukup manis, itulah yang dikatakan sebagian dari teman - temanku. Selain Dita, keluarga dan pelajaran di sekolah, aku hanya peduli pada hobiku, musik dan basket.

Dita dan aku sama - sama menyukai basket, kami berdua pun tergabung di tim basket sekolah. Hanya saja Dita suka berdandan layaknya wanita feminim lainnya. Sedangkan aku terlalu cuek dengan outfit yang kukenakan.

Kantin dengan kelasku cukup jauh, ujung ke ujung. Itu cukup membuat Dita mengoceh sekitar 100 kata mungkin keluar dari mulutnya. Ia selalu tak jelas, namun cukup asik buatku yang berbicara seadanya.

Meja nomor 7 selalu menjadi tujuanku. Dekat dengan taman sekolah, itu cukup menenangkan dari ricuhnya kantin saat istirahat tiba. Dita memesan 1 mangkuk bakso dan teh hangat. Dita anti dengan es, jika minum es suaranya hilang seketika.

"Yey, makanan datang." Aku hanya melirik kan mataku padanya yang makan dengan lahap.

Dita makan cukup lama, dan itu membuatku bisa mendengarkan beberapa lagu yang ada di playlist musikku. Dita mengerti ketika ia makan dan ia berbicara denganku, aku takkan meresponnya, karena aku selalu menggunakan earphone dengan volume yang keras.

Ya begitulah Dita, sifat bertolak belakang, tetapi aku tak pernah terganggu dengan sifatnya yang selalu ingin tahu itu, karena ia mengerti latar belakangku sejak kecil.

Dark Dusk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang