Tiga gadis cantik tengah bercakap-cakap sambil berjalan menelusuri lorong kampus. Ketiganya sudah tidak ada kelas, sedangkan jam sudah menunjukan pukul empat sore.
Di antara tiga gadis itu, satu yang paling mencolok. Chelsea namanya, si primadona kampus ini. Gadis itu berdarah campuran. Wajahnya cantik sekali, jika tersenyum pipinya menggembung manis, yang melihatnya pasti ingin sekali mengigit pipi Chelsea itu.
"Chelsea, Jason sudah pulangkah?" Tanya salah satu teman Chelsea yang bernama Shania. Gadis menjulang itu sudah mengenal Chelsea sejak dua tahun yang lalu. Wajahnya manis dengan kulit eksotis.
Jason merupakan adik Chelsea. Usianya berbeda dua tahun di bawah Chelsea sendiri, namun tubuhnya jauh lebih menunjukan seperti Chelsealah adik Jason. Jason memiliki tinggi menjulang, tampan dan juga cerdas.
"Belum, beberapa bulan lagi. Katanya, ia mau kuliah di sini," Chelsea tersenyum. Gadis itu tahu dengan jelas, Shania temannya sangat penasaran dengan Jason adiknya.
"Lalu bagaimana dengan Edgar?" Kali ini Michelle yang bertanya. Ia teman Chelsea juga. Michelle memiliki kebiasaan aneh, gadis itu suka sekali 'mengintip' media sosial orang lain. Beberapa kali Michelle mengintip ketampanan Edgar, kakak lelaki Chelsea di laman akun Instagram lelaki tersebut.
Chelsea tertawa pelan. "Aku tidak tahu dengan Kak Edgar, ia lebih suka berada di apartemennya. Katanya lebih dekat dengan kantor."
Edgar tinggal di apartemen. Jarak antara apartemen dengan rumah adalah 16 KM. Tidak terlalu jauh, namun jelas apartemen dengan kantor jauh lebih dekat dibandingkan dengan rumah.
Dua gadis itu menganggukan kepala, mengerti. Mengagumi keluarga Mikael sudah menjadi kebiasaan Shania dan Michelle sejak lama.
"Oh shit. Masih belum bisa aku maklumi, di dalam kampus kita ada pemandangan jelek seperti ini, mahasiswa mengantre untuk bisa menaiki lift," Michelle menggerutu sebal.
"Maksudmu?" Tanya Shania pada Michelle, alisnya tampak berkerut.
"Harusnya pihak kampus menyediakan banyak lift. Mengantre adalah hal yang sangat menyebalkan dan menuruni anak tangga jauh lebih menyebalkan."
"Kau tidak ada berubahnya, gadis manja," cibir Shania meski di dalam hati ia pun menyetujui perkataan Michelle. Mengantre adalah hal menyebalkan, namun menuruni anak tangga jauh lebih menyebalkan.
"Ehm. Aku duluan," Chelsea pamit, ia melambaikan tangan pada dua temannya. Shania dan Michelle tidak habis pikir, Chelsea mau berlelah ria dengan menuruni tangga darurat seperti biasanya.
Sudah menjadi kebiasaan memang, Chelsea lebih memilih menuruni tangga darurat dibandingkan menggunakan lift atau pun tangga yang umum digunakan. Tidak apa-apa ia menuruni tangga darurat dari lantai lima sampai lantai dasar, Chelsea tidak terlalu suka berdesak-desakan di dalam kotak manusia itu. Ia lebih suka dengan suasana sunyi.
Peluh membanjiri dahi dan leher Chelsea, kakinya terasa pegal. Tangga darurat sedikit gelap, hanya ada lampu berwarna kuning di setiap sudut tangga.
"Oohh, nikmaaat ahh!"
Plak. "Ohh, Dasar perempuan murahan! Kau meminta dosenmu ini untuk menyetubuhimu?"
"Ya.. ahh ya, aku perempuan murahan. Ohh nikmaaat sekali."
Chelsea menghentikan langkah kakinya, matanya memicing dengan pendengaran yang mencoba ditajamkan. Ia mendengar sebuah percakapan dibumbui dengan desahan-desahan yang sangat terdengar menjijikan. Bagaimana tidak menjijikan? Desahan itu berada di gedung kampusnya, di sekitaran tangga darurat.
Kaki Chelsea dilangkahkan dengan sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara yang bisa membuat percakapan yang dibumbui desahan-desahan itu bubar karena menyadari kehadirannya. Chelsea takut, namun rasa penasaran terasa mendominasi di dirinya. Siapa gerangan yang berani mesum di gedung kampus ini.