Kesendirian telah melekat padaku kala itu. Tawa, canda orang-orang yang seringkali kulihat dan kudengarkan membuat hatiku iri.
Aku kerap membayangkan bagaimana jika aku bermain bersama teman-teman di sekolahku. Aku kira setelah berpindah sekolah aku akan mendapatkan teman baru. Namun, pribadiku sebagai orang yang tidak memiliki teman masih tetap bertahan.
Kesunyian terus menyambutku dalam setiap langkah hidupku selama 15 tahun ini tanpa seorang teman dalam hidupku. Kau pasti merasa hidupku hampa, ‘kan?
Ya, memang dulu aku adalah wanita yang kesepian. Namun, karena tingkah konyol seorang pria membuatku tersenyum riang, bahkan ia ‘membantuku’ memperoleh teman baru di hari itu. Mungkin aku akan menceritakan kejadian itu, hari ketika aku terlahir kembali.
Kala itu, ketika langit perlahan menjadi jingga dan jarum jam menunjuk di angka 4, aku baru selesai mengukuti ekstrakulikuler seni lukis.
Aku lupa bahwa aku meninggalkan buku catatanku di laci meja. Aku bergegas melangkahkan kaki menuju kelasku yang berada di lantai 4. Ruang ekskul-ku sendiri berada di lantai 2. Kurasa, setelah sampai di rumah nanti, aku ingin minta tolong siapa pun di rumah untuk memijatku.
Sesampainya di kelas, aku langsung merogoh laci di bawah mejaku, lalu mengambil buku catatan dan memasukannya ke dalam tas. Namun, ketika aku melihat sekeliling kelas, aku masih mendapati beberapa kertas dan bungkus permen maupun roti yang berserakan. Yang piket hari inni nggak niat bersih-bersih, ya? pikirku.
Ya, mau bagaimana lagi. Aku menaruh tasku, memutar lagu dari handphone yang kutaruh di dekat jendela dan mengambil sapu untuk memulai ‘bersih-bersih’. Alunan lagu dari Hearts Grow yang berjudul ‘Yura Yura’ menggema dalam ruang kelas saat aku membersihkan setiap senti lantai keramik putih di kelas ini.
Tak terasa empat menit lebih berlalu, aku selesai membersihkan ruangan bersamaan dengan musiknya yang telah selesai diputar. Sip! Udah beres, batinku. Aku menaruh sapu pada raknya yang berada di bagian belakang kelas. Tiba-tiba, suara perutku melolong bak serigala yang sudah tak tahan untuk menerkam mangsanya.
Aku lapar. Sesaat, aku membayangkan mie rebus dua bungkus ditambah dua telur bakal terasa enak. Yosh! Saatnya kembali ke rumah dan memasak apa yang kuinginkan.
Aku pun melangkah ke arah jendela untuk mengambil handphone-ku dan mematikan musik. Sesaat, terdengar suara ayam yang mengeluarkan rentetan suara ‘petok-petok’ diikuti suara air dan seorang pria berteriak dengan nada marah. Aku langsung memandang keluar jendela, mengarah pada kolam renang di belakang sekolah. Kebetulan, sekolahku adalah salah satu sekolah ‘orang-orang kaya’, dan—mungkin—aku adalah satu-satunya orang paling miskin di sekolah ini.
"Woi, ayam goblok!" teriak seorang pria.
Aku tertawa melihat pria itu. Meski ia masih mengenakan seragam putih abu-abu, ia melompat ke dalam kolam renang hanya untuk menyelamatkan ayam yang ‘nyemplung’ ke dalamnya.
Aku terus tertawa melihat tingkah konyolnya yang sedang mengeluarkan ayam itu. Anehnya, ia masih saja berteriak protes kepada ayam yang jelas-jelas nggak bisa bicara. Kurasa sudah lama aku tidak tertawa sebahagia ini. Aku bahkan hampir tidak ingat kapan terakhir kali aku tertawa.
Aku masih terus tertawa sembari memegangi perutku hingga aku tak menyadari seseorang berada di belakangku.
“Lho, Matahari?”
Aku menoleh ke belakang Seorang wanita dengan seragam putih abu-abu, berambut pendek sebatas dagu sedang menatapku penuh senyum.
Aku terdiam sejenak mengingat nama teman sekelasku itu. “Ehm... Rima?”
“Kok kamu ada disini?” lanjut Rima. “Bukannya kamu udah pulang?”
“Bukuku... ketinggalan di laci....” Aku merasakan badanku sedikit gemetar. Aku sama sekali belum pernah berbicara dengan teman sekelasku seperti ini.
“Oh.... Terus, kamu ngetawain apa?”
Aku mengarahkan pandanganku ke arah kolam. “Itu... ada cowok aneh....” Aku masih saja tertawa kecil saat melihat lelaki itu. Saat Rima ikut memandanginya, ia sudah memberikan ayam itu pada tukang kebun sekolah dan mulai memeras bajunya yang sudah basah semua.
Rima mulai ikut tertawa terbahak-bahak. “Eh, gokil! Mau-maunya dia nyelametin ayam!”
Aku pun tertawa terbahak-bahak bersama Rima. “Iya. Kok bisa ya ayamnya masuk kolam....”
Kami membiarkan tawa kami lepas selama beberapa saat. Mungkin ini pertama kalinya berbagi tawa selama ini dengan seseorang. Sangat menyenangkan apabila aku bisa berbagi apapun dengan seorang teman.
“Lucu ya, tadi,” ujar Rima. Tawa kami pun akhirnya berhenti. Ia pun melanjutkan, “Aku kira kamu orangnya kaku, lho.... Aku nggak tahu kalo kamu bisa ketawa kayak tadi. Aku boleh minta nomormu, nggak?”
Sontak aku merasakan perasaan hangat yang menjalar dalam hatiku. “Nomor? Buat... apa?”
“Ya... aku pengen kenal sama kamu. Sekalian kita pulang bareng aja, yuk!Aku merasa kedua mataku sedikit basah. Kuharap Rima tidak menyadari aku sedang menahan rasa ingin menangis karena terharu. Aku melihatnya tersenyum kepadaku. Mungkin sudah saatnya aku membuka lembar kehidupan baru yang mungkin akan kuiisi dengan kebahagiaan.
“Boleh,” jawabku seraya membalas senyum Rima.
Semenjak saat itu, aku berteman baik dengan Rima dan mendapatkan teman baru lagi dari teman-temannya. Aku takkan pernah melupakan jasa pria kocak itu. Tidak hanya menyelamatkan si ayam, tetapi ia juga menarikku keluar dari penjara kesendirianku selama ini. Mungkin suatu hari nanti aku ingin berkenalan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bawalah Aku Dalam Candamu
Historia CortaKisah Maatahari, seorang gadis kesepian yang mulai mengenal berbagai emosi karena seorang pria.