Prolog

58 5 34
                                    

Langit hitam bertabur bintang ditemani rembulan, diam kokoh memandang kota di bawahnya dengan sinarnya. Kota kecil tersebut begitu tentram dan terlelap dalam mimpi indahnya, walau tak sadar ada sesosok bercahaya terbang melintasi atap bangunan. Sosok itu adalah seorang lelaki rupawan. Rambut pirangnya berkibar-kibar dipermainkan angin. Iris mata emas menatap tajam seperti elang. Sepasang sayap putih besar mengepak-ngepak lembut melawan angin dan sebuah lingkaran emas bercahaya di atas pucuk kepalanya. Seluruh pakaian dan jubah panjangnya berwarna putih dengan rajutan benang emas berkibar-kibar, menyembunyikan sesosok makhluk kecil dalam dekapannya.

Sedangkan di belakangnya, tampak lima orang berjubah serba hitam mengejarnya, bahkan pedang yang terus terhunus ke depan. Semua sosok itu memiliki sepasang sayap juga, namun tidak semenawan orang di depannya. Sayap hitam mereka seperti kelelawar dimana tulang rangka diselimuti selaput tipis. Di sela-sela rambut mereka, tampak dua tanduk hitam dengan ujung melengkung terhias atas kepala. Kulitnya berwarna putih pucat pasi layaknya mayat hidup. Kedua iris semerah darah dan pupil yang memipih. Seluruh kuku jarinya memanjang tajam dan berwarna hitam pekat.

“Serahkan anak itu sekarang juga!” seru sosok yang terbang pada urutan pertama.

Pria serba putih itu mendecih melihat para pengejarnya semakin dekat. “Hah! Dalam mimpimu, Iblis Busuk.” Dia segera mengepakkan sayapnya dengan cepat.

Namun, para iblis di belakangnya juga bertambah serius mengejarnya, bahkan dua di antara mereka mengeluarkan bola api di tangannya dan melempar ke depan. Untungnya dia menyadarinya dan terbang menukik ke bawah. Sosok kecil di baliknya jubahnya mulai menggeliat tak nyaman.

“Bersabarlah, Nak. Kita akan segera sampai.” Diusapnya pucuk coklat gelap tersebut penuh lembut, bermaksud untuk menenangkannya.

Tanpa sadar, puluhan bola api kembali menyerang bertubi-tubi, membuatnya makin kewalahan menghindar dari serangan iblis. Sayangnya, salah satu bola api yang dilempar berhasil mengenai tulang sayapnya.  Suara bedebum terdengar keras pertanda mereka berhasil.
Terlihat pria tersebut bangkit kembali dan berlari lurus melewati toko-toko. Sayap sebelah kirinya perlahan mengeluarkan darah merah akibat serangan tadi. Helai-helai bulu yang tadinya putih bersih menjadi hitam kemerahan. Kini, dia tidak akan bisa terbang untuk sementara waktu, kedua sayapnya sudah di sembunyikan, begitupun dengan lingkaran halo.

“Sial. Aku harus mencari tempat sembunyi,” batinnya saat menegok ke belakang. Puluhan anak panah api yang siap meluncur. “Ck! Benar-benar merepotkan.”

Dia menengok kanan-kiri, hingga akhirnya sebuah bangunan tua dan lusuh tampak berdiri kokoh di antara rimbunan pohon. Atapnya berbentuk segitiga dengan salib kecil berdiri menjulang tinggi.

Jarak antara mereka dan bangunan tersebut sekitar seratus meter, namun dia malah berhenti lari. Para iblis yang mengejarnya juga ikut berhenti tanpa memadamkan panah api.

“Akhirnya kau menyerah juga,” ucap iblis yang terbang paling depan.

“Menyerah? Maaf itu tidak ada dalam kamusku.”

“Grrr! Kurang ajar! Matilah kau!” Dengan penuh emosi, Iblis tersebut meluncurkan seluruh anak panah api secara membabi buta. Pohon-pohon yang tertancap panah langsung terbakar dan berubah menjadi abu dalam sekejap. Debu-debu bertebaran dimana-mana membuat tak bisa melihat keadaan pria itu.

Keempat teman lainnya justru memarahinya karena sudah membunuh malaikat dan sosok kecil yang daritadi dibawanya.

“Bah! Mau bagaimana lagi? Serangga itu benar-benar membuatku kesal,” gerutunya.

“Ya, tapi bagaimana dengan anak itu? Yang Mulia menyuruh kita untuk membawa anak itu hidup-hidup. Kalau kita gagal mendapatkannya, menurutmu apa yang akan terjadi?” balas Iblis paling terbelakang. Sebagai Iblis rendahan sudah seharusnya dia menjalankan misi dengan baik, apalagi perintah pencariannya diturunkan langsung dari Raja.

I am A NephilimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang