[01] : Outset

386 35 37
                                        

I : I let you set the peace.

.
.
.
.
- o0o -


Derai hujan di luar sana yang entah sudah berapa hari mengguyur daerah Daegu sepertinya enggan memberikan sedikit kebebasan kepada para penghuni bumi di sekitarnya untuk menjalankan rutinitas mereka sehari-sehari, seperti biasa.

Alunan musik yang mendominasi cuaca saat ini terdengar di dalam salah satu Cafe, dan dapat dinikmati hingga ke para pejalan kaki di luar sana. Kiss The Rain, salah satu karya Yimura, begitu populer untuk diminati para penikmat nada. Sekiranya, begitulah yang mereka ketahui tentang seluk-beluk lantunan merdu yang satu itu.

Seokjin menikmatinya. Hawa hangat dari uap Tiramisulatte, minuman favoritnya ketika tengah dalam waktu senggang. Terlebih sekarang adalah musim hujan yang cuacanya sudah tak dapat diperkirakan lagi. Tepat sekali.

Lagipula sebenarnya, Seokjin memang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melamun seperti saat sekarang---menatap kosong pada jendela kaca transparan Cafe yang berembun. Melihat orang-orang yang berlalu-lalang dengan payung bervariasi warna, serta larian kecil mereka ketika menyeberang jalan atau melewati trotoar, yang justru malah membuat pemuda manis itu sesekali terkekeh pelan. Tanpa suara. Entah mengapa, ia berpikir jika apa yang di lihatnya adalah sebuah lelucon semata untuk menghibur diri.

Membosankan. Menurutnya.

Pandangan pemuda itu masih sibuk terfokus pada eksistensi di luar sana, sementara jemari-jemari lentiknya sibuk mengaduk Tiramisulatte-nya yang dengan sengaja dibiarkan menguap bebas di udara, dan itu berlangsung selama sepuluh menit lebih. Pun, hujannya kian menderas diselingi gemuruhan samar di atas sana.

Hingga dibeberapa menit terakhir, kedua pupil mata indah berwarna cokelat kelam itu sedikit membesar; menghasilkan raut wajah yang tak dapat diartikan ketika pandangannya menangkap seorang pemuda berpakaian serba hitam dengan payung yang senada---tengah menyeberang di jalanan beraspal yang basah di luar sana, sedikit berlarian kecil seperti orang-orang yang sebelumnya ia lihat.

Tubuh Seokjin menegang. Bibir ranumnya terlihat bergetar dan tanpa sadar jari-jarinya membentuk sebuah kepalan dengan satu sisi meremas kain celana, respon dari tubuhnya seolah-seolah baru saja melihat hantu. Lalu, bagaimana jika yang di lihatnya tadi memanglah hantu?

Dengan secepat mungkin, Seokjin menggelengkan kepalanya pelan, berusaha menyadarkan lamunannya beberapa saat. Pemuda itu, pemuda yang baru saja di lihatnya beberapa detik yang lalu; terlalu nyata untuk retinanya menangkap sesosok bayang.

Tidak mungkin! Sesaat, keraguan terbenam dalam dirinya. Perlahan Seokjin bangkit, menghasilkan suara deritan kursi dengan lantai Cafe; menyita sebagian atensi. Lalu, tanpa perlu menimang-nimang, dengan segera Seokjin berlari tergesa ke luar Cafe---mengambil jalur yang pemuda itu lalui, kemudian nekat menerobos jalan raya begitu saja tanpa melihat terlabih dahulu apa yang akan ia hadapi. Pun, tanpa memperdulikan para pengendara yang mengumpat karena ulahnya yang bisa disebut mencari mati. Perlu diingatkan, karena Seokjin meninggalkan ponselnya di atas meja Cafe dalam keadaan berdering; sebuah panggilan masuk.

Semoga saja. Semoga saja. Semoga saja.

Seokjin merapalkan kalimat itu berulangkali, nekat menembus deruan hujan yang masih mengguyur deras ke permukaan bumi. Dapat ia rasakan bagaimana setiap inci kulitnya seolah terhujam oleh partikel-partikel cair dengan suhu dingin yang seolah membekukan tubuh.

Seokjin tak perduli. Yang terpenting sekarang adalah---sial! Tanpa sadar, Seokjin mengumpat dalam hati. Lariannya perlahan terhenti, kemudian secepat mungkin mengedarkan atensi ke segala arah pandang, yang sialnya, ia malah kehilangan arah. Arah ke mana pemuda itu melangkah, secepat angin.

Semoga saja, bukan dia.

Masih ia rapalkan bagaikan sebuah mantra ajaib, dan yeah, Seokjin berharap ia memang hanya sedang berkhalusinasi saat ini. Akan tetapi, pemuda berwajah manis yang hampir, atau lebih tepatnya tak bisa ia lupakan sejak tujuh tahun terakhir itu benar-benar terlihat nyata. Terlalu nyata hingga rasanya ia sedang bermimpi di tengah siang bolong. Namun, apakah benar semua ini hanyalah mimpi?

Entahlah. Semoga saja.

"Aku harap itu bukan kau." Seokjin membatin, menelisik bisu ke dalam hati kecilnya. Napasnya masih tersenggal dan tak beraturan, yang sebisa mungkin ia kontrol kembali.

Hujannya masih tetap mengguyur. Segera setelah seperkian menit mematung pada jalanan empat arah di lampu merah, Seokjin melangkah pergi, kembali ke Cafe lagi, yang baru ia sadari telah meninggalkan ponselnya di sana. Seokjin mengusak rambutnya yang sedikit basah, kemudian memasang tudung hodie abu-abunya, lantas kembali mengatur langkah.

.
.
.

___**___

Atheflour Cafe.

Tempat di mana Seokjin kerab menghabiskan waktu hanya untuk sekadar melamun sepanjang hari, yang pastinya selalu ditemani dengan secangkir Americanolatte, atau Tiramisulatte. Tanpa pernah berinteraksi dengan siapapun, barang sekali dengan para pelayan Cafe, yang diketahui hingga saat ini belum ada seorang pelayan pun yang dapat mendengar Seokjin berbicara, barang sepatah kata, kendati memang diyakini hanya menggunakan tulisan tangan langsung ketika memesan. Sepertinya dia bisu.

Begitulah Seokjin dari segi pandang para pegawai Atheflour Cafe. Semua itu berlangsung selama enam bulan terakhir semenjak Seokjin benar-benar telah menemukan tempat yang menurutnya paling nyaman sebagai pelampiasan kekosongan hidup.

Tling!

Lonceng pada bagian pintu Cafe berbunyi, menandakan jika ada pelanggan yang datang atau pergi, ketika suara deritan pintu yang didorong saling beradu dengan lantai berbunyi.

Seorang pemuda manis berhodie abu-abu dalam keadaan basah kuyup melangkah masuk, lantas berjalan ke arah meja nomor tujuh di bagian pojok dekat jendela kaca Cafe, yang konyolnya ia malah menjadi pusat perhatian. Oh, persetan dengan mata mereka!

Pemuda manis itu--Seokjin--terlihat begitu memesona dengan rambut basah yang terkesan lebih, menampilkan setiap pahatan wajah menawannya. Kedua iris brown yang cerah, bibir ranum yang berisi, proporsi bahu dan pinggang ideal yang biasa disebut dengan doritos, serta tubuh jangkung dan kaki jenjangnya yang seolah mengalihkan setiap jengkal fokus retina. Cukup menyita pandangan kagum, lebih tepatnya. Oh, ayolah, manusia mana yang tidak akan terpesona dengan wajah kelewat rupawan yang dimiliki oleh Kim Seokjin?

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Dela---

Seokjin menghitung langkah, lantas terhenti pada meja keenam. Kemudian langkahnya terpaku, menatap lamat-lamat sebuah benda familiar di samping ponselnya, tatkala pandangannya kini malah menangkap sebuket bunga smeraldo tergeletak rapi di atas meja nomor tujuh--mejanya--tepat di samping ponselnya. Seokjin tertegun, dia sedikit terkejut karena ini adalah kali pertama si pengirim memberikannya sebuket smeraldo. Di sini, Atheflour Cafe. Tempat umum dengan berbagai pasang mata yang mengawasi.

Seokjin rasa, kali ini akan jauh lebih menantang.

To Be Continued ....
.
.
.
.

Hallo ^_^

Untuk para pembaca chapter first kali ini dan prolog sebelumnya, terima kasih banyak karena sudah mau meluangkan waktu untuk mampir dan membaca :') oh iya, tetap jaga kesehatan kalian semua ya ^^

Aku harap semoga selanjutnya, epep ini lebih banyak yang tertarik lagi >< (3h3h3 😅) mohon kerjasamanya ^^

Jangan lupa untuk Vomentnya ya Juseyo :* kutunggu tanggapannya juga :')

Sekian, terima cinta dari Jjinnie 💜

Tertanda; AiLeeCort - Lola Sinta

Hogwarts [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang