Tristful-8

2.5K 387 19
                                    

Hal pertama yang Jungwoo lihat setelah membuka mata adalah tembok putih yang kosong tanpa hiasan apapun, ia mengedarkan pandangan dan tersadar kalau dirinya sudah tinggal di apartemen Jaehyun sekarang. Sejujurnya ia masih belum terbiasa terbangun di tempat asing meski ini sudah berlangsung selama tujuh hari.

Aroma roti yang dibakar bersama mentega tercium indera penghidunya, ia yakin lelaki yang sudah menjadi pendamping hidupnya itu sedang memasak di dapur. Sejak hari pertama tinggal bersama, Jaehyun selalu begitu. Padahal, Jungwoo sudah menegaskan bahwa hubungan di antara mereka hanya sebatas 'kawan berbagi rumah selama dua bulan.'

Dengan helaan napas panjang, ia membuang selimut putih yang membungkus tubuhnya lalu berjalan ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan mencuci muka sebelum bergabung dengan Jaehyun di dapur.

Sudah ada dua gelas jeruk yang tersaji di atas meja, setumpuk roti dan beberapa botol selai juga ada di sana. Jungwoo hanya melirik sekilas sebelum membuka kulkas dan mengambil apel dan susu dari sana kemudian menuangnya ke gelas baru.

"Makan dulu."

"Aku tidak akan makan bersamamu."

"Terserah, tapi kau harus tetap makan," ucap Jaehyun pelan.

Jungwoo melirik sinis, "Makan saja sendiri, aku tidak mau."

"Aku simpankan roti di lemari, ya?"

Tidak ada jawaban dari si pemuda Kim tapi Jaehyun tetap bergerak, mengoleskan selai cokelat, kacang dan strawberry ke atas permukaan roti karena ia tidak tahu selai mana yang disukai Jungwoo.

"Kenapa kau melakukan ini, Jung Jaehyun?"

Kegiatan Jaehyun terhenti dan berbalik menatap Jungwoo.

"Karena kau tanggung jawabku sekarang, aku harus memastikan kau baik-baik saja."

"Perhatikan saja dirimu sendiri, tidak usah mengurus hidupku, sialan!"

Gelas dibanting ke atas meja membuat beberapa tetes mengotori taplak linen berwarna putih.

Kalimat yang diiucapkan Jungwoo membuat Jaehyun menghembuskan napas panjang, menatap punggung kecil lelaki itu yang sudah keluar dengan langkah keras, kemudian beralih pada setumpuk roti bakar di meja. Ia menggaruk kepala, mungkin lebih baik membawanya sebagai bekal ke kantor daripada dibuang sia-sia.

***

"Aku akan pulang pukul sembilan malam, kantor sedang sibuk menjelang—

—oke."

Jaehyun bahkan belum menyelesaikan kalimatnya tapi Jungwoo sudah memotong dengan satu kata pendek yang membuatnya menahan diri untuk tidak menjitak lelaki yang kini duduk di depan televisi dengan celana piyama dan baju kaos kebesaran.

"Kau tidak akan keluar?"

"Bukan urusanmu, Jung Jaehyun."

"Hubungi aku kalau kau ingin pergi."

"Aku bilang, bukan urusanmu." Suara Jungwoo terdengar sinis membuat Jaehyun mengalah dan menyambar kunci mobil.

"Ada kunci cadangan di belakang pintu. Aku pergi dulu."

Bola mata Jungwoo hanya berotasi malas, tidak punya keinginan sedikit pun untuk menanggapi kalimat-kalimat yang dilemparkan Jaehyun.

Ia mengambil ponsel yang tergeletak begitu saja di atas meja, benda elektronik tersebut masih geming, tidak menunjukkan tanda bahwa seseorang menghubunginya.

Punggungnya menyandar ke sofa empuk, ada rindu di dalam hati yang semakin menumpuk, perasaan yang tidak semestinya ia miliki setelah mengucap sumpah di depan altar bersama Jung Jaehyun.

***

"Ada apa dengan wajah pengantin baru ini?"

Jungkook yang masuk bersama setumpuk berkas baru membuatnya menghembuskan napas keras-keras, pemuda Jeon di depannya hanya tertawa, menikmati sekali menyiksa sahabatnya yang sudah terlihat lelah dan bosan.

"Belum pulang?" matanya mengerling jam di belakang Jaehyun, jarum pendeknya sudah menuju angka sebelas malam, pertanda jam kerja sudah selesai sejak berjam-jam lalu.

"Dan meninggalkanmu bersama tumpukan pekerjaan ini? Aku tidak sejahat itu Jeon Jungkook."

Jungkook mengangguk kecil, "Tapi aku lebih senang kau pulang dan memeluk siapa namanya?"

"Jungwoo?"

"Nah iya," Jungkook menghela napas, "Kau stress sekali sepertinya."

Sahabatanya itu benar, selain pekerjaan, yang mengisi otaknya saat ini hanyalah berpuluh-puluh pertanyaan perihal masa depan rumah tangganya yang bahkan baru berumur satu minggu.

Sesungguhnya ia tidak tahu bagaimana cara membuat Jungwoo bertahan, enam puluh hari terlalu singkat untuk jatuh cinta meski dia masih memiliki sedikit optimisme dalam hati.

Matanya beralih pada Jungkook yang sedang membuka berkas, wajah sahabatnya itu terlihat begitu serius, Jaehyun menghela napas, kehidupan percintaan Jungkook berjalan baik-baik saja. Ia tahu jelas, berkencan dengan Kim Taehyung yang lebih tua setahun darinya membuat Jungkook bebas bersikap kekanakan meski sisi dewasa kadang muncul di saat tertentu mengingat bagaimana sifat Taehyung yang tidak tertebak.

Di antara sahabat-sahabatnya, bisa dibilang hanya lelaki Jeon inilah yang paling berpengalaman sebab berhasil mempertahankan hubungannya sejak sekolah menengah sampai mereka sudah mapan seperti sekarang.

"Sudah selesai menatapku?"

Jaehyun berdecak seraya menyingkirkan tumpukan map di atas meja.

"Bagaimana cara membuat Taehyung-hyung jatuh cinta padamu?"

"Hah?" berkas di tangan segera diletakkan, matanya beralih pada Jaehyun yang berpangku tangan.

"Kau serius menanyakan itu?"

Anggukan yang diberikan sang sahabat membuat Jungkook menggaruk kepala, "Karena aku tampan, baik hati, senang membantu, punya pekerjaan bagus."

"Jawaban apa itu?" Jaehyun mendengkus.

"Hahahaha, aku bercanda!"

"Aku serius Jeon atau kupecat kau hari ini juga."

"Ey, bos kecil marah-marah."

Jaehyun menyerah.

"Kau mau tahu caranya?"

Ia tidak menggubris Jungkook yang kini memajukan badannya.

"Cukup jadi dirimu sendiri dan hujani dia dengan perhatian berlebih, tunjukkan kalau kau serius dan benar-benar mencintainya."

Badannya kembali tegak, merapikan setelan jas kelabu yang dikenakan hari ini.

"Aku pulang dulu, Taehyung-hyung pasti sudah rindu," katanya yang membuat Jaehyun ingin melemparnya dari lantai tujuh.

***

tristfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang