"Wake up, Kid. School time." Gorden berwarna putih terang disingkap. Hangat menerobos ruangan dengan pendingin bersuhu rendah. Sayang, yang dituju terlanjur bergerumul dalam selimut tanpa berintensi untuk bergerak.Pria berusia 28 tahun menarik nafas dalam. Menghisap rokok pertamanya pagi ini yang terjepit manis pada buku jarinya. Tubuhnya merendah, berusaha menyamakan tinggi dengan wajah gadis yang tenang dalam tidurnya. Dia tersenyum licik, membuka sedikit selimut yang bebas dari cengkraman jari - jari pendek maskot kesayangannya.
WUSHH
Asap abu - abu terhembus dalam satu lenguhan nafas.
"MAU KUHAJAR?!"
Dira. Gadis yang diganggu tidurnya ulah pemuda berdarah campuran Amerika-Sunda yang malah asyik melenggang pergi ke luar kamar. Menulikan telinga dari amukan sang maskot yang sebenarnya menyeramkan.
"Astaga, si sial itu!" Dira mengusak surainya asal. Kakinya terpaksa turun dari selimut menyapa dinginnya granit kecoklatan yang menyatu dengan suhu ruangan. Langkahnya terseok malas menuju cermin besar di ujung ruangan yang selalu jadi tempat favoritnya selama hampir seminggu.
"Hi. Jeon's," ucapnya menyampirkan poni ke belakang. Tersenyum menggoda pada sosok di depannya—dirinya sendiri. Di sini, di kamar yang berukuran dua kali kamar aslinya, dengan hampir semua berisi merchandise resmi boyband kesukaannya, BTS, adalah tempatnya menjalani hari - hari neraka yang akan berakhir nanti, saat kontraknya sebagai boneka habis.
Bulan Juni, tepat saat konser.
"Milady? Oh, sudah bangun rupanya. Silahkan bersiap, nanti Odin antar Anda ke sekolah." Pintu yang terbuka lebar memudahkan seorang gadis dengan pakaian bak pemasak ulung untuk masuk. Spatula ada di tangannya.
"Tak usah formal, Sera. Kita seumuran," balas Dira sinis memandang pantulan tubuh tinggi bak model dari cermin. Yang diajak berbicara terkekeh pelan. Cantik sekali. Bohong kalau tak ada yang jatuh telak dalam senyum mematikan seperti itu. Kalau saja terlahir sebagai lelaki, Dira sudah bersumpah menarik Sera dahulu untuk jadi kekasihnya.
"That's unnecessary, Milady. I know, but I can't, sorry," Senyum hangat kembali tercetak pada bibir tipis wajah oriental yang dibungkus kulit mulus bersih tanpa celah. Dira mendecak. Terlampau lelah dengan hal yang harus dia temui setiap hari.
Sekolah—Latihan—Belajar—Tidur.
Jadwal yang sama setiap waktu membuat otaknya mendidih. Namun, tentu saja tak bisa ditolak, apalagi ditinggal pergi. Mengingat kontrak bodoh yang ia tandatangani seminggu lalu, menariknya dalam lingkar bawah tanah yang tak pernah ia bayangkan sama sekali.
Lingkar baku hantam, kekerasan, kekuasaan.
Kenal dengan preman saja tak pernah! Hanya satu, si Brengsek Udayana yang menjebaknya dengan embel - embel konser dan nyawa.
"Bocah, ingin bolos lagi? Kita ke Bandung kalau begitu," Sebuah suara membuyarkan lamunan sesaat. Hanya decakan kesal jadi jawaban dari pertanyaan dadakan sang ketua. Udayana J. Ornein, ketua UG ke - 8 menjatuhkan puntung yang sudah habis ke lantai kamar. Menginjaknya hingga mati dan menyeringai santai.
"No, thanks, I'll choose dying with book rather with this damn contract!"
"You got everything, Kid. Think."
"EveRyThIng....Freedom, Man! I need that! Exactly!"
"In your dream. Just go prepare for school or I'll burn those damn Korean albums all."
"Screw you!"
"So noisy, annoying, but precious, Litte Milady."
KAMU SEDANG MEMBACA
Milady Kim
AdventureMilady. Nama yang dari dulu dikenang kalangan yang sebenarnya tinggi. Tertutup di sela - sela keramaian kota - kota besar yang suram dan konstan. Kalangan yang selalu ribut, bertentangan, tak pernah ada jalan. Buntu. Selalu. Maskot sering dianggap...