Pupus

38 7 2
                                    

"Nin, ayo kita pulang. Keburu hujan."
"Hm.. baiklah, ayo kita pulang."
Musim hujan telah kembali membasahi bumi ini. Memang, akhir akhir ini kemarau berkepanjangan jadi aku sangat senang jika hujan kembali turun. Oh ya, namaku Hanin Friskanda, biasanya aku dipanggil Hanin. Aku juga punya sahabat, namanya Rony Briany, biasanya dipanggil Rony. Dia adalah sahabat aku dari SD sampai saat ini, yakni SMA. Aku tidak memiliki orang tua dan aku tinggal bersama nenek dirumah yang sangat sederhana. Ayahku meninggal karena kecelakaan. Pada saat itu, aku masih belum lahir dan ibuku meninggal setelah melahirkan aku. Aku mengetahui semua itu dari cerita nenek. Nenekku bekerja sebagai buruh tani. Gaji yang beliau dapat hanya cukup untuk makan sehari hari. Namun, untuk biaya sekolahku dari dulu hingga saat ini merupakan beasiswa yang aku terima dari sekolah. Berkat itu, aku masih bisa melanjutkan pendidikan sampai sekarang ini.
Setiap hari, aku selalu berangkat bersama Rony. Ia selalu menjemputku dengan mengendarai motor. Rony, anak tunggal dari keluarga terhormat dan kaya. Tentu saja, segala permintaannya pasti dikabulkan hari itu juga. Namun, Rony tak pernah sombong kepada siapa pun, itulah sisi baik dari Rony sahabatku.
"Hanin.. ayo berangkat!", teriak Rony.
"Sebentar ya Ron."
"Ayo buruan, nanti kita terlambat.", celoteh Rony emosi.
"Ih.. sabar dong, jangan marah marah.. masih pagi, nanti gantengnya luntur loh.", kataku mengejek.
"Hm.. ya sudah Hanin cantik.. cepet naik. Pegangan dong, nanti kamu jatuh.", ujar Rony merayu.
"Ih.. nggak perlu."
"Ayo pegangan, aku nggak mau kamu jatuh nanti. Aku nggak bercanda ya Nin."
"Iya iya.. aku pegangan.", ujarku.
Akhirnya, berangkatlah aku dan Rony ke sekolah kami yang jaraknya sekitar 7 KM dari rumahku. Disepanjang jalan, Rony selalu membuat lelucon. Kebiasaannya itu tentu membuatku bahagia dan tak pernah merasa bosan meski bersahabat lama dengannya. Begitu pun dengan perasaan, menjalani semua ini sangat sulit untuk menahan rasa suka dalam diriku. Semuanya berjalan begitu saja bersama waktu. Berawal dari teman dan segala candaan yang membuatku selalu bahagia saat didekatnya. Ketulusan dan kelembutan hatinya saat didekatku. Saat didekatnya, aku merasa terlindungi dari segala hal, dan tak pernah ada kata menangis ataupun sedih dalam kamus kehidupanku saat bersama dia. Namun tak spontan itu aku berucap kepadanya. Untuk saat ini pun, bukan waktu yang sesuai untuk mengungkapkan isi hatiku ini dan aku bertekad untuk menyimpan dan memendam. Tujuanku adalah agar Rony tak menjauhi aku. Mungkin, jikalau pun aku berkata demikian dan Rony pun menolak, pastinya dia akan menjauhi aku. Itu sangat beresiko sekali bagiku dan dengan jalan ini semoga semuanya baik baik saja dan berharap agar selalu bersama dia.
Hari demi hari kini berganti dari bulan menjadi tahun. Aku tetap bertahan bersama Rony menjadi sahabat sejati yang saling melengkapi. Namun, hari ini mungkin awal dari perjuanganku. Mengapa begitu, karena ada siswa baru yang masuk ke sekolah kami. Namanya Sherly, yang pindah karena orang tuanya bertugas di sini. Dia sangat cantik sekali, lebih cantik dari aku. Kecantikannya itu membuat para lelaki di sekolah tertarik dan mendekatinya. Begitupun dengan Rony, ia sama seperti laki laki lain yang tertarik pada Sherly. Rony juga adalah lelaki yang tinggi, putih dan tampan. Sekiranya, dia adalah laki laki yang populer di sekolah. Namun aku merasa cemburu dengan tingkah Rony yang perlahan berubah kepadaku. Dia jarang sekali menjemput aku, tak seperti dulu lagi. Saat bel istirahat pun, ia makan berdua dengan Sherly, bukan dengan aku yang dulu selalu ia prioritaskan sebagai sahabat. Perlahan lahan, jarak kembali hadir di hidupku. Aku yang dulunya selalu ada dalam rangkulan tanggannya, kini perlahan lepas. Sorotan matanya tak lagi senada, karena ada dia.
"Rony.. kita pulang yuk..!"
"Maaf Nin, aku ada tugas kelompok nih.. kamu pulang sendiri ya.", ujarnya.
"Kerja kelompok?"
"Iya.."
"Bukannya tak ada tugas kelompok?  jujur saja Rony, kamu mau pergi sama Sherly kan?", sahutku.
"Apaan sih.. kamu jadi negatif thinking mulu sama aku akhir akhir ini.."
"Bukannya begitu Rony.. aku ngg.."
"Ah.. sudah lah.. aku tak ingin mendengarkan celotehmu lagi, sekarang kamu pergi dari sini", kata Rony memotong pembicaraan.
"Tapi Ron.."
"Ah.. pergi sana.. muak aku lihat kamu."
"Hm.. baiklah jika itu akan membuatmu merasa tenang dan senang. Aku akan pergi.", ujarku.
"Baguslah.. sana pergi!! Ngapain masih disini."
"Iya Ron.."
Langkah kakiku tak setegar dulu. Aku tak menyangka jika Rony akan berkata sekasar itu kepadaku. Kata itu masih membekas didalam pikiranku. Dan tak sadar, perlahan air mataku jatuh. Pertama kali aku menangis, rasanya sangat perih. Tapi tak masalah bagiku, karena aku mengerti jika cinta itu memang butuh perjuangan dan pengorbanan.
Keesokan harinya, seperti biasa aku berangkat ke sekolah. Namun jauh berbeda dari dulu. Kini aku sendiri tanpa Rony yang telah pergi jauh dari diriku.
"Nin.. duluan.", sapa Rony sambil mengendarai motor.
"Iya Ron..", sahutku.
Secara spontan, aku merasa sedih. Betapa sakitnya hati ini melihat Sherly yang berduaan dengan Roni. Seolah olah, ia menggantikan posisiku di jok belakang motor Rony.
"Kring... kring.. kring.."
Bel pun berbunyi, itu artinya jam belajar siswa telah habis yang disebut waktunya pulang ke rumah.
"Ron.. pulang bareng yuk.. udah lama kita nggak pulang bareng seperti dulu.", kataku.
"Maaf, aku nggak bisa."
"Kenapa?"
"Aku harus mengantarkan Sherly pulang"
"Oh.. baiklah kalau begitu. Hati hati ya!"
"Iya"
Dengan alasan yang hampir sama, ia menolak ajakanku. Namun, kembali lagi aku kepada tujuan hidupku. Aku harus bersabar menghadapi semua ini. Malam hari, aku berencana keluar rumah untuk foto copy tugas dari guru untuk esok hari. Dari kejauhan, aku melihat Sherly makan berdua di cafe seberang. Dia tidak sendirian disana. Ada lelaki yang menemaninya, bahkan ia menyuapi Sherly dengan romantis. Sherly yang memakai baju warna merah dengan rok hitam, terlihat anggun dan cantik. Pria itu memakai kemeja abu abu dan celana hitam, sangat serasi dengan Sherly. Merasa sangat penasaran, aku mendekati cafe tersebut. Ternyata benar dugaanku, ternyata pria tersebut adalah kekasih Sherly.
"Aku harus kasih tau ke Rony.", ujarku dalam hati.
Aku pun pulang kerumah.
Keesokan harinya, tepat pada waktu istirahat, aku menemui Rony.
"Rony.. aku mau kasih tau ke kamu."
"Ada apa emang?", tanya Rony.
"Sherly.. aku cerita tentang dia."
"Kenapa? Kamu nggak suka ya?"
"Bukan gitu Ron, Sherly itu bukan wanita baik baik. Dia sudah memiliki kekasih.", ujarku.
"Apa?", kata Rony terkejut.
"Aku nggak percaya sama kamu. Oh.. pasti semua ini rencana kamu kan? Kamu kan yang benci sama Sherly karena aku dekat dengan dia? Jujur aja deh Han.. dengan cara ini, aku makin benci tau nggak sama kamu."
"Rony.. aku lihat semua itu dengan mata kepalaku sendiri. Kemarin malam, Sherly makan malam romantis dengan kekasihnya."
"Alah.. sudah deh Han.. cukup sampai disini ya kebohongan kamu. Semua itu tak akan merubah rasa cintaku pada Sherly. Lebih baik, sekarang kamu pergi deh..", kata Rony.
"Tapi Ron.. aku tak ingin membuatmu bersedih saat bersama dia. Aku tak ingin kau terpuruk karena cintamu yang buta."
"Jangan sok di depanku deh.. sekarang aku minta kamu pergi"
"Baiklah Ron.. tapi, pikirkan ucapanku tadi."
Akhirnya aku pergi dan menjauh dari pandangan Rony. Aku melangkah menuju kantin untuk membeli makanan. Pada saat itu, kondisi di kantin sangat ramai tak seperti biasanya. Setelah aku mendekat, ternyata ada sesuatu dibalik kerumunan siswa SMA Tunas Bangsa. Aku mendekat dan ternyata, Rony menyatakan cintanya kepada Sherly. Dia menyatakan cintanya saat aku ada diantara kerumunan siswa. Dengan mata kepalaku sendiri, hatiku terasa terpukul dengan lontaran kata cinta dari Rony. Tak kuasa menahan air mata, aku langsung beranjak pergi dan menjauh dari kerumunan tersebut.
"Tuhan.. mengapa jadi seperti ini. Apakah cintaku ini salah?, apakah Sherly lebih sempurna daripada aku ini.", ujarku menangis.
"Hm.. lebih baik, aku diam saja dan mencoba untuk tegar atas semua yang terjadi. Aku tahu, Tuhan itu Maha melihat segalanya, begitupun dengan perasaanku kepada Rony."
"Aku harus kuat.. aku nggak boleh nangis, semoga Rony bahagia dengan Sherly."
"Hei Han.. eh, kamu kenapa nangis?", tanya Rara.
"Eh.. nggak kok Ra, cuman gatal saja mataku karena kemasukan debu."
"Yakin? Aku nggak yakin sama jawaban kamu."
"Iya.."
"Kamu nggak sedih karena lihat Rony kan?", tanya Rara.
"Eh.. enggak kok, aku senang lihat mereka bersatu.", jawabku.
"Aku paham kok, aku juga wanita. Perasaan kamu pasti hancur melihat mereka. Yang sabar ya temanku, Tuhan pasti akan memberikan jalan untuk kamu dan cintamu itu. Percayalah..", kata Rara mencoba menguatkan aku.
"Iya, terimakasih ya Ra.. kamu sahabat terbaikku."
"Iya.. aku akan selalu ada didekatmu. Kamu bisa curhat ke aku. Jangan malu malu ya."
"Iya.. Terimakasih ya."
"Sama sama"
Akhirnya, aku beranjak pergi dari bangku taman bersama Rara. Aku kembali menemukan seseorang yang bisa membantu aku. Meskipun rasanya sulit untuk melupakan Rony.
Malam pun tiba. Rencananya aku ingin pergi jalan jalan dengan Rara untuk menghibur diri dan menghilangkan rasa lelah setelah seharian bersekolah.
"Hanin.. Hanin..", teriak Rara.
"Oh Rara.. masuk dulu Ra."
"Iya.. Terimakasih."
"Sebentar ya.. aku siap siap dulu."
"Baiklah.. jangan lama lama.", katanya menggoda.
"Iya bosku.", kataku sambil tertawa.
"Eh.. Nak Rara.. mau jemput Hanin ya?", tanya nenekku.
"Iya nek..", sambil bersalaman.
"Diminum dulu.."
"Terimakasih Nek.", sambil meminum.
"Rara...", teriakku.
"Wah.. kamu cantik banget Nin.", ujar Rara terkesima.
"Cucu Nenek cantik sekali, mau kemana sayang?", kata Nenek.
"Hanin mau jalan jalan sebentar, boleh kan Nek?"
"Iya.. asalkan, jangan malam malam ya pulangnya!", ujar Nenek.
"Siap Nenekku tersayang."
"Hanin dan Rara berangkat dulu ya Nek..", kataku.
"Iya.. hati hati dijalan."
"Iya Nek."
Akhirnya, kami berangkat menuju tempat yang kita rencanakan sebelumnya. Grind Cafe, itu nama cafe yang kita kunjungi. Kemudian, kami duduk tepat di depan panggung yang hendak menampilkan sebuah lagu. Aku pun tertarik untuk mendengarkannya. Setiap lirik kusimak dan aku mencoba untuk menghayati lagu itu. Setelah lagu itu selesai, tak terasa air mataku jatuh. Dengan cepat aku menghapusnya agar Rara tak tahu tentang kesedihanku. Beberapa menit kemudian, makanan kami datang dan kami makan bersama sama. Dari kejauhan, aku melihat ada mobil yang berhenti di cafe ini. Dan aku merasa bahwa mobil itu sama dengan mobil yang ditunggangi oleh kekasihnya Sherly. Tak butuh waktu lama, pemilik mobil keluar dan masuk ke dalam cafe. Ternyata, dugaanku benar. Itu adalah Sherly dan kekasihnya atau selingkuhannya. Dengan sigap, aku langsung mengambil telfon genggam dan menghubungi Rony.
"Halo.. Rony, kamu bisa nggak ke Grind Cafe sekarang juga!"
"Ada apa?", tanya Rony.
"Aku mau buktiin ke kamu kalau Sherly udah punya kekasih selain kamu alias selingkuhan."
"Ah.. ngeco kamu!", ujarnya membantah.
"Ayolah.. aku nggak bohong sama kamu, jadi tolong kesini ya.", kataku.
"Baiklah.. tunggu disana."
"Baiklah Ron, hati hati ya."
Telfon pun langsung terputus tanpa ada jawaban dari Rony. Tak lama kemudian, suara sepeda motor terdengar dari dalam cafe. Aku langsung keluar dan memastikan bahwa yang datang adalah Rony. Ternyata benar, Rony datang dengan sepeda motor kesayangannya.
"Rony.. hei, aku disini.", teriakku sambil melambaikan tangan.
"Eh, iya.."
"Sini Ron, aku mau nunjukin sesuatu ke kamu tentang kelakuan pacar baru kamu itu. Aku disini hanya ingin memberitahukan kepada kamu bahwa cewek kamu itu nggak bener. Aku nggak bermaksud untuk merusak hubungan kalian."
"Iya iya.., sekarang aku pengen lihat langsung.", ujar Rony tak sabar.
"Ayo kita masuk."
Setelah masuk kedalam cafe, kami mencari tempat untuk memantau Sherly dari kejauhan.
"Rony.. itu mereka, sekarang kamu tahu kan bagaimana kelakuan Sherly di belakang kamu."
"Ini gak bener.. aku harus kesana sekarang!", kata Rony geram.
"Jangan Rony.. Rony..", teriakku mencoba menghentikan langkahnya.
Namun, semuanya terlambat. Dia telah menangkap basah kelakuan pacarnya itu.
"Brak..", Rony memukul meja.
"Jadi ini yang kamu lakukan dibelakang aku.. bagus ya akting kamu Sher. Nyesel aku pacaran sama kamu."
"Eh.. Rony sayang.. bukan gini, kamu salah. Tolong dengarkan penjelasan aku dulu. Dia ini teman dekat aku.", ujar Sherly menyangga.
"Apa apaan ini, Sherly. Aku ini pacar kamu, kenapa kamu anggap aku sebagai teman? Licik kamu ya.. menyembunyikan kebohongan.", kata kekasih Sherly.
"Rony.. dengerin aku ya.. ini semua salah. Aku bisa jelasin."
"Alah.. aku tahu semuanya. Intinya, malam ini juga kita putus.", kata Rony dan bergegas pergi.
"Hanin.. ayo, kamu pulang sama aku."
"Baiklah Rony."
Kami pun pergi dari cafe tersebut dan pulang. Di tengah perjalanan, hujan turun deras. Tentu saja, aku dan Rony kehujanan. Tepat di pertigaan jalan, ada mobil sedan berwarna merah yang melaju kencang. Tak disangka, mobil tersebut mengarah kepada kendaraan yang ditunggangi Rony. Dan "brakk..", kecelakaan menimpa kami. Aku masih bertahan disana, dan mencoba bangun dan menolong Rony. Keadaan Rony sangat parah. Darah mengalir dari kepalanya, begitupun dengan diriku. Kemudian, aku meminta bantuan kepada temanku, yakni Rara. Tak lama kemudian, Rara datang dengan Joni kekasihnya. Mereka menunggangi mobil. Akhirnya, Rony dan aku di bawa ke rumah sakit dan kemudian aku tak sadarkan diri.
"Dimana aku?"
"Eh, Hanin kamu sudah sadar."
"Aku ada di mana ini Ra?", tanyaku kebingungan.
"Kamu di rumah sakit Han. Sekarang, kamu istirahat ya. Kondisimu masih belum pulih dan dokter bilang kamu harus banyak makan.", kata Rara.
"Rony.. Rony dimana Ra?, aku harus melihatnya. Tolong antarkan aku ke kamarnya.", kataku.
"Hanin.. jangan memaksakan diri. Kamu disini saja dulu. Rony nggak kenapa kenapa kok."
"Enggak.. aku kau lihat kondisi dia. Tolong Ra, antarkan aku kesana? Boleh ya?"
"Baiklah.. sini aku bantu."
"Terimakasih Rara."
Akhirnya, aku melangkah perlahan keluar dari ruang inapku. Melewati lorong lorong antar ruangan. Tak jauh dari ruanganku, aku melihat ruangan yang aku tuju, yakni ruangan Rony.
"Rony.. bangun Ron..", kataku menahan air mata, namun tetap saja menetes.
"Sudah Han, jangan begini."
"Maafin aku Ron, gara gara aku kamu kayak gini.. andaikan aku tak menelfonmu, pasti kamu baik baik saja."
"Hanin.. ini takdir, kamu nggak salah."
"Aku salah.."
"Permisi, apakah anda keluarga pasien?", tanya Dokter.
"Saya Dok..", sahutku semangat.
"Mari ke ruangan saya."
"Baiklah Dok."
"Kamu yakin kuat Han, kamu masih belum pulih loh.", kata Rara.
"Aku kuat kok.. selalu kuat"
"Aku tahu Han, kamu masih sayang sama Rony. Kamu adalah wanita yang terbaik dan pantas untuk Rony."
"Ah.. sudahlah Ra, aku ke ruangan Dokter dulu ya. Jaga Rony."
"Siap Hanin."
Kemudian, aku berjalan perlahan menuju ruangan Dokter.
"Permisi Dok."
"Silahkan masuk.", kata Dokter.
"Silahkan duduk. Saya ingin memeberikan hasil dari cros check saudara Rony. Beliau membutuhkan donor darah dengan golongan AB."
"Donor darah? Biar saya saja dok.", jawabku.
"Selain itu, Saudara Rony mengalami gangguan pada jantungnya yang mengharuskannya untuk operasi pencangkokan jantung. Anda harus mencari pendonor jantung yang cocok dengan saudara Rony.", kata Dokter.
"Kalau begitu, saya akan memikirkannya dulu Pak. Sekali lagi terimakasih ya Pak."
"Iya.. sama sama. Dan satu lagi, untuk pasien yang bernama Hanin."
"Saya sendiri Pak."
"Anda mengalami kanker otak stadium 3. Anda harus menjalankan terapi secara rutin.", kata Dokter.
"Berapa lama lagi saya bisa hidup dok?", tanyaku.
"Kemungkinan, 1 bulan kedepan. Itupun kondisi anda masih sangat lemah dan membutuhkan perawatan intensif dari rumah sakit."
"Tidak perlu Pak. Saya akan mendonorkan jantung saya untuk Rony. Semoga saja jantung yang diharapkan itu sesuai."
"Mengapa Anda rela mati demi saudara Rony?", tanya Dokter.
"Mungkin, saya tak berharga dimatanya, namun saya hanya ingin melihatnya bahagia. Hanya itu saja Pak.", ujarku.
"Baiklah.. besok, anda harus menjalankan pemeriksaan darah dan jantung sebelum di donorkan.", kata Dokter.
"Baik Pak. Terimakasih ya Pak."
"Oh iya, ini surat keterangan dari saya. Tolong disimpan baik baik."
"Baik Pak."
Aku pun berjalan perlahan, keluar dan kembali menuju ruangan dimana Rony dirawat.
"Eh Hanin.. Gimana kata Dokter?"
"Hm.. Rony tak apa apa kok.. hanya butuh donor darah dan jantung."
"Apa..", Rara terkejut.
"Iya.. dan semuanya telah ada kok."
"Maksudnya?", tanya Rara kebingungan.
"Iya.. besok aku harus test darah dan jantung."
"Itu artinya, kamu yang berkorban demi Rony?. Dia nggak pernah sadar kepada kamu, ngapain kamu harus repot repot segala. Sama saja kamu mengorbankan nyawa kamu demi dia.", ujar Rara.
"Iya iya.. anggap saja, ini sebagai hadiah ultahnya Rony. Sebentar lagi kan dia ultah."
"Hm.. aku nggak mau kehilangan kamu Han. Aku sayang sama kamu. Kamu selalu tersakiti namun masih saja kamu baik sama dia, malah mengorbankan nyawa kamu sendiri demi orang yang menyakiti kamu.", kata Rara.
"Sudah Ra.. lupakan semua itu, aku nggak kenapa kenapa. Aku ikhlas, asalkan dia bahagia. Kan dia sendiri sudah muak dengan aku, maka dari itu aku akan pergi untuk selama lamanya dan nggak akan pernah ganggu kehidupannya lagi.", kataku.
"Aku sayang sama kamu Hanin..", sambil memeluk dan menangis, Rara tak ingin pergi jauh dari aku.
Keesokan harinya, sebelum test itu dilaksanakan, dokter melepaskan infus yang kemarin masih menempel ditanganku. Kemudian, aku mengambil selembar kertas dan pena. Aku meras bebas ketika selang infus terlepas, dan aku pun bebas untuk menulis maupun memegang. Aku ingin menulis sesuatu, namun aku tak mengerti harus menulis apa. Akhirnya, aku pun mendengarkan musik. Entah apa yang aku rasakan, musik itu menceritakan semua isi hatiku. Aku pun penasaran, dan akhirnya aku tahu. Untaian kata pun kembali hadir dalam benakku.
Dear: Rony
PUPUS
Aku tak mengerti apa yang kurasa
Rindu yang tak pernah begitu hebatnya
Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu
Meski kau takkan pernah tahu

PupusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang