PROLOG

122 0 2
                                    

"Maafin aku ya, Ca, aku ga ngasih kabar terus ke Ica. Aku mau, Ica jangan terlalu mikirin hubungan ini dulu, nanti fokus yang lain justru terbengkalai. Aku pasti dateng, kalau udah mikirin semuanya. Kalau semuanya bisa aku terima, aku pasti dateng. Soal nanti ketika aku dateng ke rumah Ica, aku diterima atau engga, itu urusan Ica."

Ya, begitulah akhir percakapan yang menjadi awal dari semuanya. Kisah kami belum selesai. Bahkan setengah buku pun belum terisi penuh oleh kisah yang entah dari mana awalnya, tak ada yang istimewa, kisah yang sangat biasa. Namun, kisah biasa ini mampu membangkitkan semua rasa yang ada di dunia, bercampur menjadi satu, hingga terbentuk sebuah kekuatan. Ya, kekuatan akan sebuah kepercayaan. Kepercayaan kepada Sang Pemilik Hati yang kian tumbuh menjadi kepercayaan bahwa kami akan dipersatukan kembali.

Kisah ini aku ceritakan dengan perasaan yang tak begitu ku mengerti. Aku hanya membaca dan mendengar dengan tak sengaja tentang perasaan ini. Para pecandu asmara berkata, bahwa perasaan semacam ini dinakaman rindu. Rindu, entah siapa yang memberi nama padanya. Yang aku tahu, bahwa ini sangat menyiksa. Ketika aku membuka mata di kala matahari terbit, ia telah muncul mendahului kicauan sang burung. Ketika aku akan menutup mata di kala matahari terbenam, ia tetap disana menunggu hingga aku kembali membuka mata. Ia benar-benar tak tahu diri. Membuntuti kemanapun aku pergi. Duhai rindu, dapatkah kau membuatku beristirahat dan berhenti menggumam karena ulahmu?

Aku... Kini ku juluki diriku sendiri dengan sebutan "Sang Pecandu Rindu".

Bersambung ke Bagian Satu - Tetangga Kecil Itu Bernama Shiha

Sang Pecandu Rindu (Ketika Turki Menjadi Tempat Berlari) - Annisa N. FauziyyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang