DUA: MEMANGNYA, APA SALAHKU?

80 2 0
                                    

Jalanan Kota Bandung pagi itu benar-benar sangat padat. Setiap hari pun memang begitu, namun hari ini benar-benar berlebihan. Aku segera berlari ketika telah membayar ongkos kepada supir angkot dan melirik jam tangan yang dikenakan di pergelangan tangan kiriku. Sial! Pukul tujuh lebih lima belas menit. Aku benar-benar terlambat. Lebih sialnya lagi, pagi ini adalah jadwal kuliahnya Pak Fahri, dosen yang akan mengunci pintu kelas apabila jam telah tepat menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. Aku yakin, aku tak akan diizinkan masuk kelas pagi ini.

Aku menunggu lift turun ke lantai satu ketika telah sampai ke gedung tempatku belajar. Gedung itu adalah gedung Fakultas Bahasa dan Sastra, aku memang berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia. Tak lama ku menunggu, pintu lift terbuka dan aku memijit tombol lima. Jika sedang terlambat, lift terasa bergerak begitu lambat. Aku kesal, menggumam sendiri dalam hati. Koridor kelas yang biasa dipenuhi oleh mahasiswa, kini terlihat benar-benar sepi. Ya wajar saja, kelas memang biasa mulai pukul tujuh pagi, sehingga mereka pasti telah berada di dalam kelas.

Aku mengintip ke dalam ruangan melalui kaca kecil berbentuk persegi panjang yang terdapat di tengah-tengah pintu. Kaca itu sejajar dengan meja dosen, sehingga aku dapat mengetahui dengan mudah apakah di dalam kelas sudah ada dosen atau belum. Dan dugaanku benar. Pak Fahri telah duduk manis disana, sedang membuka sebuah laptop kesayangannya. Aku mengetuk pintu sambil memperhatikan tubuh Pak Fahri dari kaca kecil itu. Berharap Pak Fahri menganggukan kepalanya yang menandakan bahwa ia mengizinkanku masuk. Hingga akhirnya, Pak Fahri menyadari ada seseorang di balik pintu dan ia segera melihat ke arah jam tangannya.

Pandangannya kini tertuju kepadaku. Hari itu aku merasa sangat tak beruntung, karena ia menggerakkan tangannya seperti manusia yang sedang mengusir ayam. Ya, itu menandakan bahwa aku tak diizinkan masuk kelas olehnya. Kesal. Benar-benar kesal. Aku telah melewati kemacetan parah di pagi hari ini dan berlari dengan sekuat tenaga berharap tak terlambat, namun tetap tak diizinkan masuk oleh Pak Fahri. Dan itu berarti, aku harus menunggu mata kuliahnya Pak Fahri selesai selama dua jam setengah.

Dengan tubuh yang lemas karena telah berlarian dari pintu gerbang, aku mengistirahatkan diri duduk di kursi panjang depan kelas. Benar-benar tak ada seorang pun yang terlihat disana. Aku segera merogoh tasku dan memilih untuk membaca novel yang baruku beli beberapa hari yang lalu. Hobiku dari dulu memang membaca novel, sampai akhirnya aku selalu bermimpi untuk dapat menjadi seorang penulis hebat dan terkenal.

Tak sampai tiga puluh menit aku membaca novel, pintu lift yang terdapat di arah kanan tubuhku terbuka. Aku mengalihkan perhatianku kesana dan beberapa orang kakak tingkat laki-laki dengan jurusan yang sama denganku keluar dari lift. Aku mengenali mereka, karena mereka adalah orang-orang yang pertama kali menyambutku saat diterima di kampus ini. Kalau tidak salah, kini mereka sedang berkuliah di tingkat tiga, lebih dulu dua tingkat daripadaku.

“Sya, ngapain? Kok ga masuk kelas?” Salah seorang dari gerombolan laki-laki yang baru saja keluar lift itu menghampiriku.
“Eh, Kang Riki. Hehe, itu, Kang, telat kelasnya Pak Fahri.”
“Kenapa atuh bisa telat?”
“Biasa lah, Kang, macet. Akang ada kelas?”
“Iya, ada, sebentar lagi.”
“Oooh, iya.”
“Yaudah, aku masuk dulu ya.”

Dia menyusul teman-temannya yang telah terlebih dahulu berjalan masuk ke dalam kelas. Namanya Kang Riki. Di Bandung, akang merupakan sebutan untuk menghormati laki-laki yang lebih tua dari kita sedangkan untuk yang perempuan biasa disebut teteh. Kang Riki merupakan salah satu pria yang banyak dikagumi oleh kaum wanita di jurusanku. Dari wanita yang pendiam hingga berisik sekalipun, selalu mengidam-idamkannya Bagaimana tidak, wajahnya saja sangat tampan, kulitnya bersih, hidungnya mancung dengan matanya yang sedikit belo, cerdas, ditambah dengan gayanya yang gagah dan berwibawa. Jujur, aku pun sangat mengaguminya.

Setelah bertegur sapa dengan Kang Riki, aku hendak pergi ke toilet yang terletak di sebelah kiri lift. Lagi-lagi, pintu lift itu terbuka. Kini, hanya ada satu orang laki-laki yang keluar dari dalamnya. Aku tahu, ia merupakan teman satu kelasnya Kang Riki. Hingga tiba-tiba, mata kami saling memandang untuk beberapa saat. Aku yang dididik untuk selalu ramah dan tersenyum kepada semua orang apalagi kepada orang-orang yang aku kenal, mencoba tersenyum kepadanya. Namun semua di luar dugaan, dia memalingkan wajahnya dariku begitu saja. Pipiku rasanya memerah karena malu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang Pecandu Rindu (Ketika Turki Menjadi Tempat Berlari) - Annisa N. FauziyyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang