Kota Bandung di tahun ini mengalami cuaca yang sangat tidak stabil, sangat buruk. Terkadang hujan, terkadang panas terik. Namun, bisa saja saat matahari sedang asyik bersinar, seketika awan hitam muncul di hadapannya dan menurunkan hujan yang sangat lebat. Membuat matahari tak dapat bersinar lagi. Aku membenci awan hitam bila aku lupa membawa payung saat bepergian kemanapun. Namun, aku juga membenci matahari ketika aku harus bepergian di siang hari, ketika matahari sedang bersinar terik-teriknya. Andaikan saja setiap manusia dapat memilih awan-awan putih pelindungnya masing-masing, aku pasti telah memilih banyak awan, agar tak ada sedikit pun celah untuk sinar matahari mengintip atau tetesan hujan menggodaku.
Pagi itu, cuaca tak begitu cerah. Terasa sangat dingin. Membuat siapa pun enggan bangkit dari tempat tidurnya. Termasuk aku, padahal hari ini ada jadwal kuliah pukul tujuh pagi. Apabila tak ingat bahwa aku anak bungsu yang tinggal satu-satunya menjadi andalan keluarga, apabila tak ingat bahwa ayah telah bersusah payah mencari uang untuk membiayai hidupku, apabila tak ingat bahwa aku memegang sebuah amanah dari keluarga, apabila tak ingat bahwa aku harus segera membahagiakan ibu, aku pasti sudah memilih untuk tetap diam di balik selimut, sholat shubuh jam lima pagi, dan minum susu sambil menikmati film kartun di pagi hari. Untung saja aku tak hilang ingatan, aku masih selalu ingat pesan ayah bahwa aku harus belajar dengan sungguh-sungguh, menciptakan sebuah karya yang akan dikenang sepanjang masa meskipun aku telah tiada, seperti halnya tokoh hebat favoritnya, Ibnu Sina.
Aku memaksa tubuhku untuk bangkit dari tempat tidur yang dipenuhi boneka-boneka berwarna merah muda. Bukannya langsung bergegas ke kamar mandi, jemari tanganku malah sibuk meraih handphone, mataku sibuk melihat notifikasi yang masuk, bibirku turut sibuk bergumam, mengetahui bahwa tak ada satupun pesan penting yang masuk. Kakiku seakan marah, menyeret semua kawanannya untuk menghentikan hal yang tidak bermanfaat, dia tak sabar ingin segera menyelesaikan tugasnya pada hari itu. Baiklah, aku tak bisa berbuat apa-apa, aku langsung bergegas.
Tahun ini, merupakan tahun pertamaku berkuliah. Kampusku terletak di Bandung bagian barat, sedangkan rumahku berada di Bandung bagian selatan. Aku biasa pergi ke kampus menggunakan angkutan umum alias angkot. Setiap hari senin, selasa, dan kamis, aku harus berangkat dari rumah pukul enam pagi kurang lima belas menit, karena untuk bisa sampai ke kampus, aku harus menghabiskan waktu selama satu jam. Aku bisa sedikit santai di pagi hari rabu, karena hari itu aku masuk pukul satu siang. Dalam satu minggu, aku hanya kuliah di hari senin sampai kamis, sisanya akan ku habiskan untuk acara-acara di luar kegiatan akademis, karena aku termasuk salah satu mahasiswi yang senang ikut berorganisasi.
Setelah menghabiskan sarapan, aku segera berpamitan kepada ayah dan ibu untuk pergi ke kampus. Ku kenakan sepatu yang sedikit memliki hak agar badanku yang pendek dapat sedikit terlihat tinggi. Habisnya, badanku memang pendek, eh bukan pendek, namun lebih kecil dari teman-teman sebayaku, hingga tak jarang orang-orang menyebutku si mungil.
“Ibu, ayah, Ica berangkat dulu ya, Assalamu’alaikum.”
“Iya, hati-hati, Nak. Wa’alaikumsalam.”Hanya ibu yang menjawab salamku, karena mungkin saja ayah tak mendengar. Pendengaran ayah diusianya yang sebentar lagi menginjak 67 tahun memang sudah tidak bagus, perlu dibantu oleh alat dengar. Namun ibu sebaliknya, pendengarannya masih sangat bagus, hanya saja matanya yang harus selalu menggunakan bantuan kacamata untuk melihat. Wajar saja, usia ibu sudah 65 tahun. Aku salut pada wanita tua itu, meskipun ia telah melahirkan dan mengasuh sepuluh anak, badannya masih saja berdiri tegak. Sebagai anak bungsunya, aku adalah anak yang paling merasa sangat beruntung. Memiliki ibu yang hebat, ayah yang kuat, serta sembilan kakak yang begitu penyayang.
Ya, aku terlahir dari orangtua yang tak biasa. Di umur ibu yang ke 43 tahun, aku terlahir sebagai anak kesepuluhnya. Aku yakin, tak semua orangtua mampu mendidik dan membiayai kehidupan sepuluh orang anak sakaligus. Namun, siapa yang tidak percaya dengan kalimat “Banyak anak banyak rezeki”, Insyaallah, orangtuaku pun percaya dengan kalimat tersebut. Hingga saat ini, sepuluh anak ibu dan ayah tetap hidup dalam keadaan yang sangat baik, berpendidikan, dan saling menyayangi satu sama lain. Siapa lagi yang mendidik jika bukan ayah dan ibu? Mereka juga tak pernah khawatir mengenai masalah untuk menghidupi kesepuluh anaknya, karena ada Allah Sang Pemberi Rezeki.
Aku menutup pintu rumah dari arah luar. Benar saja, udara pagi hari itu sangat tidak bersahabat. Anginnya begitu dingin, baru saja beberapa langkah dari pintu, aku segera membalikkan badan dan berjalan kembali menuju rumah. Segeraku masuk kembali ke dalam kamar dan mengambil jaket yang tergantung di balik pintu. Rasanya, tubuhku akan menggigil kedinginan bila pagi itu tak menggunakan jaket.
“Teh Naca! Teh Naca!”
Kakiku otomatis berhenti melangkah ketika menangkap suara gadis kecil memanggilku. Aku mengenal suaranya. Karena siapa lagi yang mengubah namaku dari Annasya menjadi Naca apabila bukan gadis kecil itu. Mataku melihat ke arah depan rumah, dia memandangku dengan matanya yang bulat dan tersenyum dengan senyuman yang sangat manis dari balik jendalnya.
“Teteh mau kemana?”
“Teteh mau kuliah, sayang.”
“Nanti pulang lagi?”
“Iya dong, nanti sore pulang lagi.”
“Main sama aku, ya?”
“Iya, kalau udah pulang, nanti teteh main sama Shiha.”
“Yeeee! Teh Naca hati-hati yaa.”Aku menganggukkan kepala seraya melambaikan kedua tanganku kepadanya. Gadis kecil berumur kurang lebih tiga tahun itu bernama Shiha. Dia terlahir dari dua pasangan muda yang telah tinggal sekitar lima tahun di depan rumahku. Awalnya, rumah itu dihuni oleh pasangan tua yang berumur sekitar 80 tahunan. Mereka tinggal hanya ditemani oleh seorang anak perempuannya yang memilih untuk tidak menikah terlebih dahulu demi mengurus orangtuanya tersebut. Rasanya, siapapun akan merasa iri apabila melihat keromantisan orangtua ini. Tiap pagi, mereka akan berjalan-jalan mengelilingi sekitaran rumahnya dengan saling bergandengan tangan. Dulu, aku selalu menyapanya setiap kali akan pergi sekolah.
“Si cantik mau berangkat sekolah? Semoga pinter ya, sholehah, selamat sampai sekolah.” Nenek Esah namanya, dia selalu berkata seperti itu setiap kali melihatkku menggunakan seragam sekolah.
Namun, aku dan para tetangga yang tinggal di sekitaran rumahnya benar-benar merasa kehilangan ketika keduanya pergi meninggalkan dunia untuk selamanya. Mereka benar-benar pasangan sehidup semati, meninggal dunia hanya dengan perbedaan waktu satu jam. Sang kakek terlebih dahulu, dan disusul istrinya satu jam setelahnya. Anaknya yang merawat kedua orangtua tercintanya itu kemudian menikah dan ikut suaminya pindah ke Jakarta.
Rumah itu dijual dan dibeli oleh pasangan muda yang tak kalah romantisnya. Mereka adalah orangtua Shiha. Shiha biasa memanggil ibunya dengan sebutan bunda, dan memanggil ayahnya dengan sebutan abi. Bundanya Shiha itu benar-benar tertutup, maksudnya tertutup dalam hal berpakaian. Ia menggunakan cadar. Selama lima tahun aku menjadi tetangganya, aku belum pernah sama sekali melihat wajahnya, selain hanya melihat matanya yang bulat dan bola mata yang benar-benar hitam. Membuatku berpikiran bahwa ia adalah wanita yang sangat cantik.
Shiha sangat dekat denganku. Dari Shiha bayi, aku memang sering menggendong dan mengajaknya bermain. Kedua orangtuanya tak akan khawatir apabila Shiha sedang bermain denganku. Aku sudah dianggap keluarga olehnya. Begitupun kedua orangtuaku, merasa Shiha adalah salah satu cucunya. Meskipun aku telah memiliki banyak keponakan yang masih kecil dan seusia dengannya, namun mereka tinggal jauh dari rumahku, sehingga hampir jarang aku bertemu dengan mereka. Untung saja ada Shiha, tetangga kecil yang menggemaskan, yang selalu menjadi teman bermainku.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pecandu Rindu (Ketika Turki Menjadi Tempat Berlari) - Annisa N. Fauziyyah
Teen FictionEntah ini awal atau akhir dari kisah perjuangan seorang gadis mungil yang terlahir dari keluarga sederhana. Ia merupakan anak kesepuluh dari sepuluh bersaudara yang memiliki mimpi untuk pergi ke Negara Turki. Permasalahan keluarga, pertemanan, hingg...