SATU

96 12 6
                                    

Dear Suni
Semua sudah kusiapkan. Izin cuti, oleh-oleh, buku untuk kau tandatangani. Tinggal pergi ke tukang cukur. Ya, kamu tidak suka cowok berambut berantakan. Setelah itu mungkin mampir ke toko pakaian. Aku butuh baju baru.
Kita akan bertemu sebentar lagi. Tunggu aku.
***

Pagi di Jakarta selalu sama: macet, pekikan klakson yang bersahutan, orang-orang yang bergegas menuju tujuan masing-masing, tanpa saling sapa. Mungkin mereka berpikir jika tersenyum atau mengangguk sebentar saja, waktu yang berharga akan hilang.

Tris mengikuti arus penumpang yang baru saja turun dari kereta, lalu berjalan cepat menuju pintu keluar. Dari sana dia memesan ojek online. Waktu memang masih terlalu pagi, tapi dia tidak mau mengambil risiko terlambat. Apalagi hari kerja di jam sibuk seperti ini, waktu perjalanan menjadi sulit diprediksi.

Kafe DapurBoekoe.
Tris mendongak pada papan nama di atas toko. Lewat jendela besar di samping pintu, dia melihat sebuah lemari buku besar menempel di dinding, serta dua set meja kursi di dekatnya. Nuansa toko didominasi warna coklat muda. Seperti juga cat pada bingkai pintu dan jendela.

Setelah turun dan membayar tarif, Tris berjalan mantap membuka pintu kafe. Dia berhenti sejenak setelah masuk. Katanya bedah buku diadakan di lantai dua, dia mengedarkan pandang. Itu dia! Tris menemukan tangga kayu di samping meja bar. Setelah memperbaiki posisi ransel yang disandangnya, dia bergegas menuju lantai dua.

kafe masih sepi, hanya ada satu meja terisi. Tris mengabaikan dua orang perempuan yang duduk di sana. Dia sudah biasa ditatap seperti itu. Ya, dia memang tampan, semua orang berkata begitu. Kecuali orangtuanya, mereka bilang rambut ikalnya menyebalkan dan membuat wajahnya jadi jelek.

Sebuah panggung rendah, dengan backdrop bertuliskan bedah buku dan jumpa penulis, langsung menyambut Tris saat kakinya menjejak di lantai dua.

Berbeda dengan keadaan di bawah, di sini kesibukan nyata terlihat.  Dua orang pria menggotong sofa dan menempatkannya di panggung, satu orang lain menyimpan meja di depan sofa. Rupanya panitia masih sibuk mengatur tempat acara.

Tris melirik jam tangan, pukul delapan lewat dua puluh menit. Bedah buku dimulai empat puluh lima menit lagi. Artinya, jika Suni datang sebelum acara dimulai, dia punya kesempatan bertemu lebih dulu. Jantung Tris mendadak berpacu lebih cepat.

"Tenang, semua akan baik-baik saja. Dia hanya Suni," gumamnya pada diri sendiri.

Tris duduk di bangku paling belakang,ranselnya disimpan di sisi kursi. Dia menggoyang-goyangkan kaki untuk menghalau gugup, matanya mengamati panitia yang masih bekerja menata panggung.

Nanti jika acara akan dimulai, baru dia pindah ke barisan depan. Suni akan duduk di sana, di sofa itu. Dan dia akan tepat berada di hadapannya. Hm, dia harus bisa menebak dengan benar di mana Suni duduk, kiri, atau kanan?

Tris kembali mengintip jam tangan. Kenapa waktu seolah melambat? Berapa lama lagi hingga Suni tiba? apa yang akan dia katakan saat mereka bertemu?

"Hai, Suni. Aku Tris, penggemarmu. Kita pernah berbalas email sebelumnya. Kamu ingat?

Dia mengernyit dan menggeleng. Tidak, Suni tidak akan ingat padanya. Penulis terkenal seperti dia pasti banyak penggemar. Dia bukan satu-satunya.

"Hai Suni, aku Tris, penggemarmu. Aku suka novelmu dan hafal apa isinya."

Dia tersenyum  Ya, cukup begitu saja. Kalimat yang pantas untuk memperkenalkan diri. Semoga Suni bukan penulis sombong yang mengabaikan fansnya.

Jika dilihat dari status-statusnya di akun sosial media, dan kalimatnya yang akrab saat membalas pesan, Tris yakin kalau Suni orang yang baik. Meski, yah, siapa tahu, dia pernah bertemu dengan penulis yang terlihat baik dan menyenangkan, tapi ternyata angkuh dan menyebalkan.

DEAR SUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang