TIGA

54 13 8
                                    

Rumah minimalis bercat biru muda itu terlihat muram. Tak ada suara yang menandakan kehidupan. Deretan karangan bunga termangu di halaman, layu dan mengering, ucapan 'turut berduka cita'-nya kesepian. Semua hal di sekitar rumah menguarkan kesedihan, bahkan kucing kecil yang duduk di teras menatap Tris dengan pandangan terluka.

Beban pekerjaan yang menumpuk, membuat Tris baru bisa berkunjung di hari ketiga kematian Suni. Di sabtu pagi yang muram, ditemani sisa gerimis tadi subuh.

Setelah berhasil menemukan makam Suni, kini dia mendatangi rumahnya. Namun, selain kucing yang terus mengamatinya, tak ada orang lain yang dia lihat.

Tris menekan bel dua kali, lalu menunggu beberapa saat sebelum memutuskan untuk pulang. Kemudian, dia mendengar suara langkah mendekat.

Pintu terbuka, seorang perempuan mirip Suni berdiri di ambang pintu. Dia memiliki rambut kecokelatan yang diikat sembarangan, matanya masih sembab, hidungnya merah, duka tergambar jelas di wajahnya.

"Cari siapa?" tanyanya dengan suara kecil dan parau. Mungkin karena terlalu lama menangis.

"Saya Tris." Sontak Tris mengulurkan tangan, "Saya penggemar... Suni."

Perempuan itu menatap Tris beberapa saat. "Silakan masuk." Dia menggeser tubuhnya ke samping, mengabaikan tangan Tris yang tergantung.

"Silakan duduk."

Tris duduk di sofa kulit coklat muda yang terletak tepat di samping pintu. Dia menatap perempuan tadi yang menghilang di balik pintu menuju ruang dalam. Mungkinkah itu ibu Suni?

Ruang tamu itu cukup nyaman meski ukurannya kecil. Selain satu set sofa, ada meja sudut dengan vas berisi setangkai bunga lili putih. Foto Suni yang tersenyum diletakkan di atas bufet kecil di bawah jendela.

Tris memandang foto itu lama-lama. "Apakah kamu sudah bertemu Tuhan?" gumamnya.

Perempuan tadi kembali dengan nampan di tangan. Dia meletakkan secangkir teh manis dan stoples berisi biskuit ke atas meja.

"Suni tidak pernah bilang punya teman dekat," Perempuan itu duduk di hadapan Tris. "Apalagi laki-laki."

Tris tersenyum canggung. "Saya hanya penggemarnya. Kami pernah bertemu sekali saat bedah buku."

Perempuan di hadapan Tris mengangguk pelan.

"Saya ibu Suni," dia memperkenalkan diri. "Ibu yang buruk."

Ibu Suni memalingkan wajah. Dia terlihat kalut, meremas-remas tangannya, mati-matian berusaha agar tidak menangis.

"Setiap ibu pasti berusaha jadi ibu yang baik." Entah dari mana Tris menemukan kata-kata itu. Mungkin ucapan teman kerja yang tak sengaja dia dengar.

"Yah, semoga begitu." Ibu Suni berusaha mengukir senyum. "Sayangnya beberapa tahun terakhir ini hubungan kami memburuk. Kami, saya dan Papa Suni, sering bertengkar, dan Suni semakin menutup diri. Saya pikir dia hanya sedang menyelesaikan tulisan. Tak disangka dia menyimpan masalah." Dia cepat-cepat menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya.

Hari semakin siang, matahari mulai menyengat, tapi Tris belum mau beranjak, ibu Suni pun masih asyik bercerita tentang Suni tanpa diminta. Suni yang baik, Suni yang penurut, Suni yang pendiam, Suni yang memilih mati muda .

Perasaan Tris campur aduk. Dia iba melihat ibu Suni yang bicara tanpa jeda. Mungkin Tris adalah orang pertama yang bisa diajaknya bicara.

Ah, gadis itu terlalu baik untuk mati. Andai kritikan pedas itu tidak ada, mungkin Suni tidak akan sampai berpikir untuk bunuh diri,. Mungkin mereka masih bisa bertemu dan mengobrol ringan seperti tempo hari, membicarakan buku atau film apa yang menarik.

Rasa geram tiba-tiba menyeruak di hati Tris.
***

"Kamu tidak mau minta maaf?" Ruby menatap Lyn dengan muram. Dia sudah mendengar kabar tentang Suni. Meski bisa saja ulasan Lyn bukan penyebabnya, tapi momennya berbarengan, dan telunjuk orang-orang, mau tidak mau pasti terarah kepada Lyn.

"Untuk apa? Apa salahku?" protes Lyn, matanya menyorot tak nyaman. "Aku kan tidak menyuruhnya bunuh diri."

Ruby memandang Lyn lekat-lekat. Andai ada obat untuk membuat seseorang lebih peka.

"Aku hanya membuat ulasan sesuai kenyataan. Aku tidak mengada-ada. Kalau memang bukunya buruk, kenapa aku harus bilang bagus?"

Wajah Lyn berkerut kesal. Dia mengaduk minuman dengan cepat dan sembarangan, membuat beberapa cipratan di atas meja. Dia mendecak, menarik tisu dan mengelap cipratan itu dengan gusar.

"Bukan begitu. Oke, kamu memberi ulasan sesuai fakta. Tapi gara-gara itu ada yang mati, mau tidak mau orang-orang akan menghubung-hubungkannya." Ruby bicara setenang mungkin.

Menghadapi Lyn ibarat menaklukkan bom waktu, harus hati-hati nemperlakukannya. Jika salah memilih kabel untuk dipotong, bum! Dia akan meledak. Dalam hal ini  kata-kata adalah kabelnya.

Lyn memutar bola matanya. Dia melemparkan tisu bekas ke tong sampah. Meleset. Dengan suara keras, dia mendorong kursi, bangun, berjalan menuju tisu dan mencampakkannya ke dalam tong sampah.

"Bukankah kamu yang bilang, sampaikan kebenaran meski pahit," cebiknya. Bibirnya melengkung ke bawah. Dia kembali ke kursi dan duduk dengan berisik.

Ruby mengembuskan napas. Percuma bicara jika Lyn seperti itu. Dia angkat bahu, lalu mengambil ponsel, membiarkan Lyn menghabiskan makan siangnya Masih dengan tampang menyeramkan.

Untung tadi dia membawakan roti selai. Bayangkan jika makan siang Lyn hari itu sesuatu yang menggunakan sendok atau garpu, Ruby yakin dia akan keluar ruangan sambil menutup telinga.

"Lagipula kenapa si Suni itu bunuh diri, sih. Bikin repot saja!" Lyn masih menyemburkan omelan. Dia menyeka selai di bibirnya dengan ujung jari. "Sampai hari ini banyak pesan yang aku terima, menyuruhku minta maaf. Ya Tuhan, memangnya aku tidak ada pekerjaan lain, selain mengurusi orang bunuh diri?"

Ruby tidak menjawab. Dia melihat sekilas ke arah Lyn, mata gadis itu bergerak-gerak gusar, kakinya bergoyang-goyang di bawah meja.

"Kalau mau mencari kambing hitam, salahkan netizen yang ikutan berkomentar tanpa ilmu. Yang aku ulas itu benar, tapi komentar-komentarnya malah banyak yang gagal paham. Hh... Lalu setelah kejadian begini, mereka yang kemarin menghina Suni, gantian menyudutkanku. Ya ampun, apa perlu aku beberkan komentar mereka yang mengolok-olok Suni?"

Ruby masih diam. Ada benarnya juga. Setelah ulasan Lyn keluar, ramai-ramai netizen ikut berkomentar. Kebanyakan penuh hinaan. Ruby bahkan yakin kalau mereka belum pernah membaca bukunya, bahkan mungkin baru tahu buku Suni dari ulasan Lyn.

Ajaib, memang, mereka merasa langsung paham isi buku hanya dari membaca satu berita saja.

"Tapi tidak akan ada asap kalau tidak ada api, bukan?"

Lyn membelalakkan matanya. "Jadi kamu pikir aku sengaja menyulut api?" Lyn histeris.

Roti yang tinggal satu gigit lagi diempaskan Lyn ke atas piring. Ditatapnya Ruby dengan sengit. Tak disangka, temannya sendiri menganggapnya bertanggung jawab? Luar biasa!

"Bukan begitu, maksudku_" Ucapan Ruby terhenti karena suara ponsel milik Lyn.

Lyn membersihkan tangannya dengan tisu, lalu menyambar ponsel di atas meja. Keningnya berkerut, nomor yang muncul di layar tidak dia kenal.

"Halo, siapa?" Lyn menyalakan speaker. Dia menatap Ruby yang juga mengerutkan kening.

[Halo, Lyn. Aku akan mencarimu. Meminta pertanggungjawabanmu atas kematian Suni]

Sunyi. Telepon langsung mati bahkan sebelum Lyn mengembuskan napas.
***
Alhamdulillah, bisa apdet lagi. Terima kasih sudah membaca. Mohon kritik dan sarannya.
Terima kasih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEAR SUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang