Prolog

92 12 2
                                    

Gadis kecil berusia sekitar 12 tahun melipat tangan di depan dada. Kedua lesung pipinya mencuat ketika pipi gembulnya dikembungkan, jengah melihat kakak beradik yang tengah berdebat dihadapannya.

"Rara sama bang Vian lagi ngeributin apa sih? Vivi kan kesini niatnya mau main ke rumah pohon, Kok malah dicuekin?" gadis kecil berlesung pipi--Vivi mengerucutkan bibir lucu. Mata bulatnya mengarah pada dua orang yang sedang menoleh ke arahnya.

"Ehh.. ini  nih pi." Rara, gadis kecil yang tadi sempat berdebat dengan kakaknya itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah Vian, "Bang Vian ngga mau ikut ke rumah pohon."

Vian, kakak Rara yang hanya berselisih umur 1 tahun dengan adiknya itu merebahkan diri di sofa. "Abang capek habis pulang latihan basket, kalian berduaan aja ya ke rumah pohon, lagian letak rumah pohon ngga jauh kok, cuma di danau belakang rumah. Kalian kan sering kesana."

Kedua gadis kecil mengerucutkan bibir kesal.

"Kalo bang Vian ngga mau anterin Rara sama Vivi, nanti abang Rara laporin ke Mami kalo abang yang udah nyuri Cupcake  yang udah mami buat." Rara mengancam, yang sukses membuat Vian bangkit dari posisi rebahan nya

Vian menatap Rara kesal. "Ya udah kalo mau ke rumah pohon cepetan, abang anter."

"Eum..abang jangan cuma nganterin kita, abang juga harus ikut kita main dan nungguin kita, abang harus nurutin semua yang kita mau nanti di rumah pohon." kali ini yang berbicara Vivi, gadis kecil berlesung pipi itu menunjukkan cengirannya yang mampu membuat Vian cengo.

Mati aku. Vian membatin.

Mereka mulai berjalan ke rumah pohon. Sesampainya di rumah pohon mereka tidak langsung naik melainkan duduk di atas rerumputan memandang danau. Rara dan Vivi saling berceloteh ria lupa waktu, mengabaikan Vian yang berada di belakang mereka.

Vian mendengus, mulai membuka suara, "Kalian sampai kapan mau terus disini?"

"Sampai senja pulang bang." Rara menjawab namun tidak mengalihkan tatapannya dari matahari yang perlahan turun, juga hiasan langit berwarna jingga yang selalu membuatnya terpana.

Vian menghela napas. Peralahan ia melangkah mendekati Rara dan Vivi, ia duduk di tengah tengah kedua gadis kecil itu. Vian merengkuh tubuh kedua gadis kecil dalam pelukannya. Terjadi keheningan beberapa saat.

"Bang Vian.. Rara.." Suara Vivi terdengar lirih, tanpa mengalihkan pandangannya dari senja ia kembali melanjutkan, "jangan pernah tinggalin Vivi ya, Vivi kesepian kalau ngga ada kalian di sisi Vivi. Kalian kan tau kalau Vivi sendirian di rumah."

"Vivi ngga mau kehilangan kalian, kalian orang yang paling Vivi sayang di dunia ini." Mata Vivi mulai berkaca-kaca. Melihat itu Vian mengeratkan pelukannya.

"Bang Vian sama Rara janji ya jangan pernah tinggalin Vivi." Vivi mengacungkan jari kelingkingnya yang kecil ke arah Vian dan Rara.

"Abang Vian sama Rara janji kok ngga bakalan ninggalin Vivi, jadi Vivi jangan nangis lagi ya!" Rara menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Vivi, "iya kan bang?"

Vian tersenyum, perlahan ia mulai ikut menautkan jari kelingkingnya, "iya abang janji, yaudah kita pulang yuk, udah mulai gelap nih."

Mereka mulai meninggalkan danau menuju rumah masing-masing. Vivi membuka pintu rumahnya. Mengucapkan salam walau ia tahu tak akan ada yang akan menjawab salamnya. Ia menuju ke kamar, membuka pintu dan merebahkan diri pada kasur miliknya. Matanya memanas, perlahan butiran kristal bening jatuh dari pelupuk matanya "Papa..Mama..." Ia mulai terisak.

***

Pagi ini sangat cerah, Kontras sekali dengan suasana hati Vivi. Gadis kecil berlesung pipi itu terlihat murung memperhatikan rumah bercat coklat yang berada di depan rumahnya.

Vivi perlahan mendekati gerbang rumah bercat coklat yang tak lain adalah rumah Vian dan Rara, Vivi memperhatikan pintu rumah yang tertutup.

"Eh Neng Vivi ngapain di depan gerbang rumah Pak Anton?" seorang tetangga yang melewati gerbang rumah Vian perlahan mendekat ke arahnya.

"Vivi nyari abang Vian sama Rara, mereka kemana ya Pak? Udah satu minggu Vivi ngga ngeliat mereka." Vivi bertanya dengan suara pelan namun masih bisa didengar oleh bapak itu.

"Oh..Mereka sudah seminggu meninggalkan rumah ini, katanya rumah ini sudah mau dijual dan kemungkinan mereka pindah ke luar kota. Ya sudah bapak pergi dulu ya Neng, masih ada pekerjaan." Bapak itu pergi meninggalkan Vivi sendirian dengan mata yang mulai berkaca kaca.

"Abang Vian sama Rara ngga nepatin janji, katanya ngga bakal ninggalin Vivi, tapi sekarang mereka ninggalin Vivi..hiks.." Air mata Vivi meluruh, gadis kecil itu berlari ke arah rumahnya dengan punggung yang bergetar hebat.

Setelah sampai pada rumahnya Vivi membanting pintu dengan keras, meracau tidak jelas dan terus membanting barang-barang di sekitarnya, "Sekarang ngga ada yang sayang sama Vivi, hiks..Vivi sendirian hiks.." Vivi meraih gelas kaca "Abang Vian sama.. Rara jahat.. hiks.." Vivi melempar gelas kaca itu ke arah kaca yang berada tak jauh darinya dan menimbulkan suara 'Praaang'  yang sangat kencang "VIVI BENCI KALIAN!!"

Tbc


 

Secrets and FactsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang