chapter one

4 1 0
                                    

"kamu mau kopi?" sesosok lelaki dengan kacamata yang menghiasi hidung mancungnya, berkulit sawo matang dan memakai jas dokter berwarna putih dengan Name Tag yang jelas terlihat. dr. Raghyan Bumi Chandrawijaya menyapa sosok gadis berambut kecoklatan yang dicepol asal keatas.

Gadis itu menatap Americano berlabel kedai kopi terkenal yang disodorkan oleh sang dokter, kemudian menggelengkan kepalanya.

"serius? Kamu kelihatan ngantuk banget lho," dokter Raghy masih saja meyakinkan sang gadis.

Dengan sebelah alis yang terangkat, gadis itu menatap curiga kearah sang dokter. "Tumben banget dokter baik, ada angin apa?"

"Kok kamu nuduh saya sih?" Ujarnya dengan nada kesal, "saya kan cuma menawarkan kopi, kalau kamu nggak mau yasudah."

Gadis itu makin bingung, "Tuh!" ia menunjuk wajah sang dokter dengan nada kesal, "kamu yang nawarin, kamu juga yang marah. Mending nggak usah dok, mendingan kamu kalau mau jalan terus ada saya nggak usah liat aja sekalian. Cuma nanya, tapi malah sewot."

Raghy menghela nafas kemudian duduk dihadapan Gadis itu, "Maaf, Ramia," ujarnya pelan, ia melepas kecamatanya kemudian meletakkan benda tersebut dikantung jasnya. "Pasien diatas sedang jelek, saya jadi stress sendiri."

Gadis bernama Ramia itu mendengus sebal, "terus kalau kondisi pasien lagi jelek, dan kamu stress kamu bebas buat kesal sama saya?"

"berantem mulu, jadian baru tau rasa." Diana, teman satu shift Ramia datang dengan perut yang agak membesar. "eh jangan jadian doang deh, nikah baru rasain."

Ramia menatap kesal sahabatnya yang sedang berjalan dengan sang suami. Naas memang nasib gadis itu, ia harus mendapat shift bersama ketiga sahabatnya yang menyebalkan sekaligus ia sayangi.

"Bang, itu istrinya punya mulut lancar bener kalau ngomong. Lagian kalau mau doain sahabat tuh ya harus yang baik-baik." Sahut Ramia kesal.

Randy terkekeh, "Diana bener, Ram, kalian berantemnya ngalahin kami yang sudah suami istri. Lucu juga kalau tiba-tiba kalian nikah."

Raghy berdeham kecil, kemudian ia meletakkan satu cup lain dimeja. "Kalau nggak mau kopinya yaudah ini aja buat kamu. Saya keatas dulu, mau visit."

Ramia bengong saat melihat cup berisikan Green Tea dengan ekstrak whipe cream dihadapannya. Sementara Raghy berlalu begitu saja.

"dia bisa nggak sih nggak usah sebaik itu? Gue takut kalau nggak bisa berhenti." Gumam Ramia pada dirinya sendiri.

*** ** ***

"Lo tau nggak, si Raghy abis berantem lho sama anak medis yang lain." Shiela membuka pembicaraan saat ia sedang menghabiskan waktu dengan Ramia dan Diana.

Diana tertawa kecil, "itu mah berita lama kali Shiel. Udah tau gue, orang pas gue dirawat semua orang ngomongin."

Shiela mendesis kecewa, "Ah! Kenapa gue jadi nggak update banget sih. Kecewa gue."

"Nih si Ramia abis kemarin dimaki-maki, gila yah si Raghy tuh. Stress gara-gara mau kawin apa gimana sih?" Diana menyuap potongan salad buah yang ia pesan dikantin Rumah Sakit.

Ramia yang sejak tadi diam kemudian memandang Diana dengan kesal, "padahal gue nggak mau bahas soal itu lho kak. Kenapa lo ingetin lagi sih."

Diana tertawa kecil, tak mengacuhkan ucapan Ramia.

"Wah, seru nih kayaknya. Diapain lo Ra sama dia?"

"Sepele, njir. Gue cuma nanya soal pasien padahal, eh dia malah ngebentak suruh pasiennya ke Igd aja. Udah mana gue nggak boleh nelpon kesana, alasannya mereka sibuk." Suara Ramia mendadak kencang karena ia sedikit terbawa emosi, "kesel nggak sih, emangnya dia doang yang sibuk! Mentang-mentang abis kasih gue green tea terus bisa maki-maki gue seenaknya? Dih!"

Diana maupun Shiela tertawa geli melihat ekspresi Ramia.

"Yah, diomongin sih Ram, datang tuh orangnya barengan sama si Randy." ujar Shiela.

Ramia mendengus sebal, kemudian tetap fokus pada gado-gado kesukaannya.

Ia merasakan jika sosok Raghy kini duduk disebelahnya, sementara Randy duduk disebelah Raghy dan berhadapan dengan Diana.

"fokus banget sih makannya," Raghy memulai bicara dengan Ramia. Namun gadis itu hanya diam tak perduli.

"Kita kenal?" Tanya Ramia tak acuh, ia kembali menyendokkan suapan full gado-gado sementara Raghy menatapnya bingung.

"Ngambek tuh dok, lagian maki-maki orang sembarangan sih." Ujar Diana sambil terkekeh disebelah suaminya.

Raghy mengulas senyum tipis, "kamu sejak kapan sih jadi suka baper gini? Biasanya mau saya marah kayak apa juga cuek."

Ramia mendengus, "kalau kamu marah soal pribadi saya nggak perduli, tapi kamu marah disaat saya konfirmasi soal pasien. Dan kamu bilang telepon saya mengganggu kamu yang sedang sibuk," Ramia menyentak sendok dan garpu yang sedang ia pegang, matanya menatap Raghy sebal. "semua orang sibuk dok, begitupun saya. Jadi, memakai alasan sibuk itu sangat nggak etis."

Raghy terpaku, pasalnya baru kali ini ia melihat Ramia marah kepadanya. Biasanya jika gadis itu sedang sebal atau kesal, ia hanya akan berlaku seperti Raghy tidak terlihat oleh matanya. Begitupun sebaliknya. Namun, hari ini, Ramia lebih memilih untuk mengekspresikan kemarahannya pada Raghy.

"Gue mau duluan, lo ikut gue apa masih mau disini, Shiel?" Tanya Ramia ketus. Shiela yang belum menghabiskan makanannya memilih untuk tetap berada dikantin. Sementara Ramia memilih untuk pamit.

Melihat itu, Diana dan Randy tersenyum. Gadis ini sangat cocok untuk menimpali sikap arogan maupun angkuh milih Raghy.

*** ** ***

Pagi ini Ramia maupun Raghy telah menunggu dengan sangat lama, rencananya setelah perdebatan menyebalkan dua hari yang lalu, Randy berencana membuat kami berwisata kecil ke pulau yang terdekat. Yah, hanya sekedar berlibur singkat untuk melepas penat.

Namun, Randy maupun Diana tidak juga terlihat batang hidungnya. Awalnya mereka berencana untuk berlibur berlima, namun, salah satu teman Shiela mendadak sakit dan tidak bisa masuk dalam beberapa hari dan membuat Shiela tidak bisa mengambil jatah libur dan harus bekerja lembur.

Suara ponsel Raghy berbunyi, lelaki itu kemudian agak menjauh dan mengangkatnya.

Lalu tidak lama Wajah Raghy berubah kebingungan, dan ia tidak berhenti menggaruk kepalanya.

"Kenapa dok?" Ramia akhirnya bertanya, meski masih ada perasaan dongkol campur kesal, tapi Ramia mengesampingkan itu sekarang.

Raghy menatap Ramia dan juga seonggok koper yang dibawa gadis itu, "Diana mendadak demam, jadi mereka batal buat liburan. Tapi kita kan udah terlanjur dp untuk tempat, jadi kalau kita hanya berdua kesana gimana?"

Sejujurnya Ramia agak shock dengan ide yang dikeluarkan oleh Raghy, namun, lelaki itu ada benarnya. Mereka sudah membayar untuk transportasi dan juga akomodasi selama disana, dan jika mereka membatalkan tentu saja uang mereka tidak akan kembali.

"berdua aja dok?" Refleks itu yang pertama kali Ramia tanyakan.

Raghy mengangguk polos, "kamu takut liburan berdua aja sama saya?"

Ramia menggeleng, "bukan begitu," paparnya, "saya cuma takut ada orang yang berasumsi macam-macam kalau tau kita liburan berdua."

Raghy terkekeh, "hidup ini milik kita, lalu kenapa kita harus dengarkan ucapan mereka?"

Akhirnya Ramia hanya mengangguk. Tidak ada yang spesial dalam hal ini, mereka berlibur hanya karena tidak ingin mendapatkan kerugian. Hanya itu.

This Feeling (on going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang