chapter two

3 0 0
                                    

"welcome to pulau pantara," gumam Raghy dengan nada bersemangat. Lelaki itu terlihat tampak nyaman dan santai. Berbeda dengan Raghy yang selalu Ramia lihat saat menggunakan jas dokternya.

Ramia perlahan ikut tersenyum, "semoga dengan liburan singkat bisa bikin otak kamu waras lagi ya dok,"

Raghy ikut terkekeh, "kayaknya saya emang butuh liburan. Kamu sadar nggak sih Ra kalau suasana rumah sakit makin nggak kondusif."

"kayaknya kamu yang mulai nggak kondusif deh sama semua orang," Ujar Ramia, keduanya berjalan santai mengikuti pegawai cottage. "Jangan kira saya, Shiela, Diana dan juga Randy nggak tau ya kalau kamu mulai banyak masalah sama anak medis yang lain."

Raghy menatap Ramia tak terima, "saya nggak ada masalah ya sama mereka. Mereka aja mempersulit kerjaan saya."

Ramia mendengus, "kerja itu sesuai sama prosedur, dok. Ya kalau menurut mereka nggak sesuai, ya gimana mau dikerjakan sama mereka."

"Lho, saya kan memudahkan pasien dong. Masa mereka nggak mau bantu?" Sahut Raghy, "Kita disini kan sedang berlibur, saya nggak mau bahas pekerjaan. Bisa kamu lakukan itu, Ramia?"

Ramia hanya berdeham kecil, pegawai cootage berhenti didua kamar yang terletak bersebelahan. Tadinya kamar tersebut memang akan dijadikan kamar antara grup perempuan dan grup lelaki.

"Kamu beneran batalin satu kamar? Kamu gila ya?"

Raghy tergelak, "iyalah. Menghemat akomodasi, tau! Udah nggak usah banyak komplain lagian saya nggak tertarik sama kamu."

Ramia kemudian hanya diam, satu kalimat yang diucapkan Raghy membuat dirinya sesak. Meski lelaki itu mengucapkan dengan tawa, namun tetap saja hatinya tidak bisa menerima.

Ramia fikir, akomodasi yang sudah dipersiapkan Raghy adalah sebuah guest house atau hotel. Namun ia salah, Raghy memesan sebuah cottage yang berada dalam sebuah rumah utama yang besar. Cottage ini betul-betul indah, langsung menghadap kearah pantai.

Pegawai room service tersebut undur diri setelah memberikan penjelasan tentang cottage serta memberikan mereka kunci ruangan, Raghy langsung meletakkan kopernya begitu saja. Dan setelah itu ia merebahkan tubuhnya diatas kasur.

Cottage ini benar-benar lumayan besar, dua kasur yang diberi sekat dan masing-masing memiliki satu lemari dan juga kaca.

Kamar mandi yang memiliki bath up dan juga kloset dibuat secara terpisah.

"saya dengar kamu dan Reza putus ya?" Raghy bertanya pada Ramia yang sedang sibuk menata isi kopernya.

"Hmm," gadis itu hanya berdeham kecil sebagai jawaban.

Raghy tampak tidak puas dengan jawaban gadis itu, "rumornya kalian mau nikah tahun depan, kan?"

Ramia mendengus, matanya menatap sebal kearah Raghy yang kini sedang menatapnya menunggu jawaban. "Kamu ini sejak kapan suka gosip sih? Lagian, rumor darimana soal nikah? Bukannya kamu ya dok yang mau nikah tahun ini."

Raghy kini merubah posisinya, ia duduk ditepi ranjang. "Kamu fikir saya bisa tenang libur berdua aja sama kamu kalau saya memang mau menikah." Paparnya sebal, "dan yah, siapa yang nggak mau menikah lebih cepat? Tapi jodoh saya belum datang secepat yang saya mau."

"Saya bingung, kenapa sih orang-orang suka sekali menikah cepat? Memangnya menikah itu seperti sebuah ajang ya?" Ramia bertanya dengan nada bingung.

"Reza cerita, dia bilang dia sudah mengajak kamu lebih serius. Apa yang salah dari Reza sih, Ra? Dia tampan, baik, kaya, dan bentar lagi jadi dokter spesialis." Ujar Raghy.

Ramia terkekeh, ia masih sibuk melipat ulang pakaiannya dan mengatur kedalam lemari pakaian.

"Menikah memangnya hanya butuh Kaya, baik, tampan dan semua yang kamu sebutkan ya, dok? Menurut saya, menikah itu menyatukan dua kepala menjadi satu. Menikah itu menjadikan keluarga pasangan sebagai keluarga kamu juga. Menikah juga butuh restu dan tanggung jawab." Ramia menghela nafasnya sejenak, "saya rasa kamu tau lah arah pembicaraan saya."

Raghy mengangguk, Ramia dan Reza memang baru berpacaran ketika keduanya bekerja di Rumah Sakit yang sama. Ramia tidak disetujui oleh keluarga Reza, setidaknya itulah rumor yang beredar.

"tapi mendengar ucapan kamu soal pemilihan pasangan, jelas saja Reza sangat amat tidak cocok dengan saya. Reza jelas punya segalanya, tapi saya tidak."

Raghy kontan menatap Ramia panik, gadis itu haruskah salah faham dengan ucapannya. "Bukan, bukan itu maksud saya."

Ramia hanya mengulas senyum, "tapi dibalik itu semua saya memang sudah berhenti mencintai Reza, dia memang lelaki yang baik, tetapi hati saya sudah berpindah pada orang lain."

*** ** ***

"kamu percuma sekali ya liburan ke pantai tapi nggak berani nyentuh aktivitas laut. Snorkeling dan banana boat itu seru sekali, Ramia." Ujar Raghy dengan sebal. "Kalau tau begini kayaknya mending kita liburan ke gunung saja."

Ramia tidak menanggapinya, gadis itu sibuk dengan dirinya yang sedang berjemur. Kapan lagi ia bisa berjemur matahari, membuat kulitnya sedikit lebih kecokelatan.

"Kamu itu kalau tidur memang ngorok ya?" pertanyaan dari Raghy kali ini mendapat respon Ramia, gadis itu langsung membuka matanya dan menatap Raghy dengan tatapan membunuh.

Raghy yang baru saja selesai menyelam tertawa geli, menggoda Ramia adalah salah satu aktifitas favoritenya.

"kamu seharusnya nggak boleh bicara kayak begitu sama perempuan, Dok. Tahu kan kalau perempuan itu sensitif?" sungut Ramia kesal.

Raghy berjalan menghampiri Ramia, kemudian mengacak rambut Ramia dengan gemas.

"saya cuma bicara jujur lho, Ra. Kenyataan kalau kamu itu ngorok." ujarnya masih dengan tawa, "tapi saya nggak keberatan kok."

Ramia hanya mendengus, "kamu liburan berdua saya emang nggak ditanyain sama tunanganmu dok?"

Raghy tidak merespon ucapan Ramia, sebagai gantinya pria itu malah berdiri. "liburannya nggak berasa ya, tau-tau udah harus pulang. Saya mau bersih-bersih terus packing. Bye, ramia."

Ramia hanya diam, sikap Raghy terbilang aneh. Apalagi ketika Ramia menyinggung soal tunangan atau rencana menikahnya.

Apakah mungkin terjadi sesuatu? Ah, itu bukan urusannya. Ramia kemudian ikut berdiri dan kembali ke cootage.

This Feeling (on going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang