chapter three

7 0 0
                                    

Liburan telah selesai, baik Raghy maupun Ramia sudah kembali ke rutinitas pekerjaan mereka.

Soal liburan berdua, hanya mereka dan juga Shiela yang tahu. Bahkan diana dan Randy tahunya mereka batal untuk pergi namun tetap menikmati masa cuti.

Ramia kembali menatap foto dimana ia sedang berdiri menatap sunset, foto yang diambil secara candid oleh Raghy. Foto itu pula yang menurutnya terbaik.

Diam-diam Ramia memiliki banyak foto candid Raghy, entah ketika ia sedang menatap laut, atau ketika lelaki itu sedang tertawa sambil menikmati secangkir kopi.

Ramia tidak berbohong ketika ia bilang sudah jatuh cinta pada orang lain saat memutuskan hubungannya dengan Reza. Sesungguhnya, Ramia juga mengutuk dirinya untuk hal itu. Ia seakan memainkan perasaan Reza.

Namun, seandainya ia tetap bersama Reza itu mungkin akan menyakitkan bagi keduanya. Keluarga Reza benar-benar tidak menyetujui hubungan mereka, karena Reza berasal dari keluarga kaya dan juga mengusung tinggi bibit, bobot, dan bebet untuk calon menantunya.

"Hei, sendirian aja?" Suara familiar itu membuat Ramia menoleh, sosok Reza dengan semangkuk bakso dengan uap yang mengepul muncul. Gadis itu mengulas senyum kemudian mengangguk.

"Istirahat, dok?" tanya Ramia, Reza ganti mengangguk seraya melontarkan senyum kecut.

"agak aneh dengar kamu panggil aku dokter saat kita cuma berdua," ujarnya jujur, "kamu bisa panggil aku Mas Reza seperti biasa, Ra. Kamu nggak perlu merubah itu."

Ramia hampir tersedak es teh manis yang baru saja membasahi kerongkongannya, "bukan, bukan itu maksudnya." memang agak sulit untuk membiasakan panggilan 'dok' untuk Reza, terlebih setelah hubungan mereka berdua selesai. Namun, memanggil Reza dengan panggilan Mas seperti biasa juga bukan hal yang baik. "Aku cuma mau lebih profesional aja, Mas."

"Kamu sudah tau kalau Raghy batal menikah?"

Ramia kini menoleh pada Reza, lelaki itu tersenyum kepadanya.

"benar kan Ra, lelaki itu Raghy kan?" Reza tiba-tiba saja bertanya. Tidak, itu bukan pertanyaan. Nada suaranya lebih mengisyaratkan sebuah pernyataan.

Ramia menatap Reza, "mau kamu apa mas sebenarnya?"

"Aku? Aku cuma mau kamu jujur sama perasaanmu, Ramia." ungkap Reza, "kalau kamu memang lebih menyukai Raghy, kenapa kamu nggak jujur aja? Kenapa kamu lebih suka menjadikan keluargaku alasan kita selesai?"

Ramia menghela nafas, "kamu tahu betul kan sejak awal memang keluarga kamu yang menjadi alasan utama kita nggak bisa terusin hubungan ini, dan untuk perasaan, aku benar-benar minta maaf mas. Aku nggak bermaksud menyakiti kamu."

Reza berdecih, "kamu bahkan nggak menjawab pertanyaanku, Ramia." kemudian Reza berdiri, ia beranjak meninggalkan Ramia dan semangkuk bakso yang bahkan belum ia sentuh sama sekali.

*** ** ***

"jadi gimana liburannya shay? Asik?" Ramia sedang berdiri didepan farmasi bersama Shiela. Gadis itu mendengus dan menyuruh Shiela untuk diam.

Shiela tertawa, kemudian kepalanya terlihat seperti menunjuk sesuatu. Ramia menoleh, mereka berdua melihat Raghy yang berjalan begitu saja. Bahkan, sosok Ramia maupun Shiela seakan tidak terlihat.

"Lah, dia kenapa Ra? Kok nggak ada basa-basinya?" Tanya Shiela pada Ramia, sementara Ramia hanya mengangkat bahu.

Ramia kemudian menarik Shiela mendekat, "Dokter Reza tadi bilang kalau dia batal nikah."

"Astaga!" Shiela menjerit, kemudian Ramia menutup mulut sahabatnya itu, "kalian nggak ngapa-ngapain kan selama liburan?" tanya Shiela berbisik.

Ramia menepuk kepala Shiela dengan sebal, "gue nggak sehopeless itu ya abis putus dari Reza."

"Yakali aja Ra, namanya juga manusia." ujarnya, "bisa khilaf kapan aja."

"sinting!" Ramia tidak lagi mendengarkan ocehan Shiela, gadis itu lebih tertarik untuk memikirkan kenapa sikap Raghy berubah secepat kilat.

"eh Ra, lo nggak nanya sama dokter Reza kenapa Raghy batal nikah?"

Ramia menggeleng, "dia lagi mati-matian nuduh gue suka sama Raghy, mana berani gue nanya begitu. Yang benar aja dong lo, shiel!"

"kok lo sewot sih?" keluh Shiela, "emang Raghy nggak ada cerita-cerita soal ini pas kalian liburan?"

Ramia menggeleng, "ya enggaklah, gue ngebahas soal sikap dia yang nggak kondusif di Rumah Sakit aja dia sewot."

"gue kadang suka mikir deh, gimana kalau seandainya ternyata... Seandainya lho ya, seandainya kalian berdua jodoh."

Ramia membulatkan matanya, "jangan gila lo ya, Shiel. Pikiran lo---"

"siapa yang ternyata jodoh?" Suara Reza membuat Ramia dan juga Shiela menoleh kaget. Lelaki dengan rambut yang dipangkas rapih itu sudah berdiri tepat dibelakang mereka.

"Eh dokter Reza," Shiela tertawa kikuk, "sehat dok?"

Reza hanya mengangguk singkat, kemudian matanya tertuju pada Ramia, "lagi bahas siapa sih kalian, kayaknya seru banget."

"biasa, shiela lagi mimpi gimana kalau ternyata dia jodoh sama Brooklyn beckam." Ramia tertawa garing, "kamu kan tau kalau dia suka ngehayal."

Reza menaikan sebelah alisnya, mata lelaki itu menyipit dibalik kacamatanya.

"btw, aku balik ke admission dulu ya dok." Ramia melempar pandangan membunuh pada Shiela, "balik kerja lo, ngegosip mulu nggak bikin Brooklyn mendadak jatuh cinta sama lo."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

This Feeling (on going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang