Still Welcoming Party

18 4 0
                                    

Walau malam sudah larut, May belum juga tidur. Ia masih nyaman menuangkan ide dan mengetiknya di laptop. Alhasil, jadilah sebuah karangan cerita yang ia tulis berdasar pengalamannya di hari itu. Ia tak lupa mencantumkan waktu sebelum ia mulai bercerita.

Tok... Tok... Tok... Seseorang mengetuk jendela kamarnya. Ia men-shut down laptop-nya dan mendekati jendela. Membuka tirainya perlahan.

Jreng... Wajah seseorang yang disoroti sinar senter membuatnya terkejut. Apalagi kalau suasananya gelap, semua lampu di luar sudah dimatikan. Ternyata dia adalah Rian.

"Jangan takut, May. Ini aku, Rian." bisik Rian.

"Mas Jom ngapain malem-malem keluyuran ke sini?" tanya May.

"Keluar, yuk."

"Pintu luar asrama kan dijaga. Aku nggak bisa keluar jam segini, Mas."

"Lewat jendela aja, May. Kan, nggak susah. Ayo, ambil sandal kamu. Kita ke rooftop."

May mengangguk. Ia mengambil cardigan merah muda dan sandal jepitnya. Lalu, membuka jendela. Menyusup ke luar kamar.

"Kita lewat belakang, ya." ucap Rian sambil menyoroti jalan dengan senter kecilnya. Suara burung-burung malam membuat bulu roma menegang. May yang terlalu takut itu menggandeng erat lengan Rian.

"Kenapa, May?"

"Mas Jom, aku takut."

"Nggak akan ada apa-apa. Aku ada di sini. Aku bakal ngelindungin kamu." ucap Rian sambil mengacak rambut May.

May mengangguk.

Mereka menaiki tangga dengan langkah pelan. Supaya tidak terdengar oleh staf keamanan Pelatnas.

Sampailah mereka di rooftop yang sudah cukup ramai namun tetap dengan suara senyap.

Mereka semua melambaikan tangan ke Rian dan May yang baru datang. Mereka semua duduk membentuk formasi lingkaran besar. Dengan sebuah senter kecil di tengah-tengah mereka.

"Kalian mau ngapain? Malam-malam begini." tanya May.

"Kami mau kenalin tradisi kami kalau nggak bisa tidur." ucap Melati. Diikuti anggukan Praven yang duduk di sampingnya.

"Apa itu?"

"Dark ToD." jawab Kevin sambil menyiroti wajahnya dengan senter.

"Dan senter cerita misteri." tambah Fitriyani.

"Kelihatannya menyenangkan."

"Mau coba?" tantang Fajar.

"Tentu."

"Let's go, girl."

Mereka duduk lagi untuk membentuk formasi lingkaran. Kevin memutar senter kecil itu. Menunggu cahayanya berhenti di satu orang yang bisa ia tanyai. Dan... cahaya itu berhenti di Rian.

"Nah lu, Jom. Truth or Dare?"

"Dare."

"Asik, nih. Sekarang, gue tantang lu buat adu tatap sama May selama 2 menit."

"Gak ada tantangan lain, apa?"

"Dare tetep dare, Jom. Ayolah, cuma 2 menit doang. Nggak lama, kan."

"Okay... May, maafin si Mpin, ya."

"Siapa yang matanya kedip ato pedes duluan, dia yang bakal puter senter ini dan kasih tantangan."

Rian yang kebetulan duduk di dekat May itu merubah posisi duduk. Berhadapan dengan May.

"Siap? Mulai..."

Mata Rian terus fokus pada bola mata cokelat tua milik May. Mata itu sungguh indah, hingga ia tak ingin berpaling dan terus menatapnya.

Ya Tuhan... Kuat-kuat ini cuma dare, batinnya. Satu setengah menit berlalu, mata May mulai mengeluarkan air mata. Sepertinya matanya terlalu lemah untuk tidak dikedipkan. Maka, May menunduk dan menutup matanya.

"Assshhh... pedes banget."

"Ya ampun. Maaf ya, May."

"Mata Mas Jom terlalu glowing, sampai aku nggak kuat untuk nggak kemedep." canda May sambil menyerap air matanya dengan tisu.

"Tapi, mata kamu nggak apa-apa, kan?"

"Nggak pa-pa, Mas. Santuy, bentar lagi juga sembuh."

Rian bernapas lega. Ia khawatir dengan May kalau sampai mata gadis itu bermasalah karenanya. Ia meminum air yang ada di watercase yang ia bawa dari asrama. Adu tatap itu melelahkan juga. Seperti lari sprint 5 kali berturut-turut.

Setelah beberapa menit bermain ToD, mereka melanjutkan tradisinya dengan senter cerita misteri.

"Karena tadi berhentinya di Ihsan, sekarang yang giliran cerita adalah Ihsan." ucap Fajar sambil meninju pelan lengan kekar Ihsan.

"Perasaan dari kemarin gue melulu. Gue jadi dzikir-nya aja, lah."

"Nggak bisa, Can. Kemarin lo kan, udah gue gantiin. Jadi, sekarang giliran lo." protes Anthony. Diikuti tawa kecil dari atlet lain yang ikut dalam tradisi ini.

"Okay, deh. Gue manut aja."

"Jadi gini. Dulu, pas malem pertama gue tinggal di Pelatnas, gue punya cerita menegangkan."

"Apa tuh, 'Aa Can?" tanya May di sela-sela cerita.

"Dulu, habis sholat tahajud di masjid, kan gue lewat jalan yang mau ke gudang. Gue denger kaya ada lolongan macan. Berkali-kali, tapi patah-patah."

"Gue pengen lari dari situ, tapi saraf penasaran gue lagi kumat. Jadi, gue cari deh sumber lolongan yang kek macan itu."

"Sampailah gue di deket jendela salah satu kamar di asrama putri. Lolongan itu semakin keras. Bukan justru buat gue takut, tapi malah buat gue penasaran. Mumpung tirai tebalnya kebuka juga, jadi gue bisa tau siapa yang ngelolong malem-malem."

"Dan... saat gue ngintip ke kaca jendela, ternyata ada..."

Ucapan Ihsan terpotong dengan keterkejutan mereka. Mereka terkejut karena Mbak Wid tiba-tiba datang dan menyoroti wajahnya dengan senter.

"Ternyata lolongan yang kek macan itu oroknya Mbak Wid." tunjuk Ihsan ke arah Mbak Wid.

"Astaga... Gue kira ada valak malem-malem disini. Ternyata Mbak Wid." ucap Jonatan. Sontak, Mbak Wid langsung menimpuknya dengan gagang senter.

"Sengklek lu, cantik gini dibilang valak. Lagian, ngapain kalian di sini malem-malem? Bukannya pada tidur malah pada keluyuran ke rooftop."

"Still welcoming party aja buat May, Mbak Wid. Kita-kita juga nggak bisa tidur. Jadi ya, kita ke sini." jelas Fajar. Yang lainnya juga memberikan alasan yang sama.

"Lah elu, Can. Lagi cerita apa? Cerita horror? Atau lagi ngegosipin gue?"

"Iya dua-duanya, Mbak. Gue cerita tentang orok lu waktu itu, Mbak Wid. Misteri tapi lucu. Hahaha..."

"Ya ampun, Can. Jangan dibahas lagi, deh. Lu bikin eike malu melulu, Can." protes Mbak Wid sambil mendorong pundak Ihsan dengan kesal.

"Udah yuk, welcoming party-nya. Gue udah ngantuk nih, pengen sleeping handsome. Yuk, Koh Sinyo." celoteh Fajar dengan cengiran khas-nya.

"Kuy, gue juga mau telepon doi gue. Kangen sama keluarga. Besok gue mo pulang gepepe, ya."

"Siplah..."

Disaat yang lain bergegas turun, May celingukan. Ia tak mungkin kembali sendirian. Ia tidak bawa senter untuk menerangi jalan nantinya.

"Kenapa, May bebep-que?" tanya Greysia.

"Kak Greysia, aku ikut kakak pulang ke asrama, ya. Kamar kita sebelahan, kan?"

"Ya udah, hayuk. Aku tahu kamu takut gelap juga nggak bawa senter. Hihihi..." ledek Greysia. "Ayuk, Rahayu."

Best Lucky CharmingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang