3. Murid pindahan

44 6 4
                                    

Pagi ini Freya bangun dengan kantung mata yang membengkak hitam. Suasana hatinya sama sekali tidak berubah sejak tadi malam saat ia membanting keras pintu kamar. Freya menatap pantulan dirinya yang sudah memakai baju seragam dengan rapi di cermin meja rias, lekas menutupi wajah suramnya dengan make-up dasar. Perdebatan kemarin masih segar di ingatannya pun cara Ibunya melotot marah padanya masih tergambar jelas di kepalanya. Freya menghembuskan napasnya panjang. Hari ini juga akan menjadi hari-hari beratnya.

Ia mengambil tas gendong berwarna biru malam lalu melangkah keluar kamar, tampak Ibunya sedang berkutat dengan laptop di depan TV. Freya berdecih pelan, itu bukanlah pemandangan yang ingin ia lihat untuk memulai harinya. Tanpa ada sapaan atau sekedar mengucapkan jika ia akan berangkat sekolah, Freya tetap berjalan tanpa memedulikan Ibunya. "Freya!"

Ellen yang melihat anaknya keluar rumah tanpa pamit langsung mengejar sambil meneriakinya. "Kamu udah sarapan?"

Freya tak menjawab, tatapannya datar sambil memakai sepatu pantofel hitamnya dan memasang earphone putihnya. "Kalau ditanya tuh dijawab!" Ellen kesal tidak mendapatkan respon dari Freya. Anaknya terlalu batu. Ellen menahan lengan Freya, "Siapa sih yang ngajarin kamu bersikap ga sopan kayak gini? Kalau diajak bicara tuh nyahut, udah sarapan belom? Itu Mama udah suruh Bibi bikinin nasi goreng, sarapan dulu."

"Ga ada yang ngajarin Freya sopan santun, itu masalahnya." Freya menepis tangan Ibunya lalu masuk ke dalam mobil. Mobil hitam Freya keluar dari halaman rumah. Meninggalkan Ellen dengan keterkejutannya akan jawaban yang diberi Freya. Sejak tadi malam, Freya terus-menerus memberikan jawaban yang cukup membuatnya terdiam, bungkam. Tatapan sinis yang diberikan Freya terakhir terekam jelas, dan seakan membuatnya terlempar jauh kembali ke masa lalu, 16 tahun yang lalu. Dimana ia berada pada kondisi paling rapuh dalam hidupnya. Dimana ia mendapatkan tatapan sinis paling menyakitkan seolah berkata ia adalah seseorang yang sangat menjijikkan.

"Ma, maafin Ellen yang tidak bisa menjaga diri Ellen sendiri, maaf ma..."

Ellen bersimpuh di hadapan kedua orangtuanya yang duduk dengan wajah yang tidak terbaca sama sekali. Berserakan di lantai makanan yang sudah disajikan untuk makan malam. Seharusnya, acara makan malam ini memiliki suasana ceria, suka cita. Kue yang bertuliskan ucapan selamat atas diterimanya Ellen disebuah Universitas ternama di Berlin harus berakhir mengenaskan di tanah. Pengakuan Ellen ditengah-tengah acara itu sukses membalikkan keadaan. Ayahnya yang sedari tadi diam, mengangkat telapak tangan dan melayangkan tamparan saat Ellen kembali bersuara.

"Farrel!!"

Pedih. Ellen merasakan jauh rasa pedih dihatinya dibandingkan dengan pipinya yang barusan kena tampar ayahnya sendiri. Tidak biasa ayahnya berlaku kasar padanya. Ia pikir jika memang kali ini merupakan kesalahan terbesarnya. "Anak ini memang pantas mendapatkannya!"

"Farrel, ayo kita masuk dulu." Istrinya menarik paksa Ferrel yang kini naik pitam. Jauh di dalam hatinya, istrinya sendiri juga mengalami kekesalan, kekecewaan, dan marah pada diri sendiri. Gagal menjaga anaknya juga gagal menjadi seorang Ibu.

Kedua orangtuanya masuk ke dalam rumah sementara Ellen masih setia bersimpuh. Isakan tangisnya, suara percikan kolam di taman, kue kesukaannya yang hancur tergeletak di tanah, lampu-lampu kecil yang sibuk berkelap-kelip, semuanya tidak ada yang harmonis. Ellen mulai memukul-mukul diri sendiri, menekan-nekan bagian bawah perutnya. Ia kesal, ia marah, ia frustasi. Semua yang terjadi bukanlah keinginannya. Semua yang terjadi diluar keinginannya. Yang ia inginkan hanyalah masuk Universitas dan menjadi wanita karir yang hebat. Yang ia inginkan hanyalah mendapatkan pasangan setia seumur hidup dan memiliki keluarga kecil yang bahagia. Yang ia inginkan hanyalah masa tua tanpa masalah hidup yang rumit. Sebuah keinginan yang pasti banyak diinginkan oleh orang lain. Sebuah keinginan yang pasti banyak dijadikan patokan kesuksesan oleh orang lain. Sebuah keinginan yang sekarang mustahil ia dapatkan. Sebuah keinginan... yang begitu jauh darinya.

Satu detikWhere stories live. Discover now