4. Lebam biru

62 5 14
                                    

"Frey?"

Freya tersentak. Pikirannya innya terus-menerus terdistraksi. Makanan yang ia pesan di kantin pun sama sekali belum tersentuh. "Lo kenapa sih? Dari tadi kayak ga fokus gitu? Masih pusing?"

Freya tersenyum tipis. Hanya itu yang mampu ia berikan sebagai jawaban. Karena memang benar. Ia masih pusing dengan apa yang terjadi. Dan ia sama sekali tidak mendapatkan titik fokusnya. Bagaimana ini bisa terjadi? Pertanyaan itu terus-menerus berputar di kepalanya. Seolah nasib buruk sungguh tak mau membuatnya beristirahat barang satu detik. "Lo tadi bilang apa?"

"Ck. Dengerin ya. Gue tadi dapat kabar, katanya hari ini.."

"Hai." Sapa seorang perempuan memotong perkataan Ghea. "Boleh.. gabung?"

Tubuh Freya menegang. Perempuan itu disambut dengan baik oleh Ghea dan duduk di sampingnya. "Oh iya. Omong-omong, gue pernah ke SMA 73 loh buat ngeliat sekolah tanding basket. Kalau ga salah sih, tahun lalu. Lo tinggal di daerah sana, Bi?"

Ghea antusias berbicara dengan Bianca persis seperti Ghea berbicara padanya dulu. Dan itu berbanding terbalik dengan Freya yang membisu. "Iya, gue tinggal di daerah sana sebelum pindah ke Ibukota karena penugasan kerja orangtua. Dan pertandingan basket itu, lumayan seru ya? Sayangnya kalau ga salah saat itu gue ga bisa ikut nonton karena dapat kejutan special ulang tahun." Jawab Bianca sambil melirik Freya dengan senyumnya yang khas.

Ghea mengangguk-angguk mengerti, "Oh, Freya dari SMA 73 juga loh. Kalian saling kenal?"

"Kenal kok. Dia dulu tem-"

Freya berdiri cepat hingga terdengar suara nyaring kursi berdecit yang menghentikan perkataan Bianca. Akibatnya ia menjadi pusat perhatian di area tempat duduknya. "Gu-gue ke toilet dulu."

Freya cepat berjalan ke toilet sambil menggigit bibirnya. Langkahnya mulai terasa berat dengan kepala yang seakan dipukul-pukul akan ingatan masa lalu. Napasnya semakin sulit diatur saat ia mengunci pintu kamar mandi. Freya terjongkok. Rasa sesak di dadanya membuatnya kesulitan untuk bernapas. Ingatan yang tidak diinginkannya muncul menganggu. Kesendirian, kehinaan, dan perasaan lainnya bercampur dalam hatinya. Seakan-akan peristiwa itu terjadi lagi, ia kembali merasakan sakit yang luar biasa. Sakit yang sudah hampir satu tahun tak lagi pernah ia rasakan.

Freya pikir ia sudah sembuh. Freya pikir ia sudah terlepas. Freya pikir jika ia menuruti apa kata dokter, ia tidak akan merasakan sakit seperti ini lagi. Obatnya sudah lama ia buang. Freya kira ia tidak memerlukan obat antidepressan lagi. Namun nyatanya kini ia kembali membutuhkannya.

Freya mencengkram pergelangan tangannya kuat untuk mengalihkan rasa sakit dan pikirannya yang buruk. Hingga tanpa sadar pergelangannya telah biru. Freya bernapas lega sambil melepas cengkramannya. Rasa sakit, marah, cemas, sedih, benci kepada dirinya sendiri, kesepian, dan putus asa seakan hilang dari dirinya.

Sayangnya, semenit kemudian ia baru sadar. Freya melakukannya lagi setelah 1 tahun lamanya. Ia menyakiti dirinya sendiri lagi. Ia membuat bekas lagi pada diri. Freya mengigit bibirnya. Memperbaiki rambut dan bajunya, lantas berjalan keluar kamar mandi sambil menggenggam pergelangan tangannya demi menutupi lebam birunya. "Lo gapapa?"

Freya nyaris berteriak melihat Ariq yang muncul saat ia keluar dari bilik toilet wanita. Freya membuka lebar matanya, bagaimana Ariq bisa tahu?

"Eung, tadi gue liat lo jalan ke toilet kayak kesakitan gitu. Lo gapapa?" Ariq menanyakan untuk kedua kalinya. Ia cemas, pasalnya ia tahu bagaimana hubungan Freya dengan Bianca dan sejak di kantin ia mendengar perbincangan mereka tanpa sengaja. "I-iya gapapa. Cuma pusing doang. Gue balik ke kelas ya."

Freya berjalan kikuk. Ia berusaha sebisa mungkin untuk menutupi pergelangan tangannya. Sayangnya, Ariq sudah curiga terlebih dahulu. Ia sempat melihat lebam itu ketika Freya membuka pintu. Mungkinkah Self-Injury? Seberapa parah masa lalunya hingga ia dapat melakukan itu?

"Tunggu." Teriak Ariq menghentikan langkah Freya. Saat Freya berbalik badan, Ariq cepat menggenggam lengan Freya lantas mengangkatnya hingga tangan yang menutupinya terlepas dan menperlihatkan lebam biru itu. Ariq menatap tidak percaya Freya yang langsung menepis tangan Ariq dan menyembunyikan kembali ke belakang badannya. Benar apa yang ia duga, lebam itu jelas karena ulah Freya sendiri.

"Oh. Ini.. tadi.. kebentur pintu.. i-iya." Freya gugup mengatakan alibinya. Ia benar-benar takut jika Ariq mengetahui jika ia melakukan hal seperti ini. Ariq menghembuskan napasnya, ia tahu jika Freya akan malu jika ia ketahuan melakukan self-injury. Ariq memutuskan untuk mengangguk-angguk seolah percaya dengan alasan yang diberikan oleh Freya. Ia melepas jaket sport tipisnya dan menggantungkannya di bahu Freya. "Tunggu gue di taman belakang. Pake jaket gue."

"Tap-tapi.." Ariq pergi meninggalkan Freya. Setelah mendapatkan handuk kecil miliknya untuk latihannya sore ini dan es batu dari kantin, Ariq bergegas ke taman belakang. Ia berharap Freya menuruti perkataannya dan menunggu di sana. Namun, saat matanya menemukan gadis itu duduk tertunduk di salah satu kursi dekat pohon dengan memakai jaket hitamnya, ia seakan sadar dengan apa yang ia lakukan. Ariq tak habis pikir kenapa ia bisa sepeduli itu pada gadis itu. Ia juga tak mengerti mengapa ia sebegitu inginnya mengetahui apapun tentang gadis itu. Bahkan ia sama sekali tidak mengenali gadis itu dengan baik. Ia tenggelam dengan pikirannya dengan es batu yang mulai mencair di genggamannya.

Freya yang sedari tadi tertunduk sambil memikirkan apa yang harus ia lakukan, menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba menghilangkan pikiran negatif terhadap Ariq dan melihat sekitarnya. Sampai matanya menangkap laki-laki itu diam di tempat sambil melihat ke arahnya. Duduk Freya menegak. Ariq yang merasakan kontak mata itu pun ikut tercengang. Sadar, ia langsung menghampiri Freya dan langsung duduk di sampingnya.

Freya memperhatikan Ariq yang membungkus es batu dengan handuk kecil lalu mengambil pergelangan tangannya. Menyingkap jaket yang menutupi lantas menempelkan handuk di atas luka lebamnya. Freya meringis saat dinginnya mengenai memar. "Lain kali, kalau udah tau ada luka kayak gini langsung bawa ke UKS atau kompres es batu sendiri. Jangan malah di tutup-tutupi kayak tadi."

"Nih, kompres sendiri." Ariq menyerahkan handuk itu kepada Freya lantas berdiri. Ia mengecek jam tangannya, "Jangan lupa, 10 menit lagi kita masuk kelas. Gue tinggal ya." Freya mengangguk pelan. Ia bingung manusia seperti apa yang sekarang berjalan meninggalkannya. Freya lamat melihat punggung laki-laki itu hingga tidak terlihat lagi lalu berpindah ke arah kompres es yang Ariq berikan. Satu detik kemudian gawainya memperdengarkan suara pemberitahuan,

Bianca add you as a friend.

Ghea add Bianca to the group.

-Satu Detik-

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 25, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Satu detikWhere stories live. Discover now