Kala Pagi

6.9K 397 44
                                    

Sorry for typo(s)

***

Apa itu definisi keindahan?

Keindahan dapat diukur dari dua cara. Tampak dan dalam. Bagi manusia, keindahan tergantung apakah itu keindahan rupa ataukah keindahan hati.

Dan Bokuto tahu benar bahwa sosok Akaashi yang tertidur di sebelahnya ini masuk kategori keindahan rupa. Namun saat mereka bersama, berbagi kisah dan cerita, Akaashi menunjukkan keindahan hati juga.

Apa yang Bokuto lakukan hingga mampu mendapatkan sosok yang menyerupai purwarupa malaikat ini? Ya, Bokuto tahu Akaashi tidak sempurna. Kadang kouhai-nya itu berbuat masalah atau hal bodoh juga--meski tidak sebanyak Bokuto, tentu saja. Tapi tetap saja, dia selalu tampak sempurna. Ayolah, Akaashi yang kita bicarakan di sini!

Iris emasnya tak sanggup memalingkan diri dari memandangi Akaashi. Deru napas pemuda itu naik turun dengan teratur, mulutnya sediki membuka, raut wajahnya damai seakan tak ada yang meresahkan hati sang setter.

Kalau melihat Akaashi tenang begini, Bokuto ingin tertawa mengingat kejadian kemarin.

"Hm...."

Sinar mentari yang semula samar-samar kini semakin terang. Semakin kuning cahayanya. Warna merah jingga yang semula merayap kini berganti. Dan agaknya silau sang surya tersebut membuat Akaashi terbangun.

Bokuto gelagapan sendiri. Dia jadi gugup tanpa alasan. Meski begitu, dengan wajah yang memerah akibat malu, manik emas Bokuto setia menatap segala kelakuan Akaashi. Merekam bagaimana iris sejernih telaga itu perlahan membuka, lalu melihat ke arahnya.

Beradu pandang.

"Bokuto-san ... kau sudah bangun? Kapan?" tanyanya lirih.

"Baru saja." Mungkin setengah jam.

"Hmmm...."

Yang lebih muda mendudukkan diri terlebih dahulu, tangannya menyentuh kening Bokuto yang masih berbaring. Hela napas lega lolos sejurus kemudian, diikuti dengan senyum yang kian merekah.

"Panasnya sudah turun, syukurlah."

Bokuto mendudukkan diri pula, mengikuti Akaashi. Senyum kecil tersungging. "Yah, aku tidak sepusing kemarin. Terima kasih sudah menjagaku."

"Bukan masalah."

Tak ada lagi kata yang terucap. Keduanya diam seraya menikmati pagi yang semakin merambat menuju siang. Gorden masih menutup, jendela pun terkunci. Hidung mereka menghirup udara yang beraroma embun tipis. Terima kasih pada ventilasi.

Keheningan itu bukanlah keheningan canggung. Melainkan sesuatu yang entah mengapa menghangatkan hati. Membuat nyaman. Tak ada lagi suara yang mengiringi, kecuali kicauan burung yang membungkus mereka berdua.

"Kau tahu Bokuto-san? Aku panik sekali kemarin." Akaashi memutus keheningan. Kepala Bokuto menoleh menghadap Akaashi yang kebetulan menatapnya juga. Sekali lagi, dua iris kontras itu beradu. "Jika kau sudah merasa tak enak badan, jangan memaksakan diri," lanjutnya.

Bokuto tertawa tipis. Tak menyangkal betapa keras kepala dirinya kemarin.

Akaashi tersenyum tipis. "Tapi aku senang Bokuto-san baik-baik saja. Dan aku melarang Bokuto-san ikut latihan sampai sembuh total."

Kalimat terakhir Akaashi seakan menyambar Bokuto. Membuat hatinya menggila dipenuhi berbagai emosi. Matanya membola, menatap Akaashi yang tersenyum sangat tipis.

"A-aku tidak boleh latihan? Ta-tapi aku sudah baik-baik saja!" seru Bokuto tidak terima. Tapi gelengan kepala Akaashi membuatnya kembali merasa disambar petir.

"Belum baik-baik saja. Bokuto-san pingsan kemarin!"

"Tapi itu kan kemarin!"

"Tetap tidak boleh."

"Ehhh?"

Tahu tak ada gunanya berdebat dengan Akaashi, Bokuto hanya mampu diam sambil menundukkan kepala. Dia suka voli, tapi dia juga suka Akaashi. Memang aneh jika bilang begini, tapi Bokuto menjadi seorang submisif saat bersama juniornya itu.

Jadi dia menurut apa katanya.

Dan tak melawan saat Akaashi mencuri ciuman darinya.

***

Next: Kala Malam

Haduh akhirnya kebuat juga TvT

Maaf kalau gaje TvT

Kala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang