Chapter O1

8K 659 50
                                    

Beberapa minggu belakangan, paginya memang selalu terasa beku. Hampir di setiap hari pada musim gugur, kawasan dalam radius seribu meter dari sekitaran Brooklyn selalu terasa lebih dingin dari kawasan lain. Tak peduli meski sekalipun penghangat ruangan berdesing menyala, namun ventilasi yang padahal sudah ditutupi dua lapis fiberglass acap biarkan angin yang berhasil lolos sukses membuat rumah nyaris terasa tak ada bedanya dengan hawa beku di luaran sana.

Mematikan air, melangkah keluar dari shower box, meraih handuk dan melilitkannya pada pinggang, memperhatikan refleksi sendiri yang masih basah sehabis mandi pada permukaan cermin, lelaki tersebut menguarkan satu hela napas panjang, sejenak merenung guna berpikir; apa penghangatnya rusak, ya? Atau, apa karena akhir-akhir ini paginya jarang sekali ditemani sang istri makanya malah jadi terasa makin dingin, ya?

Tsk. Yang terakhir apa hubungannya?

Sasuke Uchiha menggeleng tak habis pikir. Merasa geli dengan isi kepala sendiri. Barangkali memang, iya, hanya karena penghangatnya yang mesti dibenarkan. Ia tak perlu egois memikirkan diri sendiri meminta pada Sakura guna menemani—dalam kutip tertentu—di sepanjang pagi sementara istrinya tersebut sedang dalam masa-masanya kepayahan membenahi gejala mual. Yep, Sakura Uchiha, wanita yang telah menjadi istri Sasuke dalam kurun waktu empat setengah tahun tersebut kini tengah mengandung bayi pertama mereka.

Jadi kemudian, setelah memakai baju, mengusapkan sedikit hair clay pada rambut, mengaplikasikan parfum pada perpotongan leher dan ketiak lalu sekali lagi mengecek impresi sendiri memastikan sudah rapi, lantas Sasuke menyeret tungkainya bergegas pergi menuju ruang makan.

Walau tengah mengandung dan beberapa kali mengindahkan larangan sang suami, tetapi untuk urusan rutin Sakura berkeras mengupayakan tak pernah lupa selalu bangun pagi guna menyiapkan sarapan, menggeluti tugas sebagai istri melayani kebutuhan.

Bahkan hari ini, Sasuke yang baru saja turun dari undakan tangga terakhir masih menemukan istrinya yang tampak lebih pucat dari biasanya itu tahu-tahu kini tengah mengangkat roti dari toaster dengan ekspresi setengah memberenggut menahan mual. Sakura masih saja sensitif dengan semua aroma.

"Sudah kubilang kau tak perlu menyiapkan sarapannya kalau kau masih mual, Sayang. Aku bisa sendiri." Sasuke memperingati.

Menguarkan satu cekung senyum yang pula terlihat ringkih, Sakura lantas segera menyodorkan secawan teh lemon madu serta sepiring rotinya saat ia menemukan sang suami duduk di atas kursi. Wanita itu tertawa. "Tidak apa-apa."

"Kau sudah makan?" Adalah pertanyaan yang lagi-lagi Sasuke lesatkan kala istrinya malah menarik diri kembali hendak pergi menuju kamar. Tanpa menyentuh makanan. Tanpa menemaninya.

Tersenyum seraya mengangguk, Sakura membalas, "Sudah."

Si lelaki menatap tak yakin. "Benar?"

"Iya, sudah, kok—" Sakura membasahi bibir bawahnya yang terasa kering. Mendadak gugup setengah mati saat pandangan Sasuke menajam. "baiklah, baiklah. Setelah ini, aku ingin ke air dulu."

Jawaban tersebut pula masih sama, kerap dilesatkan dalam beberapa minggu terakhir, dan Sasuke lagi-lagi hanya terkena tipuan semata lantaran presensi sang istri tak juga kembali terangkum mata bahkan setelah hampir sepuluh menit ia menunggu.

Menyisihkan dua lembar rotinya pada piring baru, menyempatkan diri menyeduh susu hamil, Sasuke yang mulai merasa khawatir lantas segera naik kembali ke lantai atas pergi ke kamar—dan benar saja sesuai dugaan, Sakura ternyata sudah tenggelam lagi berada di balik selimut. Dia tampak sehabis memuntahkan isi perut.

BrooklynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang