Chapter O3

7K 641 56
                                    

10.09 AM, Friday

July 05, 2019

Tubuh itu tergeletak tanpa kesadaran di atas brankar, wajahnya pucat pasi dialiri darah dan luka memar mendera di tengkoraknya. Sepanjang detik yang menghantarkan pada menit dan putaran jam, tak ada peluang yang memperlihatkan setidaknya embusan napas lemah dan nadi yang berdenyut. Seluruh anggota tubuhnya sudah kaku—nyaris seperti mayat.

Sementara degup cemas Sasuke masih terus berdetak, ia ikut melangkah cepat, mengiringi brankar itu masuk ke dalam koridor gawat darurat. Melihat istrinya yang sekarat adalah neraka, meski begitu remasan tangan Sasuke pada tangan istrinya tak pernah lepas, mencoba mencari kehangatan yang tersisa.

Tatapannya nyalang, ketika hangat itu mulai menyatu dengan remasan tangannya. Sasuke baru bisa berharap, jika Sakura hidup, istrinya masih ada bersamanya. Sasuke bisa merasakan aliran darah masih mengaliri nadi istrinya.

"Tetap bersamaku."

Salah seorang petugas berseragam scrub di tepi pintu kaca lebar menghentikan langkah Sasuke, menahannya untuk tak mengikuti akan ke mana jasad itu dibawa pergi.

"Mohoh maaf, Tuan. Anda harus menunggu di sini. Kami butuh suasana steril untuk tindakan selanjutnya," kata petugas, memaklumi wajah masam Sasuke. Si petugas sedikit mendorong bahu Sasuke agar pria itu mau tetap diam di tempat sebelum dia kembali masuk mengikuti brankar yang didorong.

Sasuke masih melihat bagaimana brankar itu terus dibawa, kemudian memasuki ruangan dan saat pintu ditutup, lampu indikator di atas sana menyala menandakan tindakan selanjutnya sudah dimulai. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah, berdoa, dan menanti.

Semua berawal dari pagi tadi. Untuk yang pertama kali rasa sesal mencekik Sasuke amat kencang. Tak bisa membiarkannya bernapas lega barang sedetik. Iris hitam itu berkaca-kaca, terdorong oleh kekhawatiran, sedikit percikan emosi dan penyesalan.

Pagi tadi perjalanannya harus berhenti, karena ada tujuan yang tertinggal di rumah. Sasuke melupakan rekap dokumen yang seingatnya ia simpan di dalam laci. Awalnya ia terlalu malas untuk kembali, karena harus bertemu dalam kondisi canggung dengan istrinya akibat kejadian semalam. Tapi karena sebagian otaknya mengatakan jika itu terlalu kekanak-kanakan, Sasuke mengabaikan kondisi itu dan memutar balik mobilnya kembali ke rumah.

Saat Sasuke membuka pintu, rumahnya benar-benar masih sepi, tak ada kegiatan rutin istrinya yang selalu menghangatkan dapur di pagi hari. Atau memang Sakura terlalu malas sarapan karena perdebatan semalam juga.

Dia bisa mencari tahu apa yang terjadi pada istrinya nanti, tapi kecemasan yang lebih dulu memenuhi ruang otaknya membuat Sasuke mengabaikan apa pun tujuannya untuk kembali ke rumah. Dan kali ini, ada sesuatu yang membuat Sasuke melupakan itu semua—menemukan istrinya yang tergeletak di samping ranjang, dengan akhir jejak dari darah dari kamar mandi. Wajah Sakura sudah terlampau pucat, kedua lengannya terkulai lemas di samping ponsel yang menyala.

Berapa lama perjalanannya? Lima menit? Lima belas menit? Atau lebih buruk dari itu? Sasuke bersumpah ia benar-benar menyesali keputusannya yang tidak mengangkat telepon dari istrinya. Dan beginilah balasan yang diciptakan, semesta memukulnya telak, menyeretnya ke dalam neraka.

Menyakitkan mengetahui Sakura yang mengalami pendarahan cukup lama karena dirinya yang tak kunjung kembali, seharusnya ia tak menciptakan canggung yang membuat Sakura sakit hati semalam, seharusnya ia peka dengan rasa cemburu seorang istri, seharusnya ia mengerti.

Dan semua itu sudah berujung pada kata andai saja. Andai saja pertengkaran itu tak terjadi semalam, demi Tuhan, Sasuke akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya kembali dan membuatnya bahagia selalu.

BrooklynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang