01.

112 1 0
                                    

05 Agustus 2019, hari wisudaku. Layaknya manusia lain, akupun masih normal dan merasakan bahagia sedang menyelimuti diriku. Bukan saja bahagia, lega, dan tak menyangka, akhirnya perjuanganku usai sudah. Untuk titik aman pertama, strata satu.

Aku berdiri di kerumunan banyak orang. Pemandangan yang sangat indah hari itu, hanya karena senyum bahagia dari setiap yang diwisuda beserta keluarga dan kerabatnya. Rangkaian bunga, hadiah, balon, kue, dan segala macamnya mereka beri untuk kenalan yang diwisuda hari itu. Tak terkecuali aku. Meski sedikit, akupun masih mendapatkan bucket bunga dari adik-adik stambuk yang pernah menjadikanku sebagai kakak asuhnya. Setidaknya, tanganku tidak kosong ketika ada yang mengajakku berfoto. Ah, salah. Tanganku akan tetap berisi, karena aku masih harus memegang Ijazah bersampul kuning, sesuai dengan warna identitas fakultasku.

"Ra, ayo sini-sini!" ajak Dania sambil menarik lenganku untuk bergabung dengan teman-teman lainnya.

Aku tersenyum, meski agak canggung. Jelas saja, sejak kejadian waktu itu aku tak pernah banyak bicara lagi dengan Dania. Intinya, aku dan dirinya adalah dua insan yang pernah dekat lalu kemudian tersekat.

***

Tingg. . .

Tingg. . .

Aku meraih ponsel pintar yang berada di nakas sebelah tempat tidurku. Hari itu, Minggu, 05 Agustus 2018. Mataku masih berat ketika mendengar alarm pagi sudah berbunyi pukul 02.00 WIB. Salahku juga memang, terlalu dini ku atur dia untuk berbunyi. Aku duduk, mengumpulkan energi untuk berjalan menuju kamar mandi. Seperti biasa, aku harus melakukan ritual malamku. Bangun pagi, berdo'a di sepertiga malam. Bekal dari Ibu dan Bapak di kampung.

Selesai bercerita kepada Tuhan, aku kembali pada singgasana pulau kapuk. Menghidupkan data ponsel, dan masuklah beberapa pesan yang terlewatkan beberapa jam sebelumnya. Ada pesan dari Ibu, grup kelas, Dania, Rahel, Tamara, dan Ayu. Otomatis aku membalas pesan yang lebih penting terlebih dahulu. Jelas, jawabannya adalah Ibu.

Ibu Sayang

Iya Bu.

Nanti kalo jadwanya udah keluar,

pasti aku kabarin.

Dania

Ra, kita sama.

Rahel

Raaa, kita samaaa. Yey!!!

Aku menanikkan alisku sebelah. Tak mengerti dengan isi pesan Dania dan Rahel. Kuputuskan untuk tidak membalas keduanya. "Toh ini sudah tengah malam, mereka pasti sudah terlelap dengan mimpi indah masing-masing." batinku.

Aku masih membuka aplikasi berlogo telefon berwarna hijau itu, lanjut membaca pesan yang bermasukan dan belum sempat kubaca sebelumnya. Masuk kepada ruang obrolan grup yang isinya hampir 200 pesan dan beberapa dari pesan itu sengaja menandai namaku. Aku membacanya satu per satu. Dari awal. Akhirnya aku mengerti maksud dari pesan Dania dan Rahel, ternyata kami ditempatkan di sekolah yang sama untuk pengabdian empat bulan ke depan.

***

Aku sampai di kampus, duduk di bangku taman seraya menunggu kabar dari teman-teman yang akan ditempatkan sama denganku untuk pengabdian. Di bawah pohon rindang, dengan daun yang berguguran diterpa angin, aku duduk menikmati musik lewat earphone di telingaku. Musik Simple Plan sedikit tidak cocok dengan suasana siang itu. Harusnya aku mendengar lagu dengan ritme yang sedikit santai, namun tidak kulakukan karena memang aku tidak menyukainya.

Aku merasakan bangkuku sedikit bergoyang, ku buka mataku, ku lihat seseorang yang kini sudah berada di sampingku. Aku tak mengenalnya, oleh sebab itu aku tak perlu menyapanya. Mungkin saja dia hanya menumpang duduk untuk istirahat sebentar. Ah biarlah!

"Kak!" sapanya.

Aku sengaja tak mendengar, kuanggap saja dia maklum karena aku sedang memakai earphone.

"Kak!" katanya lagi. Kali ini sambil memegang pundakku.

Aku tersontak kaget, ku tatap dirinya sinis. Ku berhentikan aktivitas mendengar musikku. Ku naikkan daguku sedikit, seolah bertanya "Ada apa?" dengan bahasa isyarat padanya.

"Kakak pengabdian di Desa Kampung Dalam juga ya?" tanyanya tanpa merasa berdosa karena telah menggangguku.

Aku hanya berdehem, menanggapinya malas. Tak sedikitpun kulihat wajahnya, hal itu semata-mata karena siang itu dia sudah terlanjur menghancurkan moodku.

Perutku terasa lapar, kuputuskan untuk meninggalkan dirinya sendiri di tempat titik kumpul kami itu.

"Aku ke kantin bentar." pamitku pada pemuda penghancur mood itu.

***

Aku kembali di saat semua anggota sudah berkumpul. Aku tak mengenal mereka, yang ku kenal hanya Dania dan Rahel. Dania adalah teman sekelasku, dan Rahel adalah teman yang satu organisasi denganku. Sementara lelaki berkemeja biru itu, aku baru melihatnya tadi. Selebihnya adalah asing bagiku.

Setelah perkenalan itu, kami mulai merencanakan banyak hal untuk direalisasikan selama empat bulan ke depan. Aku bersama sepuluh anggota lainnya akan berangkat ke desa itu tiga hari lagi, setelah dilepas oleh rektor universitas. Masalah tempat tinggal, dan segala hal yang berkaitan dengan keberlagsungan hidup kami, itu kami sendiri yang mengupayakan. Itulah gunanya kami berkumpul siang ini.

"Pertama, kita harus milih siapa ketua kelompok. Baru kita bisa susun rencana dan segala macamnya." kata Runa, perempuan yang postur tubuhnya sedikit mirip denganku. Kurus.

"Iya, kalau begitu Rifat aja ketuanya. Biar cepat." usul Ahga.

Sebenarnya aku tidak setuju dengan usul Ahga. Kurasa dalam memilih seorang pemimpin tidak semudah itu, harus ada ketentuan dan prosedur yang harus dijalankan. Namun aku bukanlah manusia yang suka berbicara, beradu argument, apalagi berdebat dengan orang yang baru saja kukenal. Tidak, itu bukan aku.

Aku adalah Maura Latif Ifany, gadis 20 tahun yang masih mencari jati dirinya. Menjalani hari-hari sebagai anak introvert dan tidak suka bergabung di keramaian. Bahkan untuk datang berkumpul dalam pertemuan inipun aku sebenarnya malas. Apalagi harus memulai hidup baru dan bersosialisasi dengan orang-orang baru.

"Gak bisa gitulah Ga, kan kita harus voting. Demokrasi donggg! Heheh." Sanggah Rifat. Mungkin dia pun enggan untuk dijadikan sebagai ketua karena pasti beban yang harus ditanggungnya berat.

Semua kami diam, tak ada yang membantah dan tak ada pula yang mengiyakan usul Ahga yang ingin menjadikan Rifat sebagai ketua kelompok. Akhirnya, secara tidak langsung Rifat menjadi ketua, Ilha sebagai sekretaris, dan Rahel sebagai bendahara. Dan, itu semua adalah pilihan Ahga. Ahga, si pemilih yang maha benar.

***

Sekian untuk pemula. Test aja dulu, kalau rame lanjut lagi. :)

KKN : Ketika Kamu Ngarep!Where stories live. Discover now