One

5.5K 656 29
                                    

May, 2018


Na Jaemin itu, menurut orang-orang yang pernah berinteraksi langsung dengannya, adalah seorang yang dingin.

Tidak banyak tersenyum, selalu memasang wajah datar selama dua puluh empat jam per tujuh hari, bahkan hingga ada yang berkelakar bahwa wajahnya terbuat dari marmer, sehingga kaku dan tidak bisa digerakkan.

Sahabatnya pun tidak bisa dibilang banyak. Dua, adalah jumlah tepatnya. Park Jisung si penari andalan sekolah dan Lee Jeno, sang kapten klub sepak bola yang terkenal akan ketampanannya.

Tapi, kendati memiliki dua sahabat yang selalu mengekorinya pun, Jaemin selalu terlihat sendirian di saat jam istirahat. Tetap duduk di atas bangkunya di sisi jendela sambil membaca sebuah buku tebal mengenai dasar-dasar pemrograman.

(Iya, katanya Na Jaemin memang tertarik dengan semua yang berbau teknologi dan informatika.)

Huang Renjun tidak terlalu peduli, pada awalnya. Tapi, melihat Jaemin yang bergeming dan tampak sama sekali tidak memiliki niatan untuk mengisi perut membuatnya terusik.

Dia tidak mungkin makan udara 'kan?

Karena alasan itu, Renjun pun tertahan di bangkunya, menatap Jaemin dari sudut kelas dengan kepala yang bertumpu pada lengan yang terlipat di atas meja. Menolak ajakan Lee Haechan untuk makan siang bersama di kantin, dan membiarkan perutnya kosong selama jam istirahat berlangsung.

Dan setelah tiga puluh lima menit dihabiskan dengan memandangi si penyandang marga Na, Renjun menyimpulkan bahwa lelaki jangkung itu memiliki daya tarik yang tak mampu ia definisikan dengan kata-kata.

Padahal, gerakan Jaemin hanya sebatas membalikkan halaman. Diselingi mengambil botol minuman di ujung meja untuk ia tenggak isinya, dan beberapa kali berpaling pada bias biru langit yang dibingkai oleh jendela.

Sesederhana itu, tapi Renjun tetap merasa jatuh pada pesonanya.

Dan tanpa Renjun sadari, memerhatikan Jaemin diam-diam sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari.

Subtle Kind of Love (Jaemren vers.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang