1985.1

179 23 0
                                    

"Apa kau benar-benar harus bekerja hari ini? Tidak ada hari cuti menikah?"

Rengekan Sojung saat Seokjin pertama kali membuka mata, pada akhirnya menjadi nyata.

Pepatah bilang, badai pasti berlalu.

Tentu, Seokjin percaya itu.

Sekalipun dunia yang berpedoman pada pepatah itu, dunia mereka berbeda dengan dunia Kim Seokjin.

Sepuluh tahun berlalu, namun malam bencana itu tak sedetikpun berkeinginan meninggalkan petak disudut otak Seokjin. Baik muncul sebagai mimpi buruk maupun lamunan di tengah hari, pemuda itu tak punya cara lain untuk menyingkirkan kenangan itu selain belajar keras.

Satu malam itu dimana Seokjin muda berpeluh darah dengan sang adik yang tersembunyi rapat dalam selimut, Sojung menjadi satu-satunya bantuan yang dimiliki pemuda itu. Meringkuk rapat demi menghadang angin malam  untuk sang adik yang baru beberapa jam tiba di dunia, Seokjin tak memiliki alasan untuk tidak menyetujui keputusan sang kekasih untuk menyerahkan sang adik ke panti asuhan.

Membiarkannya terawat, tumbuh serta berpikiran dirinya hanyalah anak manusia biasa--Taehyung harus lenyap dari lingkaran setan itu. Tak peduli berapa kilometer jarak yang Seokjin tempuh demi menemukan panti asuhan terpencil di Seoul, tujuan sang anak sulung Kim itu hanya satu---sekalipun the blonde ones akan menemukannya, Taehyung harus tak terdeteksi selama mungkin.

Satu-satunya jalan untuk menunda kiamat kedua Seokjin, dimana  menurut ramalan Moonbyul hari itu akan terjadi saat Irene dan Taehyung bersatu.

"Aku harus ke rumah sakit hari ini. Ada pasien baru." Memeluk kembali tubuh mungil sang kekasih yang baru saja resmi menjadi istrinya beberapa jam lalu, Seokjin benar-benar tak ingin bangun dari ranjangnya itu.

"Kapan kau pulang?" Sojung menolehkan kepalanya, senang bukan main impiannya soal sang suami memeluknya saat bangun tidur menjadi nyata. "Ingin kubuatkan sesuatu?"

"Takkan lama, kurasa." Meninjau kembali jadwal pekerjaannya hari ini--ya, seorang Kim Seokjin yang masih berusia 26 tahun itu sudah menduduki posisi nyaman di Rumah Sakit swasta di Seoul, semua berkat usaha kerasnya untuk menyelesaikan kuliah kedokterannya dalam tempo sesingkat mungkin dan menuntaskan Koasnya secepat kilat. "Hanya cek harian pasien-pasien."

"Baiklah. Secepat mungkin pulang, okay?"

*****

"Bagaimana malam anda, tuan Kim?"

"Baik, pastinya." Seperti hari kontrol lainnya yang normal, kemunculan lesung pipi seorang Kim Namjoon sudah pasti membawa siapapun saksinya turut menorehkan senyum tipis. Sekalipun Seokjin yakin, di masa lampau lesung pipi itu hanyalah sebagian kecil dari harga diri mantan profesor belia itu. "Obatmu akhirnya bekerja, dok."

"Oh," Kaget akan kosa kata baru yang Namjoon sampaikan, membuat Seokjin mengalihkan perhatiannya dari kertas kontrol menuju wajah pasien dihadapannya itu. "Seminggu ini memang kuberi dosis lebih, anda keberatan?"

"Tidak, tidak." Bahkan cara menggeleng tak setuju Kim Namjoon sungguh berwibawa, menahun terkurung di rumah sakit jiwa tak sedikitpun melunturkan pesonanya. "Tolong lanjutkan, dok."

"Hmm?"

"Jika memberi dosis besar masih berada dibawah wewenangmu, tolong teruskan." Kepala Namjoon mendadak berputar seolah kehilangan engselnya, menatap tak berdaya sosok berjas putih dihadapannya--dengan harga diri setinggi langit, menyimpan seluruh teriakan frustasinya di malam tak berkawan manusia itu.




"Pasien Min Yoongi dan Park Jimin masih belum bangun, dok."

Sesi konsultasinya bersama Kim Namjoon selalu tak berlangsung lama, dan selalu berakhir dengan decak kagum Seokjin dalam hati---terpukau dengan betapa elegannya seorang pasien jiwa yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, tercermin dengan betapa puitis dan kritis pemilihan kata-katanya. Dua puluh menit lebih empat belas menit, begitu yang tercatat dalam agenda Seokjin. Sungguh mengejutkan juga baginya yang mendapat informasi, pekerjaannya hari itu selesai.

"Saya rasa, dosis besar hanya berefek baik pada pasien Kim Namjoon." Tutur Jang Haneul, asistennya yang saat ini membacakan agenda untuk Seokjin yang keluar ruangan demi memastikan jadwal.

"Jung Hoseok?"

"Dia sudah menolak obat tiga hari ini dan terpaksa dibawa ke Ruang Isolasi."

"Dengan kaki tangan terikat?" Ujar Seokjin tak percaya.

"Betul. Dia terus melukai dirinya dengan benda disekitarnya. Kemarin ia tak sadarkan diri berkat darah yang mengucur dari lehernya, akibat cakaran kukunya sendiri."

"Baiklah," Bergidik ngeri, Seokjin putuskan pembicaraan itu secara sepihak.

"Dok, bagaimana dengan pasien baru? Apa sudah siap untuk diantar kemari?"

"Memangnya ia berasal dari mana?"

"Rumah Sakit Jiwa Daegu, dok."

"Ada apa dengan dia?"

"Akta kelahiran menunjukkan dia harusnya berusia 10 tahun sekarang, namun pertumbuhannya telah sempurna sejak usia 6 tahun."

"Kenapa dia dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa? Kenapa tidak diperiksa medis?"

"Panti asuhannya percaya dia keturunan penyihir, dok."

"Cih, mana ada penyihir saat ini."

"Mereka percaya penyihirnya bernama Irene, dok. Pasien itu selalu berucap, 'Kalian bahkan akan memohon tidak dilahirkan dibumi ini begitu kami bersatu. Aku dan Irene.' ketika kehilangan kesadaran."

Nafas Seokjin seketika berhenti saat itu juga, menguatkan diri untuk memastikan nama yang ada dalam benaknya bukanlah nama pasien barunya itu. "Siapa nama pasien itu?"

"Kim Taehyung, dok."

Boys Meets EvilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang