bag.6

13K 469 127
                                    

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

Mobilnya menggores jalanan Jakarta dengan halus, Axel mengendarainya dengan santai pula. Sejuknya udara yang keluar dari pendingin ruangan malah jadi menghangatkan bagi Avista. Bajunya memang nyaman, tapi bahannya tak sebagus yang Avista kira. Beberapa menit mereka masih di dalam mobil, tanpa peduli dan tanpa ingin tahu Avista malas saja bertanya pada Axel.


Terdengar embusan napas panjang dari Avista, Axel menoleh santai. "Kenapa?" tanyanya, menyadari embusan napas Avista yang sepertinya embusan napas lelah.

"Tidak, hanya saja bisakah kau bersikap seperti pria lainnya?" Avista memainkan jari-jari tangannya dengan lamban, ekspresinya menampilkan puppy eyes. Lucu bagi Axel, sayang ia tengah mengendarai mobil sehingga tak bisa menggigit mata Avista yang indah itu.

"Seperti apa memangnya?" tanya Axel kembali, semuanya terus saja ditimpa pertanyaan. Belum keluar satu pun pernyataan yang berupa jawaban.

Avista menggeleng geram. "Melakukan pendekatan seperti pasangan lain. Yang romantis, tidak seperti kau yang tiba-tiba datang ke rumahku lalu menarikku seolah ingin menculikku seperti yang lain!"

Axel mengedikkan bahu, dia hanya melirik sekilas pada Avista. Satu tangannya menarik tangan Avista untuk ditaruh di tuas persneling dan ditindih tangannya sendiri. "Itulah bedanya aku dengan pria lain, itu juga kelebihan diriku."

Mendengar jawaban tak berdosa dari Axel, membuat Avista menoleh cepat untuk memelototi Axel. "Maksudmu kelebihanmu itu menculik seseorang?!" teriak Avista, ia menarik tangannya kembali agar tak digenggam Axel di tuas persnelingnya.

"Ya, begitulah."

Avista mencebikkan bibirnya dengan kesal. Ia pun menendang dashboard mobil bagian bawah dengan kakinya. "Kalau begitu lakukanlah pendekatan dengan normal," pinta Avista sambil membuang wajahnya ke arah jalanan lewat jendela.

"Tidak, itu ribet," tolak Axel mentah-mentah.

Avista cemberut lagi. "Kau ini, random sekali! Aku bahkan sampai saat ini masih bingung kau melakukan ini semua untuk apa? Bukankah seperti kebanyakan lelaki lainnya yang ingin menjadikanku seorang pacar?"

"Bukan," jawab Axel. Matanya masih fokus ke depan dan raut wajahnya tetap santai seolah tak terjadi apa-apa, padahal di sampingnya ada Avista yang tengah mengambek. Karena sepertinya aku hanya bosan dengan rutinitasku sehingga melakukan hal tak biasa ini batin Axel yang memberikan argumentasi dirinya sendiri.

"Lalu apa maksudmu lakukan semua ini?!" tanya Avista, ngegas.

"Kau sepertinya ingin sekali jadi pacarku," tangkap Axel. Walaupun ia mengatakannya masih dengan tenang, tapi sama sekali tak membuat suasana Avista tenang.

Wanita cantik itu terpatung, seolah dipahat pada kayu jati paling gagah di muka bumi ini. Tangannya mengepal berusaha menetralkan detakan jantungnya yang pair. "Axel, bukan-ah." Avista mengernyit, Axel menepikan kembali mobilnya, ia menoleh pada Axel dengan kebingungan yang menjalar di setiap tatapan matanya. "Kita turun di sini?" tanya Avista, sepertinya mereka tak mungkin turun di sini karena ini adalah jalan raya yang pinggirannya polos tanpa ada penjual ataupun kios-kios kecil.

Axella [PROSES REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang