Sawamura Eijun takkan pernah mengerti apa konsep dari sebuah pernikahan dan juga cinta yang melandasinya. Orang-orang bilang, pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Pernikahan terjadi ketika 2 orang yang saling mencintai mengucap janji setia sehidup semati dan berbagi kebahagiaan bersama.
Well, setidaknya itulah yang ia yakini tentang pernikahan selama 15 tahun hidupnya.
Tetapi rupanya, ia telah salah. Karena pada kenyataannya tidak seperti itu. Yang ia alami, tidak sesederhana itu.
Karena jika apa yang dia yakini selama ini merupakan kebenaran, maka seharusnya pantulan dirinya dalam balutan tuxedo putih di cermin itu tidak menunjukkan ekspresi layaknya orang mati. Jika yang ia yakini memang benar, seharusnya ia bahagia.
Tapi nyatanya tidak.
Ia menderita.
Tok Tok
Seseorang mengetuk pintu ruangan tempatnya berada.
"Sawamura-sama, apa anda sudah siap? Sudah waktunya anda keluar," suara dari balik pintu itu seolah menyadarkan Sawamura dari lamunan panjangnya. Mengembalikan Sawamura dari delusi indahnya ke kenyataan yang pahit.
Bahwa ini terakhir kalinya ia bisa merasakan kebahagiaan. Karena setelah ini hanya ada neraka tak berujung yang menantinya.
Well, seharusnya ia memanfaatkan detik-detik terakhirnya ini lebih baik dengan melakukan kegiatan yang dapat menyenangkan hatinya. Tapi nyatanya dia bahkan tak sempat memikirkan hal itu. Karena baik hati maupun jiwanya sudah terlalu hancur untuk merasakan sebuah kesenangan.
Maka berdirilah ia dari tempatnya duduk dan berjalan menuju pintu karena sudah waktunya untuk keluar.
Sesaat sebelum berlalu, ia sempatkan dirinya untuk melirik cermin yang sedari tadi berhadapan dengannya. Pasangan bola mata keemasannya itu menatap pantulan dirinya dalam cermin. Sawamura tampak begitu mempesona. Surai cokelat gelap yang biasanya ia biarkan berantakan itu hari ini begitu tertata rapi. Wajahnya terlihat begitu mulus karena polesan berbagai jenis make up yang tidak ia tahu namanya. Dan tuxedo putih yang ia kenakan saat ini membuatnya tampak gagah, namun juga terlihat manis. Sawamura saat ini tampak seperti sebuah boneka. Manis dan sempurna, namun layaknya boneka pula ia tampak kosong dan tak berjiwa.
Sekali lagi suara ketukan dari pintu seolah mengingatkannya untuk segera keluar. Dan Sawamura berlalu meninggalkan pantulan dirinya di cermin untuk pergi menghadapi neraka tak berujung yang tengah menantinya saat ini. Neraka bernama pernikahan.
"Ya, aku sudah siap,"
***
Sawamura membuka pintu dan dihadapannya berdiri seorang pemuda bersurai merah muda dengan poni yang menutupi seluruh bagian matanya. Pemuda berusia 17 tahun itu tersenyum Sawamura.
"Sawamura-sama, sudah waktunya untuk turun, pernikahan anda akan segera dimulai," ujarnya. Sawamura mengangguk kaku dan berjalan lebih dulu menuju tangga sementara pemuda itu mengikutinya dari belakang.
Sembari menuruni tangga, ia sapukan pandangannya pada tiap sudut rumah yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggalnya itu. Rumah yang kini dihiasi dengan berbagai macam bunga dan pernak-pernik khas pernikahan itu tampak besar dan luas. Tak kalah megah dengan rumah lamanya. Yeah, wajar saja karena orang yang akan menikah dengannya bukan orang sembarangan.
Kemudian matanya menangkap 2 orang pria yang tengah berdiri tak jauh dari tangga. Salah satunya memiliki surai yang sewarna dengan pemuda dibelakangnya. Kemungkinan pria itu adalah saudaranya. Sementara yang satu lagi seorang pria tinggi yang memiliki gurat wajah layaknya orang asing. Tepat ketika anak tangga terakhir ia lewati, si pria bersurai merah muda mendekat padanya dan menyodorkan sebuah buket bunga fressia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Chain
FanfictionHari itu. Di tengah sorak sorai para tamu yang menyelamati pernikahan keduanya, Sawamura sadar, bahwa rantai merah yang menjeratnya itu, kini mengurungnya dalam belenggu bernama Miyuki Kazuya. A MiyuSawa Fanfiction [Omegaverse!AU] Dedicated for #Mo...