2. Lepas!

89 6 1
                                    

-orang jahat bukanlah mereka yang dulunya baik namun di sia-siakan. Memang sih, tiada orang yang terlahir jahat. Tapi orang jahat tentulah dia sudah memilih untuk menjadi 'jahat'. Karena sejatinya orang baik tidak akan pernah memilih untuk menjadi jahat-

Awan hitam menggelayut dilangit pagi. Enggan pergi dari atas sana. Menutupi sinar matahari yang konon baik untuk pembentukan vitamin D. Jalanan kota ramai dengan kapsul-kapsul terbang serta hoverbike milik warga yang sibuk menuju kantor atau sekolah

"Ayahmu tidak mengantarmu pagi ini Zi?" Ujar siswa berambut pirang dengan mata cokelat terang yang dihiasi bingkai kacamata. Mencoba untuk membelah berisiknya calon penumpang di halte

"Yah, kamu tahu lah Kei. Ayahku itu sibuk mengurus perusahaannya. Jadi sejak pagi-pagi buta dia sudah pergi. Tanpa pamit." Balas Fazi dengan rona wajah yang sedikit sedih. Tadi malam Ayahnya hanya bilang beberapa hari lagi akan ada peluncuran teknologi terbaru rancangannya.

Kei tertawa kecil. "Tidak apa lah Zi. Bisa saja ada hikmah dibalik itu semua. Bisa saja teknologi terbaru ayahmu ditolak oleh relasinya, lalu teknologi yang pastinya mutakhir itu akan di serahkan kepadamu dan akan bermanfaat bagimu. Teruslah tersenyum kawan." Terang Kei persis seperti seorang motivator yang sering muncul di televisi.

Fazi tersenyum melihat temannya itu. "Lama-lama kamu jadi mirip seperti Pak Ren dengan semua nasihat itu."

Pak Ren adalah guru bahasa mereka yang amat puitis. Kalimat nasihatnya mampu membuat seorang murid nakal menjadi terisak, insaf seketika.

"Yah, sayangnya kata-katamu itu hampir mustahil Kei. Rancangan Ayahku tidak pernah ditolak sejauh ini. Teknologi usulannya selalu berhasil mencuri hati para rekannya juga masyarakat."

"Aku tahu itu. Lihatlah! Bahkan hampir semua teknologi sekitar kita adalah hasil dari blue-print ayahmu." Ucap Kei semangat. Fazi hanya mengangguk. Mengiyakan

Suara desisan bus sekolah yabg telah tiba memecah obrolan mereka. Bus itu melayang tiga puluh senti di atas jalan raya. Teknologi cetusan ayah Fazi termasuk dalam hal ini. Elektromagnet.

Fazi menaiki bus itu disusul oleh Kei. Sesaat kemudian bus itu melesat meninggalkan halte.

"Tunggu! Tunggu aku!."

Seketika, bus yang baru meluncur tiga meter itu berhenti. Pak Ari--supir bus itu--menoleh bingung ke kaca spion bus. Beberapa siswa menjulurkan kepala keluar jendela, penasaran. Beberapa lagi berseru jengkel.

Pintu bus berdesing halus. Terbuka. Tampaklah siapa yang berseru-seru tadi. Seorang siswi berkacamata dengan rambut tergerai sebahu memasuki bus dengan napas tersengal. Penampilannya kacau. Seperti habis lari maraton seratus meter.

"Maaf." Ucapnya pendek. Masih dengan napas yang tidak beraturan.

Semua perhatian tertuju padanya. Tatapan mata yang semula jengkel menjadi iba melihat kondisinya yang bersimbah peluh.

Matanya menatap sekitar. Mencari tempat duduk. Kebetulan satu-satunya tempat duduk kosong hanya di samping Fazi. Kei yang tadi bersamanya malah duduk didekat tempat duduk sopir

Gadis itu mengurungkan niatnya untuk duduk. Ia malu jika disamping Fazi. Memutuskan untuk berdiri sembari berpegangan pada sandaran tempat duduk.

"Hei kamu!" Gadis itu menoleh. Fazi memanggilnya. "Duduklah disini! Kau akan capek jika berdiri terus." Lanjutnya.

Gadis itu tertunduk malu dan kemudian mendekati dan duduk di samping Fazi.

"Minum?" Tawar Fazi. Gadis itu terdiam sebentar dan kemudian mengangguk pelan. Kebetulan kerongkongannya kering dan dia lupa membawa minum dari rumah
~==============※===============~

The episode is not ended here. The writer just get tired. Wait for a while. Okay?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kutu BukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang