Ayah dan Ibu

25 1 0
                                    

Boy namaku. Aku dilahirkan dalam keadaan bahagia oleh ayah dan ibuku,  apapun keinginanku, selalu saja dikabulkan. Aku terbilang anak yang berada. Segala sesuatunya dipenuhi orangtuaku, hingga suatu hari. Ayahku dipindah tugaskan di Jakarta tepat pada saat kematian ibuku, dan aku masih memilih menetap di tanah kelahiranku. Kota Daeng. Aku belum sanggup melupakan kenangan indahku bersama almarhum ibu. Sewaktu ayahku sudah menyiapkan pakaiannya, dan aku duduk di sampingnya. Sekedar menyaksikan ayah membereskan pakaiannya yang ada di lemari, sambil berpikir bahwa ketika ayahku pergi, maka tinggallah aku sendiri. Dan aku harus bisa.
"Kau yakin, Boy. Tidak mengubah keputusanmu untuk pindah bersama Ayah?" Kata ayahku yang berulang kali memantapkan hati akan keputusanku.
Aku mengangguk, dan sigap berdiri membantu ayah memasukkan pakaiannya.
" Kabari Boy, Ayah. Kalau Ayah sudah sampai Jakarta,"
Ayah memeluk diriku, besar harapan ayahku agar aku ikut, tapi itulah ayah. Ia selalu menghargai keputusan aku. Ia menganggapku sudah mampu menerima keputusan itu di usiaku yang masih terbilang muda.
####
Sesampai di bandara, ayah memelukku lagi.
"Bila kau mengubah keputusanmu untuk ikut bersama Ayah, hubungi Ayah," harap ayahku sambil memegang kedua pundakku. Aku tersenyum dan mengangguk.
Beberapa menit kemudian, ayah sudah take off. Ada sedih dan air mata yang tertahan di dadaku, tapi aku masih merasa kuat. Aku anak lelaki. Anak lelaki tak boleh menangis seperti lagu yang dipopulerkan oleh ketiga anak Ahmad Dhani. Aku meninggalkan bandara, dan segera mengambil taksi.
Di saat, aku melintasi koridor bandara, kulihat anak lelaki sebayaku, tengah duduk sembrautan di kaki jalan. Mobil terus melaju, pandanganku terus ke arah lelaki itu, sampai ia hilang dilahap jarak.
" Man, langsung ke kampus aja," pintaku pada sopir kepercayaan ayah. Ia mengangguk mengikuti keinginanku.
Sesampai di kampus, aku tak langsung ke kelas, karena kebetulan jam kuliahku juga masih ada setengah jam, hatiku ingin menemui Melia, sewaktu aku berduka ia pun tak datang hari itu, aku ingin menegaskan sebagai kekasih yang memiki ikatan komitmen mengapa hanya ia saja yang tak datang berduka  padaku. Minimal tidak ia menemaniku di saat aku kehilangan.
Tak ada Melia di kelas. Dia kemana?
Aku menyusuri ruang-ruang di mana biasa Melia berada, terakhir aku ke perpustakaan. Ada Melia di sana, tapi tidak sendiri. Ia bersama seorang lelaki yang tidak kukenal, langkah kakiku terhenti, aku menjadi penonton diantara mereka berdua tanpa mereka sadari.
Eh, eh, Astaga... Lelaki itu langsung saja menyambar bibir Melia di hadapanku, parahnya Melia tidak menolak malah menikmati. Apa yang dilakukan Melia padaku. Apakah ia bermaksud menghancurkan hatiku yang memang telah rapuh akan kehilangan ibu.
"Melia. Kita putus." Singkat perkataanku lalu meninggalkan tanpa menunggu jawabannya. Aku tahu, ia tak menyangka aku menyaksikan adegan yang menyakitkan itu, ia hanya menyukaiku karena kesenangannya. Lagi dan lagi, air mataku tak boleh tumpah. Aku kuat. Aku lelaki. Hari itu, aku batal masuk kuliah. Kupilih kembali ke rumah, mengurung di kamar lebih baik bagiku. Oh Gusti, apa ini hidupku setelah ibuku meninggal.
Berhari-hari kuhabiskan di kamar, tanpa melakukan aktivitas apapun. Bibi yang sudah lama kerja di rumahku merasa khawatir padaku.
Ayahku tiba-tiba menelpon, dan aku mengatakan bahwa aku baik baik saja.
Dua pekan aku mengurung diriku di kamar, aku berjanji pada diriku secantik apapun wanita, mereka semua sama dan aku tak ingin mengenalnya. Aku juga telah bolos kuliah, aku ingin menikmati sisa hidupku saja yang aku tak tahu kapan ibu memanggilku ikut bersamanya.
Hari itu, aku Club dekat pelabuhan, banyak wanita penggoda di sana, aku mabuk tak sadarkan diri, sampai sopir kepercayaan ayah mengajakku pulang ke rumah. Aku bilang pada si sopir jangan pernah bilang pada ayah kalau keadaanku seperti ini. Ia pun mengiayakan. Hari-hari melewati rasa gamang di hatiku. Hidupku tak terarah, tapi entah kenapa hari ini aku memilih ke Mall Panakkukang. Tempat di mana aku menghabiskan uangku bersama Melia, hingga almarhum ibuku kesal padaku.

Rahim LelakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang