Gilang Pranata

236 10 4
                                    

Namaku Gilang Pranata. Lebih daripada itu, aku tak yakin bahwa aku sedang mengingat dengan benar. Bila waktu bisa kuputar lagi sampai titik di mana sakit lupa ini melahapku pelan-pelan, mungkin aku tak akan berakhir senahas ini. Tiga tahun kecanduan pil haram, dua tahun terpasung di panti rehabilitasi, dan hancur lebur pula karena bipolar. Pernah coba kugorok leherku dengan kaca jendela, tetapi nyawaku dipergoki sebelum berhasil kabur. Sembuh, aku menyepi di kamar berbulan-bulan, mencoba mengingat lagi selaknat apa diriku dan apa yang menyebabkan aku jadi begini. Semua itu tak bisa bermuara pada apa pun selain penyesalan.

Agustus 2018. Sudah lima tahun aku lepas dari panti, dan usiaku kini tiga puluh satu. Tentang hal ikhwal sampai aku bergelut dengan barang laknat itu tak pernah jelas. Itu sebabnya kapan pun aku diminta mengisahkan sebuah kenangan masa lalu, segala semesta ingatanku pasti dimulai ketika aku melangkah keluar panti. Lebih lawas daripada itu, aku sungguh buntu. Aku terpisah tembok yang begitu tinggi dengan masa laluku sendiri. Tak bisa dibobol. Tak bisa diintip ataupun dipanjat. Semuanya terbalut beton tebal yang begitu sulit kutembus. Tiba-tiba saja aku sudah ada di sini, disebut mantan orang gila yang berjuang setengah mati untuk bisa diterima sebagai pegawai kecil di sebuah perusahaan asuransi. Agar diterima, aku mesti dibantu sepupuku, Dodit, untuk menjelaskan kepada orang-orang itu tentang perbedaan antara mantan narapidana, orang kurang waras dan mantan pecandu narkoba, walaupun ketiga jenis manusia itu sama-sama jadi sampah masyarakat, hampir sederajat dengan pelacur dan mami-mami induk semang.

Jadi, satu hal yang mesti dicatat baik-baik: aku samasekali tidak gila. Hanya terobsesi pada masa lalu kelam yang lenyap menghablur. Sedikit yang bisa kuingat, aku konon lahir tahun delapan-delapan. Kemudian, tiba-tiba saja arah kehidupanku berbalik seratus delapan puluh derajat setelah tamat kuliah. Sebabnya masih menjadi misteri terbesar dalam hidupku sampai saat ini. Selama aku membusuk akibat jarum suntik, obat terapi dan infus, aku terputus pada dunia luar. Aku meringkuk jadi kepompong begitu lama, dilupakan peradaban untuk kemudian dilahirkan lagi sebagai orang yang mesti memulai segala sesuatu dari titik nadir, dengan nasib yang buruk pula, baik kemantapan ekonomi maupun kemapanan wajah.

Kemudian aku bertemu Warti, yang kemudian jadi ibu anakku, Dipta. Tentang bagaimana aku bertemu dengannya dan melewati masa-masa sulit, kiranya tak perlu kuceritakan sebab itu bukan hal yang penting sekarang. Hari ini, bahkan Warti yang tahu segala sesuatu tentang lekuk tubuh dan pikiranku pun sudah lenyap di belantara waktu. Begitu pula Dipta. Inti kisahku ini bukan hanya tentang lenyapnya mereka. Mungkin orang mengira kami bercerai dan terpisah jauh, tetapi tidak. Kami tidak pernah bercerai. Kami saling mencintai, dan Dipta adalah bocah yang manis, bermata bening laksana sepasang kelereng cokelat. Apa yang melatarbelakangi kisah ini begitu pelik. Kami dibatasi oleh waktu, di ruang yang barangkali sama namun di waktu yang berbeda. Kami dibatasi oleh benteng yang disebut masa lalu dan masa depan, dan itu yang membuat kami tak pernah bisa lagi saling sahut. Selamanya.

Dan di sinilah aku kini,—di ruang dan waktu yang kusebut masa kini yang bagaikan nerakabersepatu hitam mulus, menantang pagi di sesaknya lampu merah, kadang tak sempat sarapan. Delapan jam sehari aku dipenjara dalam ruang persegi mungil dari akrilik, memelototi komputer dan berkas penuh angka dan keluhan dari berbagai karakter. Jenuh.

Baiknya kumulai segala kisahku dari peristiwa aneh senja itu. Agustus 2018, puncak musim kemarau. Bulan itu menjadi awal semua hal sinting lain yang terjadi pada hidupku selanjutnya. Setelah itu, aku benar-benar melompat jauh, begitu jauh sampai dilupakan zaman, lalu tiba di mana aku berada kini, di zaman saat aku menulis kisah ini kembali.

Baru saja aku keluar dari minimarket itu. Tak boleh ada tas plastik di semua pertokoan di Denpasar, jadi aku menyelipkan tak plastik hitam di saku jaket buat mewadahi sekotak susu dan roti untuk persediaan Dipta selama setengah bulan. Jika lupa membawa tas kresek, petugas kasir akan menawarkan tas belanja dari serat plastik daur ulang. Harganya lima ribu perak. Sudah beberapa kali aku kelupaan membawa tas kresek dan menjadi kolektor tas belanja warna-warni sampai semuanya menumpuk di sudut dapur.

Sepasang Sepatu Buat AksaWhere stories live. Discover now