Prologue

89 3 44
                                    

9.23 A.M

Suara denting senjata api yang terus memuntahkan peluru dengan suara menakutkan. Gemerlap cahaya merah api yang terlihat ketika senjata-senjata itu mengeluarkan peluru dapat terlihat di satu titik dan menembaki sisi lain dari mereka.

      "Laporkan situasi!"

Aku menghubungi seluruh anggota regu yang ada di lokasi mengunakan mini radio yang kugantungkan di telinga kiri sambil tetap melihat dari balik teropong bidik yang memiliki pembesaran optic 7x bersama dengan salah satu anggota regu yang lain di sebelahku dari ujung gunung berbatu.

      "Mereka menolak untuk bekerja sama dan mulai menembaki kami berdua!"

Salah satu anggota yang diterjunkan untuk bernegosiasi dengan regu lain membalas transmisiku. Mereka berdua sedang mendapat masalah besar. Tapi bukan itu yang kunginkan.

      "Jack, kubilang, laporkan situasi!"

Aku tetap bersikap tenang dan terus mengamati keadaan dari jarak jauh. Sedangkan, rekan yang berada di sebelahku mengamati dengan menggunakan teropong.

"Maaf, aku kurang tenang. Ada 5 musuh. Salah satunya menggunakan senapan Assault Riffle 5.56mm, 2 musuh dengan SMG, aku tidak tahu jenisnya, dan dua sisanya hanya berdiam diri, siap menghujani kami dengan LMG! Amannya, kami dapat berlindung dengan batu dan pepohonan besar. Tapi kuharap mereka tidak memiliki granat dan sebagainya."

Sepertinya gawat. Mereka hanya berdua, sedangkan musuh berjumlah 5 orang dengan senjata yang merepotkan. Kurasa memang seharusnya kami tidak melakukan negosiasi dengan mereka. Sejak awal aku sudah menyadari jika ini jebakan, dan ternyata benar.

'Sepertinya tidak ada pilihan lain.'

Aku bangun dari posisi tengkurapku dan menyerahkan senapan DSR-50 kepada rekan yang ada di sampingku. Ini adalah senapan terbaik yang dapat kami dapatkan. Dengan bantal pipi, extended magazine, dan silencer untuk meredam suara, senapan ini akan sempurna sebagai senapan runduk.

      "Raka, kau akan ke mana?"

Gadis itu bertanya padaku yang sedang menyiapkan MP5 sebagai senjata utama dan pistol USP45 sebagai senjata kedua. Kedua senjata itu sengata tidak kuberi silencer, karena tugas utamaku sekarang adalah menarik perhatian semua musuh dan menyelamatkan kedua rekanku yang sedang dalam bahaya.

      "Yah, aku akan menyelamatkan mereka. Jadi, Aisha... beri kami back up, ok?"

Memintanya sambil mengedipkan mata, kurasa akan membuat hubungan kami semakin dekat. Aku meletakkan USP45 milikku di kantong pistol yang kulingkarkan di paha sebelah kananku, sedangkan tetap memegang MP5 yang akan menjadi pertahananku.

      "Tapi, lokasi kalian adalah hutan. Bagaimana bisa?!"

Aah... ini kebiasaan buruknya. Dia dapat dengan cepat kehilangan ketenangannya. Tapi, aku sudah terbiasa dengan itu. Lagipula, dia adalah sepupuku. Kami sudah saling mengenal sejak kecil. Tapi entah kenapa dia juga ikut terseret ke tempat seperti ini.

Aku mendekat ke senapannya dan menunjuk salah satu bagian dari teropong bidik itu, lalu menyuruhnya untuk menekan sebuah tombol berwarna merah di sana.

      "Gunakan thermal mode untuk mendeteksi panas. Ingat, kami bertiga, dan musuh berlima. Jangan salah target."

Dia mencoba untuk melihat dari belakang teropong bidik dan menyadari perubahan dari sebuah tombol itu.

      "Baiklah, aku dapat melihat mereka semua sekarang. Berhati-hatilah!"

Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari belakang teropong bidiknya. Sedangkan aku hanya tersenyum dan menjawab 'tentu', lalu aku bersiap di ujung gunung bebatuan itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Battlefield In Unknown Island [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang