PADAHAL pagi ini cuaca sedang cerah tapi entah mengapa Leoni tidak bersemangat sama sekali. Mungkin itu karena yang pembicaraan tadi malam antara dirinya, Papa, dan Mamanya. Leoni mendesah pelan. Mengingat pembicaraan tadi malam, malah menurunkan 25 persen semangatnya yang hanya 50 persen. Leoni bingung. Menuruti atau tidak akan permintaan orang tuanya tadi malam. Jujur saja ia ingin menolak, tetapi melihat wajah memelas Papa dan Mamanya ia jadi tidak tega sendiri. Mungkin memang sudah saatnya ia membalas kebaikan orang tuanya selama ini dengan menuruti permintaan mereka.
Anton mengangguk pada isterinya. Memang sudah saatnya mereka membicarakan hal ini pada mereka. “Jadi gini, Papa sama Mama mau menikahkan kamu dengan anak teman Papa. Papa harap kamu mau menerimanya,” ujar Anton.
Napas Leoni tercekat mendengar permintaan Papanya. Leoni tidak menyangka bahwa ia akan dijodohkan. Leoni sebenarnya tidak keberatan jika dijodohkan karena ia yakin pilihan orang tuanya pasti yang terbaik. Tapi, masalahnya ia masih berada di bangku SMA. Apa kata orang jika dirinya sudah menikah di umur yang sangat muda. “Pa--pa, nggak salah ngomong kan?” tanya Leoni sedikit ragu.
“Enggak sama sekali. Papa sama Mama mohon kamu mau menerima ini Leoni,” lirih Anton.
“Tapi aku masih SMA, Ma, Pa. Leoni masih pingin nikmatin masa muda Leoni,” ujar Leoni diiringi air mata.
“Mama tau, Len. Tapi ini udah permintaan kakek kamu dulu.” ucap Siska.
Leoni makin tidak mengerti. Apa hubungannya ini dengan kakeknya yang sudah tiada. “Maksud Mama?”
“Kakek kamu pernah ngasih wasiat ke Mama bahwa akan menikahkan kamu dengan cucu temannya,” jelas Siska.
“Tapi kenapa harus sekarang?”
“Karena kakek kamu bilangnya, jika kalian tepat 17 tahun, sayang.”
“Kamu mau ya, Len?”
Air mata Leoni kini makin deras ketika mendengar pernyataan terakhir itu. Itu tandanya ia sudah tidak bisa menolak. Leoni sangat menyayangi kakeknya, ia tidak tega jika wasiat kakeknya tidak terlaksana. Dengan ragu akhirnya Leoni mengangguk, toh ini semua demi kebaikan bersama. Ia yakin, Papa dan Mamanya tidak akan menyerahkannya pada orang yang salah.
“Len, kok belum berangkat?”
Leoni tersadar dari lamunannya. Ia mendongakkan kepalanya menatap Siska. Siska tersenyum sembari mengelus pelan pundaknya seakan memberi kekuatan padanya yang kini tengah dilema. “Gak usah dipikirin. Mama enggak bakalan nyerahkan kamu ke orang yang salah. Udah, sekarang berangkat sekolah.” ucap Siska.
“Nih, kacamata kamu ketinggalan. Hati-hati berangkatnya!”
Leoni mengangguk lalu menyalimi tangan Siska. Setelah itu menggunakan kacamata yang sempat tertinggal tadi dan bergegas berangkat ke sekolah.
*****
Ardan sedang berkumpul bersama Fandi, Raka, Gibran, dan Gatra di kantin sekolah. Mereka sedang memakan nasi goreng Mak Dono yang terkenal sangat pedas dari stand lainnya. Padahal bel sudah berbunyi sejak 5 menit lalu, tetapi tidak ada yang berniat masuk kelas sama sekali. Cogan mah bebas, prinsip mereka berlima. Ardan si tengil dan playboy, Fandi si tiang listrik, Raka jagonya matematika, Gibran si kapten basket idola, dan Gatra kapten futsal andalan SMA.
“Dan, gimana sepatu lo?” tanya Raka.
“Santuuy, Mommy gue kesini nanti ngambil.” ujar Ardan sembari menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leoni & Ardan
Teen FictionArdan si cowok nakal, berandalan, dan playboy. Selalu tebar pesona dimana dan kapan ia berada. Tengil merupakan kewajibannya. Pintar dalam mengusili orang lain tetapi tidak dengan Fisika. Nakal boleh asal ganteng adalah prinsipnya. Leoni seorang gad...