Bab 1 Kesowo Durjana

10 0 0
                                    

Sawah terbentang luas, hamparan padi tampak menguning tapi hasilnya sangat kurang karena kualitas benih yang buruk, pupuk sangat kurang, ditambah lagi dengan kehadiran ribuan tikus yang meresahkan warga. Di pinggir sawah, terhampar kebun sangat luas sekitar 30 lapangan sepak bola. Pohon randu dan jati mendominasi kebun tersebut. Tanaman pepaya, mangga, dan lainnya nampak berbuah lumayan lebat. Di ujung sebelah barat dengan kondisi tanah yang lumayan subur, itulah perkampungan penduduk. Ada sekitar 200 kepala keluarga yang mendiami perkampungan tersebut.

Seekor elang muda hinggap di salah satu ranting pohon randu. Matanya terus mengawasi area sawah. Nampak dia mengincar sesuatu. Narpati, begitulah teman-teman memanggilnya. Nama itu adalah pemberian dari bapaknya... Si Suro, seekor elang gaek bertubuh kekar yang cukup disegani di daerah tersebut.

Angin bertiup lembut, Narpati terbang pelan. Lima detik kemudian diapun speeding dengan kecepatan sangat tinggi menuju ke area persawahan. Nampak kedua cakarnya dalam posisi siap akan mencengkeram sesuatu. Dia memang masih muda, sehingga ototnya kuat. Saat mencapai permukaan tanah, dia berhasil mencengkeram seekor tikus dengan berat sekitar 1 kg. Tuh tikus dibawanya terbang beberapa saat. Emm, dia menuju ke arah kebun sebelah barat. Biasalah, pasti akan menuju ke tempat Si Kavi... seekor ular cobra yang kedua matanya sakit parah karena beberapa bulan yang lalu berkelahi dengan Si Jolod... seekor elang gunung.

Sampailah Narpati di tempat Kavi. Diapun berteriak, "Nih kubawakan seekor tikus untuk sarapanmu. Semoga kamu bisa menikmatinya." Sengaja Narpati meletakkan tikus tersebut tepat di depan mulut Kavi. Hmm, kedua mata ular tersebut masih juga belum bisa melihat. Sedih? Iya... sakit inilah yang menyebabkan dia tak bisa lagi berburu. Sudah tiga hari ini perutnya tak terisi oleh makanan karena... hmm... mata yang tak bisa melihat membuat jiwa Kavi putus asa.

Narpati: "Silakan makan!"

Kavi: "I... i... iya, terima kasih." (langsung menelan tikus yang ada dihadapannya)

Narpati: "Aku berjanji... besok akan membawakan makanan yang lebih besar lagi."

Kavi: "Tapi jangan Babi, ya! Lemaknya banyak banget, ntar aku bisa kena stroke, wkwkwkwk."

Narpati: "Hahahaha." (setengah tertawa)

Kavi: "Kok... tertawamu terdengar kurang renyah. Emm... kenapa?"

Narpati: "Fren, emm... apakah aku boleh sembunyi di dalam sarangmu?"

Kavi: "Boleh. Hehehe, pasti Bapakmu lagi marah ama kamu, ya?"

Narpati: "Iya. Hari ini aku harus latihan terbang meluncur dari tebing yang sangat tinggi. Duh... aku capek banget."

Kavi: "Capek atau malas?"

Narpati: "Hahaha, keduanya deh. Aku minta ijin tidur bentar di sarangmu! Ntar kalau Bapakku datang mencari, bilang aja ke beliau kalau kamu tidak tahu. Deal ya?"

Kavi: "Emm, tapi menurutku... kamu memang harus latih..."

Narpati: "Iya, aku tahu. Tapi kan tidak harus hari ini. Besok masih ada hari."

------

Angin tersenyum melihat Narpati tidur nyenyak di sarang Kavi. Sejenak dia ngobrol santai dengan rumput...

Angin: "Si Suro melatih Narpati terlalu sadis."

Rumput: "Apa kata loh? Sadis? Bangsa elang mempunyai logika tersendiri, jadi janganlah kamu samakan logika dirimu dengan mereka!"

Angin: "Hmm, seminggu ini tuh elang muda harus latihan terjun dari tebing yang sangat tinggi. Dia hanya boleh membuka sayapnya ketika badannya berjarak 3 meter dari pucuk pohon. Sedikit aja dia telat membuka sayap, hmm... abis deh."

NARPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang