Part 1

19 1 0
                                    

"Arlan! Lo mau kemana bego?"

Cowok bernama Arlan itu terus berlari sembari menunjukkan sesuatu yang membuat cewek yang mengejarnya bertambah kesal.

"Feli... kejar gue kalau lo bisa"

Feli semakin mempercepat larinya tatkala cowok bersurai hitam itu berbalik sebentar dan menjulurkan lidahnya mengejek sembari melambaikan tas milik Feli.

"Woy! Bego! Kembaliin nggak tas gue"

"Nggak akan" balas Arlan tanpa menoleh. Ia sesekali melambaikan tangannya pada Feli yang masih menatapnya kesal.

"Berhenti!" Suara menggelengar itu berasal dari ujung koridor tepat arah tujuan Arlan.

Pergerakan Feli terhenti, Arlan membeku di tempat. Feli menoleh ke sumber suara. Semua mata di sana tertuju pada mereka.

Tak lama kemudian bu Anjani, guru BK di SMA Taruna menghampiri mereka berdua.

"Arlandio Kusuma, Felicia Angeline ke ruangan saya. Sekarang!"

Feli dan Arlan berjalan beriringan dengan bu Anjani di depannya. Feli menekuk wajahnya kesal karena sebentar lagi masalahnya akan bertambah satu. Arlan dengan songongnya berjalan di samping Feli tanpa rasa bersalah.

Di sinilah mereka berada sekarang, di depan bu Anjani guru BK yang terkenal sangar di pelosok SMA Taruna. Arlan terlihat biasa saja karena ia sudah terbiasa keluar masuk ruang BK. Berbeda dengan Feli yang pertama kalinya memasuki ruang terkutuk itu.

"Kalian kenapa main lari-lari di koridor? Kalian pikir sekolah ini taman bermain apa?" Bu Anjani melirik tajam kedua murid di depannya.

"Yaelah bu, belum jelas tadi ya? Feli itu ngejar saya supaya jadi pacar dia"

Feli tersentak dengan jawaban konyol yang di berikan Arlan. Barusaja Feli ingin membuka mulutnya terhenti oleh suara bu Anjani yang kelewat cempreng.

"Saya tidak mau tahu kalian pacaran atau apalah itu. Sekarang kalian bersihkan lapangan basket sampai bersih dan jangan ulangi perbuatan kalian lagi" jelas bu Anjani.

Feli hendak membalas perkataan bu Anjani terhenti lagi oleh genggaman tangan Arlan di tangannya yang tiba-tiba menyeretnya keluar.

Arlan masih setia memegang tangan kanan Feli hingga sampai di tempat eksekusi yaitu lapangan basket yang lumayan luas itu.

Feli menghentakkan tangan Arlan. menggerutu, Feli mengambil sapu lidi yang di simpan di dekat tong sampah. Ia mulai mengumpulkan daun-daun kering di sekitarnya.

"Sampai kapan lo berdiri di situ? Nggak liat apa gue kecapean bersihin nih sampah"

Kekesalan Feli membuat Arlan terkekeh geli. Cowok itu memungut daun-daun kering yang sudah terkumpul dan membuangnya ke tong sampah terdekat.

Di tengah-tengah membersihkan lapangan basket itu terdengar suara perut yang cukup keras. Arlan menoleh pada Feli yang memegang perutnya. Feli mengabaikan tatapan Arlan dan kembali melanjutkan kegiatannya. Mengabaikan perutnya yang belum terisi sejak pagi tadi.

Rencananya, Feli ingin menyusul temannya yang sudah duluan ke kantin. Tapi saat melihat Arlan membawa tas yang cukup familiar baginya, ia kemudian mengikuti Arlan. Hingga sadar tas berwarja hijau itu miliknya dan terjadilah aksi kejar-kejaran berujung hukuman membersihkan lapangan.

Arlan menepuk-nepuk kedua tangannya kemudian berkacak pinggang memperhatikan Feli tengah mengelap dahinya yang berkeringat. Arlan tahu kalau Feli tidak pernah menyentuh makanan sejak tadi pagi. Ia memang sengaja menjahili Feli yang menurutnya sangat menyenangkan.

"Arlan, gue--" Feli menengok ke belakang mencari Arlan tapi ia tidak melihat cowok nakal itu. Feli mulai mengeluarkan sumpah serapah di dalam hatinya. Tapi tangannya masih tetap bergerak mengumpulkan dedaunan kering.

Merasa tidak ada yang melihatnya Feli duduk di pinggir lapangan seraya memegang perutnya yang terasa perih. Baru setengah dari lapangan Feli bersihkan bersama Arlan tapi terasa begitu lama baginya.

Feli mendonggak saat seseorang menyodorkannya sebotol air mineral. Arlan tersenyum. Bagi Feli senyuman itu berbeda dari senyum biasanya yang terkesan menyebalkan. Di raihnya botol itu tanpa membalas senyuman si pemberi, Feli langsung meneguknya tanpa jeda hingga suara menyebalkan itu mengganggunya.

"Jangan di habisin tuh air. Makan nih" Arlan menyimpan sebungkus gado-gado di samping Feli. Awalnya Feli ragu-ragu dan hanya menatap kantong putih berisi sebungkus makanan kesukaannya itu.

"Nggak ada racunnya Feli. Mending lo makan" lanjut Arlan mulai kesal.

Feli mendelik sebal, "nggak mau ah. siapa tahu lo naruh racun di makanan itu. Lo kan nggak suka sama gue"

Arlan menaikkan alis kanannya, "siapa bilang gue suka sama lo? Nggak kali. Tapi serah lo deh kalau nggak mau gue aja yang makan, ribet banget hidup lo"

Feli menepis tangan Arlan yang hendak mengambil kantong putih di sampingnya. Ia dengan cepat membuka bungkusannya dan melahap gado-gado yang sangat di sukainya.

"Katanya nggak mau" ejek Arlan menatap Feli yang menikmati gado-gado pemberiannya.

"Diem" sahut Feli.

Arlan mengambil sapu lidi yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia menyapu dedaunan kering di sekitarnya sembari mencuri-curi pandang pada Feli yang sibuk dengan dunianya sendiri.

Feli sudah menyelesaikan makannya. Kini gantian ia yang memungut sampah yang sudah di kumpulkan Arlan. Mereka berdua mengerjakannya dalam diam. Entah setan apa yang merasuki Arlan hingga dia tidak mengeluarkan suaranya sama sekali.

Feli tersenyum senang. Akhirnya penderitaannya akan segera berakhir, Sampah terakhir sudah ia masukan ke tong sampah. Manik hitamnya menatap lekat Arlan yang sedang meneguk sebotol air mineral tidak jauh dari tempatnya.

Arlan terlihat tampan di mata Feli. Setidaknya untuk sekarang, beda lagi jika Arlan kembali ke mode setannya terlihat sangat menyebalkan bagi Feli.

Arlan menyadari Feli yang menatapnya. Seringai jahil tercetak jelas di bibirnya.

"Terpesona, eh?"

Feli memalingkan wajahnya, memilih untuk tidak bertatapan dengan manik hitam kelam milik Arlan. Feli terus menggerutu di dalam hatinya saat baru menyadari sesuatu. Ia kembali menoleh, menatap tajam Arlan yang memasang cengiran lebar.

"Arlan, mana tas gue?" Tanya Feli. Arlan berpura-pura tidak mendengarnya.

"Apa? Siapa sih yang ngomong? nggak gue liat orangnya" Arlan mencari sumber suara dan melewati Feli yang mendengus sebal.

"Arlan! Jangan main-main deh! Tas gue mana? Gue mau pulang"

Arlan berbalik, "jadi lo yang manggil. Ada apa nih? Tumben ada cewek toa mesjid di sini" senyuman menyebalkan itu tersungging di bibir tipis Arlan.

"Ish! Gue bukan toa Arlan setan! Gue ulang ya. Tas gue mana, bego?"

"Apa?" Arlan mendekatkan telinganya.

"Tas gue!" Feli memekik tidak sabaran tepat di telinga Arlan.

Arlan mundur beberapa langkah. Dengan lebaynya ia mengusap-usap telinga kanannya.

"Aduh. Sakit banget telinga gue"

"Astaga! Ya allah! Arlan nyokap lo ngidam apa waktu lo dalam perut? udah lebay, jahil, nakal, songong dan masih banyak lagi hal menyebalkan melekat dalam diri lo. Sekarang, gue tanya. Tas gue mana?" Pekik Feli lagi karena merasa sudah tidak sanggup menanggapi Arlan.

Arlan memasang wajah sepolos mungkin, "gue nyimpen tas lo di--" Arlan nampak berpikir. Lalu berlari tiba-tiba membuat Feli melongo di buatnya.

"Tas lo ada di deket tong sampah"

Teriakan Arlan terdengar di telinga Feli. Awalnya, Feli lega karena tasnya masih ada. Beberapa menit kemudian ia mulai sadar dengan perkataan Arlan.

"Arlan! Tunggu lo, ya. Gue bunuh lo" teriak Feli berlari mengejar Arlan. Habis sudah kesabaran Feli. Sebenarnya, ia ingin mengucapkan terima kasih pada Arlan tapi karena sudah terlanjur emosi seperti ini akhirnya Feli mengundur niatnya untuk berterima kasih.

ArFelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang