black grand piano

1.2K 129 5
                                    

Seoul, 2023

“Surat cerainya besok tiba”

“ya, aku akan langsung tanda tangani, jadi kita bisa segera urus ke pengadilan, dan pastikan kau menyerahkan hak asuh Jisung padaku”

“kau kira aku akan membiarkan anakku hidup dengan wanita yang bahkan tidak mengakuinya sebagai anak? Kau berharap begitu?”

“bagaimana pun dia tetap anakku! Aku yang mengandungnya! Aku yang merawatnya selama ini! Dia masih darah dagingku!”

“merawatnya? Kau bahkan lebih jarang pulang ke rumah daripada aku! Kau lebih mementingkan selingkuhanmu itu, bukan? Kau pura2 tidak tahu jika anakmu selalu menanyakan kenapa ibunya belum pulang!”

“setidaknya selingkuhanku lebih berguna dan lebih perhatian daripada dirimu!”

“kurang perhatian bagaimana aku selama ini?”

Jisung menghela nafas sebelum akhirnya memasang earphone miliknya dan mulai menyetel lagu dengan volume yang ia harap dapat meredam suara teriakan yang terus bersahutan di ruang tengah rumahnya. Ia menyesal dulu menolak usul ayahnya untuk membuat kamarnya kedap suara.

Mata sipitnya ia arahkan ke kalender kecil yang sengaja ia letakkan di atas meja belajarnya. 3 hari lagi hari ulang tahunnya yang ke-12, dan semakin hari pertengkaran kedua orang tuanya seakan tidak ada habisnya. Kemudian sepasang kelereng itu bergulir ke arah grand piano hitam yang berada di sudut kamar, hadiah ulang tahunnya yang ke-6, ia meminta piano itu sebagai hadiah ulang tahun setelah menemukan fakta bahwa dulu ibunya adalah seorang pianis yang rela mengubur semua mimpinya demi menikah dengan ayahnya yang waktu itu adalah salah satu pengusaha sukses termuda yang sibuk berkeliling dunia. Kisah cinta yang indah di awal, tapi sekarang harus berakhir karena kesalahan mereka masing-masing.

Ia benci mereka berdua. Terlepas dari seindah apapun kisah cinta mereka berdua dulu, ia membenci keduanya. Ayahnya yang gila bekerja dan ibunya yang hobi selingkuh—entah sudah berapa pria yang ia kencani di belakang keluarga mereka.

2 tahun yang lalu ia sangat bahagia saat kedua orang tuanya merencanakan untuk lebih sering berada di rumah, menemaninya yang waktu itu akan segera menginjakkan kaki ke sekolah menengah pertama, tanpa pernah berpikir bahwa senyuman keduanya saat itu hanyalah topeng belaka.

1 tahun yang lalu, ia mulai mendengar semuanya, di saat ia harus memfokuskan diri belajar untuk mengikuti ujian kelulusan, ia mendengar teriakan mereka. Tapi esok paginya, saat sang ibu menyambutnya dengan senyuman, ia memilih untuk bungkam, dan bersikap seakan ia tidak pernah mendengar apapun setiap malam.

12 bulan dan ia membenci fakta bahwa ia akan diperebutkan oleh kedua orang tuanya tepat di hari ulang tahunnya besok.

Pemuda bersurai legam itu menghela nafas kesal. Ia benci. Ia benci keduanya. Terlebih saat ia tahu mereka sudah merencanakan perceraian di umurnya yang ke-12 ini bahkan sejak ia belum bisa membaca dengan lancar.

Mereka memainkan peran dengan sangat rapi sebagai ayah dan ibu yang sangat mencintai putra tunggal mereka.

Ia sangat kecewa atas apa yang mereka lakukan selama ini. Terutama ibunya, ia kecewa pada ibunya. Sangat.

--

“pagi, sayang”

Jisung mengangguk dan menduduki kursinya, bersiap untuk sarapan. Jas dan dasi sekolahnya tersampir begitu saja di punggung kursi di sebelahnya.

“2 hari lagi kau ulang tahun, apa ada hadiah yang kau inginkan?”

Sang anak menoleh pada ayahnya yang tengah dipakaikan dasi oleh ibunya di dekat konter dapur. Hah, andai apa yang mereka lakukan itu bukan akting belaka.

PRY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang