Untitled Part 1

398 51 6
                                    

"Gadis Arab itu mencarimu lagi."

Ini kedua kalinya kalimat yang sama kudengar sore ini. Barusan tadi itu dari Mahmoud, yang sedang membungkuk di balik barisan pot-pot shisa yang ia jajarkan di depan tokonya. Toko itu bersebelahan dengan tokoku. Kami hanya dipisahkan sebuah rak setinggi bahu tempat aku meletakkan buku-buku moqoror setebal bata yang kerap dicari para pemuda-pemudi Azhar. Dari balik rak dan deretan pot itu tak tampak sosoknya. Namun Mahmoud—muadzin di berbagai masjid dengan suara khas itu—bila ia sedang bicara siapa pun di seluruh pasar ini tahu bahwa itu dia.

"Hari ini dia pakai kerudung biru."

Sosok di balik pot-pot shisa itu bersuara lagi.

Aku menoleh. Muncul ia dari sana. Tinggi menjulang, di dalam gamis hitam yang kini membuatnya terlihat seperti bayangan besar yang begitu masif. Janggut panjangnya menjuntai hingga ke leher. Ia sedang mengangkat peci putih yang kini mulai terlihat berubah warna dihantam debu musim panas—peci yang sama yang akan selalu ia kenakan tiap hendak ke masjid.

"Lalu, dia tidak takut melihatmu?" kataku, mulai menurunkan buku-buku dari meja depan toko.

Mahmoud tertawa. Berkata ia, "Temuilah dia, Yehrev, barang satu kali. Toko kain ayahnya di ujung itu, di sebelah milik Abdul. Tidak jauh. Kau tidak tahu sebelum kau mencoba, kan. Aku serius."

"Aku tidak mau ke sana sambil berpura-pura membeli kain, Mahmoud, aku tak pandai," ujarku, sambil melepas tali-tali penambat rak buku dari paku dinding. "Lagipula dia gadis Muslim Arab."

Untuk sesaat tak terdengar lagi suaranya. Hanya denting-denting pot yang berbunyi dari sana, sementara aku mulai mendorong rak buku kembali masuk ke dalam toko. Ruang di dalam ini terlihat menjadi amat sempit sekarang. Begitu banyak buku-buku yang belum terjual. Bulan Ramadhan masih jauh. Banyak buku-buku yang hanya akan terjual ketika itu—musim paling ramai di Khan Khalili sepanjang tahun—karena para pelajar baru mulai mendatangi universitas Azhar dan para Muslim sibuk dengan hari raya mereka. Hingga saat itu datang aku harus bertahan dengan ruang sempit ini.

Mahmoud sedang menarik pintu rolling tokonya saat aku kembali ke luar. Ada sepasang turis Spanyol di depannya. Hendak masuk, namun segera membalikkan badan saat melihat sosok Mahmoud yang besar dan pintu rolling toko yang telah tertutup. Mahmoud sendiri sudah bersiap pergi. Tak lagi terlihat hendak kembali membahas si gadis berkerudung biru.

"Kau tutup lebih awal," ujarku. "Ini belum maghrib."

"Aku ke Sutan Syahrir hari ini," jawabnya, mengenakan peci putih yang telah berubah warna itu. "Kau juga tutup lebih awal."

"Di rumah mulai sibuk untuk perayaan Hanukkah. Ibuku agak repot. Sinagog mulai ramai, besok aku akan tutup beberapa hari."

"Ah, iya," senyumnya mengembang senang. "Hanukkah! Jangan lupa kalkun untukku, Yehrev. Aku sudah mencicipi yang di Sayyida Zeinab, tapi benar-benar tidak ada yang seenak buatan ibumu."

Aku tertawa, mengibaskan tangan padanya sambil menarik pintu rolling toko. Ia menyambar ranselnya, memikulnya di punggung.

"Dan jangan lupa temui gadis Arab itu," ujarnya lagi. "Dia memang gadis Muslim Arab, Yehrev—tapi, dia juga seorang gadis."

Aku berbalik hendak menghadapinya, namun sebelum berkata apa-apa telah kulihat ia melesat pergi melewati lelaki Yaman penjual buah di tepi ujung gang pasar yang sempit. Langkah-langkah yang panjang segera saja membuat tubuh yang besar itu mengecil.

Aku mulai mengemasi ransel, mengantungi satu-dua buku bekas dari dalam toko untuk dibaca di dalam bis perjalanan pulang. Khan Khalili kini terlihat remang. Matahari bulat besar, turun di balik menara-menara tua masjid Azhar. Sudut-sudut jalan mulai menyalakan lampu-lampu. Kutinggalkan toko. Melewati deretan penjual buah yang sama yang tadi dilewati Mahmoud, akhirnya keluar juga dari pasar.

Kerudung BiruWhere stories live. Discover now