BAB 1

1.7K 182 29
                                    

.
.
.
.

Aku masih berumur 5 tahun ketika bertemu dengan Saint. Ibu membawanya pulang ke rumah, mengatakan bahwa mulai sekarang Saint akan tinggal bersama kami. Aku tidak mengatakan apapun pada saat itu, aku hanya menatapinya dengan ingin tahu. Ia lebih besar sedikit dari diriku, tapi Ibu bilang bahwa kami seumuran.

Ia mengenakan baju hitam berlengan panjang, celana merah pendek.selutut, dan kusadari dia memegang sebuah boneka naga berwarna hijau. Aku nyengir, laki-laki kok main boneka? Tapi cengiranku langsung lenyap ketika melihat mata coklat besarnya melotot padaku, seakan-akan dia bisa mendengar ejekanku.

"Berteman baiklah dengannya, Perth." Pesan Ibu padaku.

Ibuku jelas salah, bagaimana bisa aku berteman dengan dia? Saint tidak suka bicara, sinis, dan selalu menjauhiku. Ia selalu diam di kamarnya, keluar hanya saat makan atau karena dipanggil ibuku saja. Ibu tidak tahu dengan kebiasannya ini. Ia selalu sibuk bekerja, pergi pagi pulang malam. Hari liburpun tidak ada dalam kamus Ibuku. Alhasil aku selalu ditinggal sendiri dengan Saint. Tidak sendiri sih ada tukang masak dan pelayan yang biasanya mondar-mandir mengomeliku jika aku mengganggu pekerjaan mereka.

Suatu ketika aku tidak sengaja tertidur di ruang TV saat menonton film kartun favoritku. Semua pelayan dan tukang masak sudah pulang, tidak ada yang perduli untuk membangunkanku. Kesal, aku naik ke lantai dua dengan menggerutu. Kamarku terletak paling ujung, tepat berhadapan dengan kamar Saint. Jadi ketika aku baru mau masuk ke kamar, ku dengar ada suara tangisan. Cukup keras untuk membuatku merinding dan mematung ditempat.

Tapi beberapa menit kemudian aku sadar, suara itu berasal dari kamar Saint. Aku penasaran, jadi ku buka sedikit pintu kamarnya. Ku lihat Saint sedang berbaring diranjang sambil membelakangiku. Ku jinjitkan kakiku untuk melihatnya lebih jelas, tapi tetap tidak bisa melihat wajahnya.

Sebenarnya aku agak ragu saat melangkahkan kaki memasuki kamarnya. Aku tahu Saint pasti akan meneriakiku jika sampai tahu. Ia tidak suka aku masuk kamarnya. Tapi aku terlanjur penasaran, jadi aku masuk saja, mengendap-endap seperti maling.
Saint ternyata belum tidur. Ia hanya berbaring sambil menatapi sebuah foto berbingkai coklat yang tampak besar di tangan kecilnya. Kuperhatikan baik-baik foto itu, semuanya terdiri dari orang-orang yang berwajah mirip dengan Saint. Seorang wanita cantik sebesar ibuku, seorang lelaki bermuka serius sebesar pamanku, dan seorang lelaki agak kecil sebesar tetanggaku yang masih SMP.

"Apa itu keluargamu?" Aku menyahut, lupa kalau aku sedang mengendap-ngendap.

Saint langsung bangun. Ia menoleh padaku dan langsung menyembunyikan foto itu ke bawah bantal. Sebuah death glare menakutkan diarahkan untukku.

"Apa yang kau lakukan di sini! Keluar!"

Tuhkan dia berteriak padaku.

Aku tidak memperdulikannya, aku sudah sangat kebal. Lagipula ini rumahku, terserah aku dong mau kemana. Tapi bukan itu yang kukatakan padanya, aku tahu dia akan langsung melempariku dengan sesuatu jika kalimat itu yang keluar dari mulutku.

Jadi aku berusaha bersabar dan menanyakan rasa penasaranku, "Apa mereka keluargamu?" pertanyaanku masih sama.

Ku perhatikan tangan Saint semakin dalam masuk ke bawah bantal. Aku cemberut. Aku ingin lihat lagi. Tadi tidak begitu jelas.

Aku melompat naik ke atas ranjang, lalu menarik bantal yang digunakan Saint untuk menyembunyikan fotonya. Belum sempat Saint berkelit aku langsung menyambar foto itu dari tangannya. Lalu bergerak turun dari ranjang sebelum tendangannya bisa mencapaiku.

"Kembalikan, dasar bodoh!" Saint meneriaku, kali ini lebih lantang dari sebelumnya. Ia beranjak dari kasur lalu merampas kembali fotonya dari tanganku.

Love Is SaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang