Muda-mudi berseragam putih-putih berjalan mondar-mandir. Di jendela, tampak bawaan yang beragam. Sebagian besar membawa kertas pengecekan, sisanya membawa obat, pampers, makanan, alat pel, dan beberapa permintaan khusus seperti koran dan tusuk gigi. Aku merapikan berkas di meja. Sudah pukul sembilan, sedikit lagi waktu untuk bernyanyi.
Senin selalu paling melegakan. Mereka seolah muda lagi, tanpa beban sosial dan ekonomi. Yang diam aktif memegang mikrofon, yang psikotik tertawa-tawa, yang paling tua berjoget ke sana kemari, bahkan yang tidur pun ikut berdendang, berayun dengan jari-jemari.
Dua puluh tahun bekerja di sini adalah pengingat setia. Mereka-mereka ini, meski ada beberapa yang membuatku ikut pegal hati, mengajarkanku untuk tidak pernah berhenti bersyukur. Apalagi, sedikit lagi usiaku menyusul. Mungkin aku akan bernasib sama, mengeluhkan darah tinggi, penyakit gula, varises, sakit pinggang, punggung pegel, juga mengompol dan tidak bisa tidur. Yang paling kasihan yang kesepian sampai depresi. Moga-moga anakku kelak tidak seperti itu. Tentu aku sangat ingin banyak bertemu anak dan cucu-cucuku di masa tua.
"Pak, si mbah sudah berjalan ke aula," kata salah satu staff.
Aku mengangguk, berjalan keluar dan menutup pintu. Di luar, kulihat pemain musik sudah siap. Aku sendiri akan duduk di belakang gong, tempat kesukaanku. Bernyanyi aku tak pandai. Makanya, daripada sumbang dan melukai pendengaran orang lain, lebih baik aku mengiringi saja.
Pernah sekali kunjungan datang berasal dari Banyuwangi. Ternyata ada Mbak Emilia Contessa. Suasana jadi meriah. Si mbah senang sekali bisa bernostalgia, menyanyikan lagu-lagu lawas, langsung bertemu dengan idola mereka. Aku jadi ikut senang. Mbah yang tak kunjung dijenguk bernyanyi paling keras. Mbah yang korban gempa bumi memeluk Mbak Emillia. Mbah yang hidup sebatang kara mengajak temannya menari, bergandengan tangan sambil menggoyangkan panggul. Seandainya mereka selalu bahagia seperti itu.
"Pak, ada mbah yang minta lagu Koes Plus. Gimana?"
"Oh, ya sudah. Nyalakan spiker saja, ndak usah pakai tembang."
Kalau lagu pop begitu biasanya tidak bisa pakai gong. Nanti aku duduk di samping saja, dokumentasi. Hitung-hitung menyicil untuk laporan bulanan. Oh, bisa sekalian siap-siap untuk Rabu besok. Kunjungan tahunan dari sana tidak pernah mengecewakan. Walaupun pernah sekali ada mbah yang stres karena dijanjikan akan didatangi lagi. Tapi tetap, aku selalu suka dosen-dosennya, juga mahasiswanya. Kalau mahasiswa habis datang, biasanya mbah-mbah jadi lebih ceria. Kadang aku heran, kalau bertemu pemkos dan psikolog mereka tidak sebegitunya. Mungkin karena mahasiswa masih muda, tenaganya masih banyak, semangatnya masih berkobar, jadinya si mbah lebih terpacu untuk aktif juga.
"Tul jaenak jae jatul jaeji, kuntul jare banyak ndoge bajul kari siji!" Mbah Kasidah memegang mikrofon. Suaranya paling bagus, dia juga selalu paling semangat bernyanyi.
"Ayo mbah, nyanyi lebih keras!"
"Tul jaenak jae jatul jaeji, kuntul jare banyak ndhoge bajul kari siji!" Yang lain ikut bernyanyi, aku pun tanpa sadar mengikuti liriknya.
"Abang-abang gendero Londo ..."
"Wetan sithik, kuburan mayit."
"Klambi abang nggo londo moto ..."
"Wedhak pupur nggo golek duwik."
Tul jaenak jae jatul jaeji, kuntul jare banyak ndhoge bajul kari siji. Burung kuntul dibilang angsa, telur buaya sisa satu. Dulu bapakku suka setel lagu itu di radio. Isi lagunya parikan: kita harus jujur, jangan bilang kuntul jadi angsa, nanti kekayaan (telur buaya) jadi habis.
"Pak! Ada tamu di depan, katanya ada mbah yang mau dititipkan."
Waduh. Penitipan mbah baru sudah berarti berita buruk. Bukan buat badan pelayanan, tapi buat si mbah dan keluarganya. Kami hanya bisa menerima mbah yang bermasalah; entah hidup sebatang kara, keluarga tidak punya uang untuk mengurus, penderita psikotik ringan, atau mbah-mbah kurang beruntung yang keluarganya 'tidak sanggup' mengurus. Alasannya bermacam-macam, mbahnya egois lah, tidak bisa diatur lah, anak dan menantu mengancam cerai kalau mbah ada di rumah lah, sampai alasan yang kadang terkesan mengarang-ngarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampah #8: Kaus Kaki si Mbah
KurzgeschichtenPenitipan mbah baru sudah berarti berita buruk. Bukan buat badan pelayanan, tapi buat si mbah dan keluarganya. Kami hanya bisa menerima mbah yang bermasalah; entah hidup sebatang kara, keluarga tidak punya uang untuk mengurus, penderita psikotik rin...