SOS 01

352 25 24
                                    

Sound of Silence
Kita berbicara dalam diam, dari hati ke hati.
Kita saling berbagi rasa dalam diam, namun tak bisa memiliki.

©2019 written by aoihere

Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi seputus asa ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi seputus asa ini. Mungkin sejak satu menit yang lalu, dua minggu yang lalu, sebulan yang lalu, setahun lalu, atau bahkan sejak aku dilahirkan dulu. Aku tidak benar-benar tahu. Aku putus asa. Aku putus asa untuk banyak hal yang tidak pernah mampu kuraih. Jika saja Tuhan mau berbaik hati untuk mengabulkan permintaanku, mungkin tidak akan kutemui diriku terjebak dalam pemikiran seperti ini. Tapi jika kupikir sekali lagi, sebenarnya Tuhan sudah bermurah hati padaku. Buktinya Dia masih membiarkan aku bernapas hari ini. Ya, meskipun rasanya sedikit sesak.

“Apa yang kau lakukan disini?”

Ah, rupanya suara lembut itu yang membuat napasku terasa sedikit sesak. Ehm, bukan. Kupikir senyumnya. Atau mungkin... semuanya. Semua yang ada padanya membuat napasku terasa sesak.

“Ah, pasti kau baru saja membeli sesuatu, ya?”

Aku bahkan belum memberikan jawaban, tapi dia sudah kembali melemparkan pertanyaan yang berbeda. Aku ingin tersenyum mendengarnya. Sejauh yang kutahu dari pertemuan kami yang baru seumur jagung, dia memang tipikal orang seperti itu.

“Tentu saja kau baru membeli sesuatu. Ini kan minimarket. Astaga, pertanyaanku jelas-jelas tidak bermutu, ya?” ucapnya lantas terkekeh geli.

Ya, Tuhan. Bolehkah aku membawanya pulang ke rumahku saja? Dan juga... hey, apa kau tahu? Senyum manismu itu membuatku semakin bermimpi untuk bisa meraihmu.

Ah, mimpi itu.

“Taka, aku masuk ke dalam dulu, ya? Setelah ini kita harus bicara banyak hal. Aku juga ingin berbagi sedikit cerita denganmu.”

Berbagi banyak cerita pun tak apa, nona. Dengan senang hati aku akan menjadi pendengarmu. Apapun asal aku bisa berada di dekatmu.

Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Dia balas tersenyum dengan manisnya. Kemudian tanpa menunggu lama, dia benar-benar melangkahkan kaki untuk memasuki minimarket.

Ah, Akira. Seandainya kita bisa jadi nyata.

Tapi bukankah aku terlalu egois untuk meminta?

Kembali keputusasaan menelanku bulat-bulat. Terlebih ketika kuingat sebuah kalimat; terkadang Tuhan hanya mempertemukan, bukan menyatukan. Barangkali itu benar. Lagipula, atas dasar apa kami disatukan? Karena jika soal perasaan, kupikir hanya aku yang merasakan. Tidak dengannya. Dia tidak tahu apa-apa.

Dan kurasa... aku juga tidak ingin memberitahunya. Aku tidak punya keberanian, jujur saja.

“Kau melamun, Taka?”

Sound of SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang