SOS 02

203 21 37
                                    

Minggu pagi, aku dikejutkan dengan kedatangan Akira. Berdiri di depan pagar rumahku, aku hampir tidak percaya bagaimana dia bisa sampai disini. Maksudku, sebelumnya aku tidak pernah memberitahu letak rumahku padanya. Jadi ketika pagi-pagi aku hendak membuang sampah ke bak sampah depan, aku cukup terkejut mendapati dia disini. Dia berdiri disana. Mengulas senyum hangat sementara aku masih mengernyitkan dahi.

“Selamat pagi, Cael,” sapanya kemudian memangkas jarak diantara kami.

Aku yang awalnya tidak mengerti hanya membalas ucapannya dengan senyuman. Cael? Aku tidak tahu apa itu Cael.

“Kau pasti terkejut ya karena aku tiba-tiba datang kemari?” ucapnya lagi sebelum aku sempat membalas sapaannya. “Ehm, aku hanya ingin bertemu denganmu saja,” imbuhnya kemudian meringis lebar.

Tidak. Aku tahu dia pasti menyembunyikan sesuatu. Sebab tatapan matanya terlihat berbeda.

Baiklah, karena berdiri disini sedikit tidak nyaman, maka kupersilahkan dia masuk ke rumahku. Dia menurut meski awalnya meragu.

Taka
Ada apa, Akira?
Apa kau ada masalah?
Kau terlihat berbeda hari ini

Akira mengulas senyum yang kuyakini itu hanyalah sebuah bentuk kepura-puraan. “Tidak, Taka. Aku tidak apa-apa. Aku hanya...” ucapannya menggantung selama sepersekian detik. Hingga kemudian tangannya merogoh sling bag warna pastelnya. Pikiranku mendadak penuh karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak ingin kupercaya.

“Aku hanya ingin memberikan ini,” imbuhnya dalam satu tarikan napas. Dia menyodorkan sebuah kertas semi tebal berdesain menarik yang mau tidak mau harus kusebut sebagai undangan.

Ya, undangan pernikahan.

Pernikahan Akira dan kekasihnya.

Jadi... aku benar-benar harus mundur sekarang?

Taka
Kau akan menikah, Akira?
Wah selamat kalau begitu
Aku turut senang mendengarnya

Kuyakinkan diriku sendiri untuk terlihat baik-baik saja. Sementara dia menunduk membaca pesanku pada layar ponselnya. Setelah itu dia menoleh kembali padaku. Menatap dengan sendu, aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan.

“Terimakasih. Tapi sejujurnya ada sesuatu yang kupikirkan, Taka.”

Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. Dan seolah paham dengan maksudku, dia kembali bersuara. “Aku harus ikut dengannya setelah menikah. Maksudku, aku harus ikut dia kembali pulang ke Amerika.”

Ah, tidak ke Amerika saja kau sudah tidak bisa kuraih, Akira. Bagaimana jika kau benar-benar pergi kesana? Mungkin aku memang harus merelakanmu sepenuhnya.

“Aku takut aku tidak bisa merasa nyaman disana. Entahlah, aku hanya merasa takut saja tiba-tiba.”

Taka
Bukankah Amerika hampir menjadi mimpi setiap orang?
Kau tidak perlu merasa takut, Akira. Kau pasti akan baik-baik saja
Lagipula kau kan selama ini sudah terbiasa melakukan perjalanan berpindah-pindah
Jadi kupikir kau pasti akan baik-baik saja disana

“Tapi aku akan menetap disana, Taka. Kecil kemungkinan aku akan kembali kesini.”

Aku mencoba menahan rasa sesakku. Dia tidak boleh tahu. Tak apa. Maka sebisa mungkin aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku akan baik-baik saja. Ya, semoga aku bisa baik-baik saja.

Taka
Lalu apa yang jadi masalahnya?
Apa kau takut jauh dari orang tuamu?

Akira membuang muka ke arah jendela setelah membaca pesanku. Entah aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan, tapi kupikir dia pasti punya banyak beban. “Aku takut banyak hal. Termasuk takut tidak bisa bertemu lagi denganmu.”

Sound of SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang