1. Doh Kyungsoo

86 3 0
                                    

Sinar mentari perlahan menyusup ke celah mata Kyungsoo, menginterupsi seluruh mimpi yang ia bangun dalam semalam. Mengerang, Kyungsoo menolak untuk bangun. Ia benci dengan ide untuk bangun di pagi hari. Ia benci beranjak dari kasur empuknya yang hangat dan menapakkan kaki ke bumi yang dingin dan kejam. Baginya melakukan hal-hal sederhana seperti ini tidaklah mudah sebab Kyungsoo berharap untuk setiap jamnya adalah malam. Setiap jamnya yang ia habiskan sendiri. 

Lelaki kecil ini kemudian mengerjapkan matanya beberapa kali lalu memandang langit-langit apartemennya yang sudah mulai  membusuk karena air hujan. Ia pikir itu akan runtuh dalam kedipan mata. Tetapi Kyungsoo tetap membiarkannya. Tak ada alasan baginya untuk memperbaiki ataupun pindah dari apartemen ini meskipun ia memiliki banyak uang.

Tik...Tik...Tik...  

Ini menyedihkan. Batin Kyungsoo. Ia bisa mendengar detak jam dengan jelas. Jam yang terletak beberapa jauhnya darinya. Tidakkah menyedihkan? Bagaimana kau hidup dalam kesunyian yang amat pekat sehingga hal-hal seperti dentuman jam pun terdengar jelas di telingamu. 

Membuang berbagai pikiran buruk yang sudah mulai menggentayangi dirinya, Kyungsoo berjalan keluar dari kamar. Ia pergi menuju dapurnya yang kecil namun terasa nyaman. Tentu untuk membuat secangkir kopi manis diawal hari.

Harum  kopi menguar, menyerbak memenuhi seluruh apartemen kecil Kyungsoo. Setidaknya secangkir kopi ini selalu setia menemaninya. Itu saja sudah cukup. 

Kyungsoo kemudian duduk disalah satu kursi dapurnya. Melipat kaki di atas kaki lainnya, mengetuk-ngetukkan jari yang memunculkan suatu irama. Bersenandung kecil sambil menatap koran kemarin yang dibelinya. 

Dan entah kenapa ia membeli koran. 

Padahal ia tidak suka membaca kertas hitam-putih monoton itu. Sedetik, suatu gambar kecelakaan mobil menarik sedikit perhatiannya. Kecelakaan Tunggal Terjadi di Jalanan Seoul, Satu Orang Tewas. Kyungsoo mendengus. Ia memohon dalam setiap doa untuk kematiannya, namun tampaknya Tuhan memberikan hal itu kepada orang lain. Betapa dunia ini membencinya.

Tak ingin lagi membuang waktu, Kyungsoo beranjak dan bergegas mandi. Ia yakin Jongdae sudah menunggunya dengan wajah masam.

----------

"Apa yang kita bicarakan tentang tidak terlambat di hari kerja Doh Kyungsoo?" Jongdae menahan geram.

"Maaf."

"Kau mengatakan itu setiap hari Kyungsoo. Dengar, aku mencoba untuk membantumu di sini oke? Jika bos mendengar bahwa kau terlambat setiap hari seperti ini, dia akan memecatmu." Jongdae berusaha meredam amarahnya.

"Dia tidak akan tahu," Kyungsoo mendengus.

Jongdae mengangkat tangannya. Menyerah menghadapi Kyungsoo yang keras kepala. Ia berlalu ke dapur sambil mengatakan aku sudah memeringatkanmu. 

Pagi ini cukup cerah melihat betapa cerianya matahari bersinar di luar sana. Jalanan Seoul ramai dengan aktivitas manusia yang monoton dan memuakkan. Orang-orang berlalu-lalang terbawa arus waktu. Ada yang tergesa berangkat kerja, ada yang bersenandung riang sambil menendang sekaleng cola, ada juga pemabuk menjijikkan yang baru berjalan pulang dari aktivitas malamnya.

Kyungsoo duduk di salah satu pojok cafe tempatnya bekerja. Dari sini semuanya terlihat begitu jelas. Sebaliknya, tidak semua orang bisa melihat ke sudut ini jika tidak berjalan lebih dekat. Lengkap dengan seragam pelayannya, Kyungsoo duduk menunggu orang yang akan ia layani. Belum ada pelanggan yang datang mengingat ini masih pagi hari. Jarang ada orang yang mencari sarapan di cafe bukan? Setidaknya itulah yang Kyungsoo pikirkan.

Ending SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang