2. Kim Jongin

58 2 2
                                    

"Kau datang."

"Tentu saja, untuk teman bangsatku."

"Diamlah. Aku tau kau menyayangiku lebih dari apapun."

"Hahaha, teruslah bermimpi bodoh."

"Yayaya, terserah padamu Jongin. Kopi?"

"Tidak, terimakasih. Aku tahu kalau kau tahu bahwa aku membenci kopi."

"Kukira kau sudah mulai mencoba untuk meminumnya?"

"Aku hanya mencoba bersikap dewasa."

"Well, baguslah kalau kau berpikir demikian. Aku sudah muak dengan sikap manjamu."

"Hei, aku bersikap manja hanya dengan orang yang kusayangi, kau tahu?"

"Haruskah aku merasa tersanjung?"

"Tentu saja." Pria bernama Jongin tersenyum puas.

"Cih."

"Sudahlah, kau tidur saja," Jongin bangkit dan membawa pria satunya ke atas tempat tidur. Ia membantunya merebahkan diri dan menyelimuti tubuhnya dengan baik. Tak lupa satu kecupan di atas kening dan untaian kata selamat tidur yang meluncur lembut dari bibirnya.

Pria bernama Jongin itu kemudian kembali duduk di tempatnya semula. Menyesap sedikit kopi yang tadi ia tolak, mengecap rasa pahit dan manisnya, lalu mendecih. Kopi memang tak cocok untuknya. 

Jongin lalu menoleh ke arah jam dan melihat tersisa 17 menit lagi sebelum pukul delapan malam. Ia kembali merenung sambil menatap apartemen kecil dan sederhana ini. Sangat tak pantas sekali untuk pria yang sedang tertidur di seberang sana. Bukannya ia pria miskin atau apa, tapi kenapa harus apartemen ini? Atap yang bahkan hampir roboh, air yang tak berjalan lancar, dan bau pengap memenuhi seluruh ruangan kecil ini. Jongin bahkan berpikir setidaknya ada satu atau dua tikus yang bersembunyi di sekitar sini. Hal ini sangatlah dramatis dan menyedihkan. Ia tak berpikir bahwa di sinilah akhirnya. Masa-masa muda yang penuh harapan dan kenaifan, segala keringat dan kesempatan yang berakhir di sebuah ruangan sempit dan hampir tak berharga. Jongin mengepalkan tangannya kuat-kuat. Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya mereka berdiri di atas panggung kemenangan dan menatap orang-orang bodoh itu dari tempat tertinggi. Berdiri dengan kebanggaan dan ego. Bahwa kau mempunyai bakat dan orang menyukainya. Mereka menyediakan seni dan orang-orang akan membayar mahal untuk itu. 

Jongin membiarkan desahan panjang keluar dari indera pernapasannya. Ia menatap jam silver metalik yang setia bertengger di tangan kirinya. 8 menit lagi sebelum pukul delapan malam. Segelas Bourbon lah yang paling ia butuhkan saat ini. Lelaki dengan kulit gelap itu berdiri dan menyambar jaket maroon-nya. Ia menatap sekali lagi pria satunya yang sedang tertidur pulas dan mungkin sedang hanyut dalam mimpi. Wajahnya begitu tenang dengan ritme pernapasan yang teratur. Jongin tersenyum getir. Ia meraih kenop pintu dan menutupnya sepelan mungkin. Mungkin memang inilah akhirnya. Jongin tersenyum pahit pada pintu coklat kayu yang termakan rayap di sudut kanan bawah. 

Well, tidak juga. Setidaknya begitulah yang ia pikirkan ketika ia mendengar dengan jelas suara gumaman yang bernada. Cukup asing namun terdengar akrab. Terdengar begitu indah namun menyayat hati. Beberapa jarak jauhnya dari Jongin, seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri menunggu lift. Tubuhnya begitu kecil dan terlihat rapuh. Entah kenapa. 

Jongin melangkahkan kakinya dan berjalan pelan ke arah pria itu. 

Selangkah... 

I can't overcome the sadness in my heart

Dua langkah...

Ending SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang