Note: Cerita ini aku buat terinspirasi dari kasus yang dosen aku kirimkan untuk tugas Jiwa aku. Entah asli, entah fiktif---kemungkinan besar, sih, fiktif. Karena itu adalah kasus fiktif. Nggak semua bagian aku ambil. Jadi, enjoy!
"Sayang, ayo, dong, makan. Kalau kamu nggak makan, nanti nggak bisa minum obatnya. Gimana kamu mau sembuh kalau begitu?"
Melvino Zayyan Arkana seolah tidak memedulikan ucapan Bunda yang duduk di kursi di samping bed dengan tangan yang memegang nampan berisi makanan milik Arka. Ia langsung melajukan kursi rodanya, menuju jendela yang menghadapkannya langsung pada kehidupan Kota Jakarta yang padat. Kedua manik cokelat milik Arka yang teduh menatap langit yang tampak bersih, tanpa awan putih.
"Udah, Bunda. Arka nggak mau ngelanjutin semua ini." Arka berbisik lirih. Kepalanya tertunduk, menatap kaki kanannya yang kini tidak sempurna, setelah menjalani prosedur amputasi untuk mencegah penyebaran sel kanker ke daerah tubuhnya yang lain, beberapa bulan yang lalu. "Arka udah capek, Bun. Udah, ya, nggak usah dilanjutin lagi."
Bunda terhenyak untuk sesaat. Diletakkannya nampan tersebut di atas nakas, lalu, Bunda menghampiri Arka. Dipeluknya putra satu-satunya itu dengan erat dari belakang. "Kamu ngomong apa, sih? Jangan gitu, ya. Kita harus tetap berusaha, Sayang. Demi kesembuhan kamu," balas Bunda.
"Tapi Arka capek, Bunda. Udah cukup Bunda sama Ayah ngeluarin banyak biaya untuk suatu hal yang bahkan belum tentu bisa aku raih."
Tangan Arka meraih kedua tangan Bunda yang melingkar di pundaknya. Diusapnya perlahan dengan mata yang terpejam, sementara ia menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan oksigen. Tak lama, Bunda melepaskan pelukannya. Ia berlutut di hadapan Arka, lalu meraih tangan laki-laki tersebut. Bunda menunduk dalam dengan titik air kata yang membasahi pipinya, setelah berhasil lolos dari pelupuk matanya.
"Maafin Bunda, Sayang ...." Bunda berujar lirih. Suaranya terdengar bergetar. "Maaf karena Bunda nggak bisa membesarkan kamu dengan baik."
Arka lantas tersenyum lembut. Bagaimana pun keadaannya, Arka tetap harus terlihat kuat. Meski dirinya harus kehilangan anggota tubuhnya, meski sel kanker yang awalnya hanya menjangkiti tulangnya, kini bermetastasis ke paru-parunya, meski kemungkinan Arka bisa terus bertahan sangatlah kecil, Arka harus bisa tetap tersenyum. Karena Arka tidak ingin hari-hari terakhirnya di dunia yang indah ini justru diisi dengan kesedihan.
"Bunda ...." Arka memanggil Bunda, membuat wanita yang sudah melahirkannya lima belas tahun yang lalu itu mendongak. Kedua netra Bunda bersitatap dengan netra indah milik Arka yang senada dengan milik suaminya tersebut. Bunda lantas merasa sedih. Entah sampai kapan Bunda bisa terus menatap mata hangat itu, Bunda tidak tahu.
"Kenapa Bunda justru minta maaf? Seharusnya, Arka yang minta maaf. Maaf karena Arka udah nyusahin Bunda sama Ayah. Maaf karena dengan kehadiran Arka di dunia ini, justru nambah beban buat Bunda sama Ayah." Arka berujar, masih dengan suaranya yang terdengar ceria, seolah menutupi kesedihan yang ingin melesak ke luar.