Diary Biruku

48 10 1
                                    

Saya tidak tau harus mulai dari mana. Karena apa yang akan saya ceritakan layaknya kisah tidak berujung.. Lebih tepatnya, belum. Saya belum menemukan ujungnya.

Baiklah..
Mari kita sebut saja Cinta yang Bertepuk Sebelah Tangan? Hahaha.
Ini bukan pengalaman pertama, tapi rasa-rasanya kali ini lebih pekat.

Berawal dari kagum, saya tidak tau jika setelahnya saya akan tenggelam terlalu dalam. Sampai-sampai sekarang rasanya sulit sekali untuk sekedar bernapas normal dihadapan dia.
Seharusnya dulu saya tidak perlu mengenalnya. Tapi apa kuasa saya? Hal ini sama sekali tidak bisa saya hindari.

Dan benih itu seolah tertanam sendiri setelah mata kami bertemu, dan tangan kami saling menjabat. Dia tersenyum, itu juga menjadi siraman pertama yang memicu timbulnya tunas. Kemudian, dihadapan kami semua, dia tunjukkan budi pekerti luhur yang terlihat sudah mendarah daging dengannya. Sempat saya kira ini hanya mimpi.. Berlebihan memang.

Saya katakan begitu karena ini memang kali pertama saya temukan orang yang dengan kepribadian begitu gemilang. Hal tersebut lantas meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya.

Seharusnya kami tidak perlu bertemu hingga puluhan kali, atau lebih. Tapi sekali lagi, apa kuasa saya?
Dampaknya, puluhan pertemuan itu membuat perasaan tumbuh tak terkendali.

Saya merasa sangat senang ketika berada di dekatnya. Dia memperlakukan saya dengan amat-sangat-baik. Begitu pula dia memperlakukan yang lain. Tapi itu bukan masalahnya, justru hal tersebut yang membuat saya jatuh hati padanya.
Namun saya sadar akan posisi. Dengan kepribadian yang begitu mengagumkan, tentu bukan hanya saya yang tanpa sengaja dia buat jatuh. Maka itu, saya tidak bergerak maju. Saya biarkan diri saya menjadi pengagum saja, tidak saya izinkan lebih dari itu. Saya mulai memberi batasan-batasan pada diri saya sendiri. Saya tidak mau jika lagi-lagi harus menyembuhkan hati dari sakitnya cinta sendiri.

Namun waktu ke waktu kami semakin dekat.. dan mengejutkan, dia mulai terbuka pada saya. Dari sekian banyak, saya kah yang dia pilih untuk diberi kepercayaan lebih? Hal itu membuat saya melupakan batasan-batasan yang telah saya buat.

Saya keliru ketika mengira itu adalah penyambutan yang mempersilahkan saya masuk.
Saya benar-benar keliru.

Ternyata dia miliki dinding yang hampir runtuh dibalik senyum yang dia suguhkan pada kami semua.

Kemudian saya temukan penyebabnya, sekaligus memperlihatkan bahwa didalam dirinya adalah bukan saya..
Barulah saya kembali sadar.. Saya bumi, sedangkan dia adalah langit.

Namun bagaimana?
Perasaan saya terlanjur mengakar, batangnya kokoh, daunnya sudah rimbun.

Haruskah saya merasa terhormat dan berterima kasih saat dia menjadikan saya sebagai orang kepercayaannya? Orang yang dia percayai untuk menumpahkan keluh kesah.. ...atas ketidak berhasilannya memiliki gadis yang dia impikan?

Dia terluka begitu dalam, begitu pun saya.
Dia mencintai gadis yang memposisikannya sebagai opsi kedua, sedangkan saya mencintainya yang bahkan tidak mengetahui bahwa lukanya membuat saya terluka juga. Lebih dalam, lebih menyakitkan.

Berhari-hari saya membaca sajak-sajak yang teramat dalam maknanya, khusus dia ciptakan untuk gadisnya.
Kemudian saya tanggapi dengan sajak yang saya buat dengan makna lebih dalam lagi.. untuknya. Dan yang dia tau hanyalah bahwa kami sama-sama malang.

Dia terus bersajak tentang gadis itu, dan saya pun terus membuat sajak tentangnya sebagai tanggapan. Menyakitkan, bukan?

Tapi di antara kalian mungkin ada yang merasakan hal yang sama seperti saya.

Di mana kalian ikut merasa sakit, ketika orang yang kalian cinta terluka.

Begitulah..
Saat dia terluka, saya merasa lemah sekali. Luka sendiri saja tidak bisa diatasi, maka bagaimana saya bisa menyembuhkannya?
Saya ingin dia sembuh lebih dulu.. Setelahnya biarlah saya mengurus diri saya sendiri.

Kemudian saya tempatkan senyumannya pada tingkat utama. Saya melakukan apa yang saya bisa agar dia kembali pulih.
Sayang, hanya gadis itu yang dapat memulihkannya.

Singkat cerita,
Akhirnya dia mendapatkan pemeran utama dalam sajaknya.
Dia sembuh. Dia bahagia.

Lantas bukankah seharusnya saya senang?
Ntah mengapa sakit malah semakin tidak terelakkan.

Maka selanjutnya saya memilih untuk menyebrang dan berjalan lebih cepat dari mereka. Kemudian berlari, saya ingin menghidar.. menjauh dari mereka yang sudah bahagia.

Mereka tertinggal di belakang sana,namun tawanya menggema di telinga saya..

Sakit, saya menutup telinga. Tidak mau dengar.

Mereka tertinggal di belakang sana, namun bayangnya seolah di depan mata saya..

Sakit, saya pejamkan mata. Tidak mau lihat.

Mereka tertinggal di belakang sana, namun seolah tidak ada artinya.. Saya semakin lelah, saya sudah berlari tapi merasa tidak kemana-mana.

Dan kini saya menjadi Perempuan Sakit.

Perempuan SakitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang