Satu-satunya kode yang diberikan Junmyeon padanya tadi malam cuma, pakaianmu yang santai, ya, tapi tetap rapi dan sopan. Juhyun berusaha menebak-nebak, ke manakah Junmyeon akan mengajaknya, barangkali ke kolega-kolega barunya, memperkenalkan Juhyun. Namun sebagai apa? Hubungan mereka lebih dari sekadar teman, tetapi mereka berdua masih sama-sama ragu untuk kembali menyebut kata 'kekasih', istilah yang telah terlalu membosankan untuk mereka berdua. Jadi, Juhyun mencoret kemungkinan itu. Junmyeon tidak mungkin merisikokan suasana yang canggung antara dirinya dan kolega-kolega yang bergengsi tinggi gara-gara soal status.
Mengajaknya ke restoran baru? Terlalu misterius jika hanya itu tujuannya. Atau mengajaknya berbelanja? Tidak mungkin pula dengan isyarat seperti itu jika cuma untuk berbelanja bersama, suatu kegiatan yang lumrah mereka lakukan paling tidak sebulan sekali.
Sebagai buah dari ketidaksabarannya dan keingintahuannya, Juhyun berdandan lebih cepat dan siap setengah jam sebelum waktu Junmyeon menjemput.
Junmyeon pun datang lebih cepat dari yang ia duga, baru lima menit ia duduk di sofa apartemennya setelah selesai memilih sepatu, Junmyeon sudah membuka pintu depan-pria itu sudah mengetahui kode kunci apartemen Juhyun seperti rumahnya sendiri-dan menyapanya. Junmyeon berdiri sambil tersenyum di samping sofa saat mengamati pakaian dan sepatu yang melekat di tubuh Juhyun.
"Jangan protes, ya, kalau pakaianku tidak sesuai. Kau tidak bilang kita akan ke mana, sih."
"Tidak." Junmyeon duduk di sisi lain sofa. "Sempurna. Kita cocok," katanya, menunjuk bajunya dan pakaian Juhyun. Sama-sama biru walaupun berbeda nada. Ia memakai kemeja biru muda dengan lengan yang digulungnya hingga siku, dan Juhyun memakai kaos lengan panjang berwarna biru dongker, jinsnya abu-abu terang.
"Aku harus tahu kita ke mana."
"Kau akan tahu sebentar lagi." Junmyeon meraih tangannya, kemudian berjalan meninggalkan sofa. Juhyun dengan tertatih-tatih mengikutinya, memasukkan kakinya dengan benar karena sedari tadi ia hanya menginjak bagian belakang sepatunya.
Perjalanan yang mereka tempuh terasa agak familiar bagi Juhyun, walaupun ia jarang menempuh jalur itu, ia tahu dari cerita-cerita Junmyeon bahwa jalan ini adalah ...
... dugaan Juhyun benar. Jantungnya langsung berdegup kencang begitu Junmyeon memasuki area parkir yang tak biasa bagi Juhyun ini. Lelaki itu nyengir ketika Juhyun menoleh dengan ekspresi horor yang nyata padanya begitu Junmyeon mematikan mesin mobilnya.
"Ayah sedang kosong hari ini, jadi ini kesempatan yang bagus. Mumpung kau belum mulai syuting juga."
"Kalau kau bilang mau ketemu orangtuamu, aku bisa pilih pakaian yang lebih baik," bisik Juhyun, setengah ketakutan setengah kesal. "Aku pakai skinny jeans!"
"Mereka bukannya ingin pergi ke pesta. Tenang saja, ini adalah hari santai keluarga Kim."
Juhyun melepas sabuk pengamannya dengan lambat, Junmyeon menungguinya cukup lama di depan pintu yang sudah dibukakannya. Dengan satu tarikan napas, ia pun akhirnya keluar, menyambut uluran tangan Junmyeon yang sebenarnya tak terlalu perlu-tetapi ia masih menganggapnya sebagai suatu kebiasaan yang ia nikmati dari Junmyeon.
Pemukiman ini bukan pemukiman biasa. Juhyun tahu beberapa artis papan atas yang tinggal di sini, atau beberapa politikus ternama, kalangan-kalangan akademisi yang punya posisi. Ini kali pertamanya memasuki tempat ini, lebih-lebih ia sedang menuju salah satu tempat orang yang punya pengaruh itu. Ia meneguk ludahnya berkali-kali sambil menggandeng lengan Junmyeon untuk mengurangi rasa cemasnya.
"Mereka sudah tahu aku akan datang?"
"Ya. Malah, Ibu ikut membantu merencanakan apa saja yang akan kita lakukan hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
forever in you
FanfictionJunmyeon boleh narsis. Tampang? Cek. Uang? Duh. Jabatan? Sebentar lagi dia punya sesuatu yang menarik untuk ditunjukkan pada Juhyun. Tapi, Sayang, Juhyun tidak semudah itu dibuat terkesan.