answer

217 42 6
                                    

Juhyun mulai rajin mengunjungi rumah Junmyeon di hari-hari berikutnya. Sembari menunggu kepulangan lelaki itu, ia membersihkan isi rumahnya pelan-pelan. Mencuci sprei dan semua sarung bantal, menyetrika baju-baju Junmyeon yang berada di lemari. Meski ia selalu pulang malam hari, ia menyempatkan diri untuk pulang ke sana, dan baru kembali ke apartemennya pada pagi hari untuk bersiap-siap syuting kembali.

Pada hari Sabtu, hari kepulangan Junmyeon, ia mendapatkan jatah syuting yang sedikit sehingga ia bisa pulang pada sore hari. Ia pun memberanikan diri untuk melakukan sesuatu yang sudah dipikirkannya sejak awal minggu—ia menghubungi sebuah nomor ponsel dengan was-was.

"Halo, Juhyun, ya?"

Juhyun menarik napas dalam-dalam, "Ya, Bu. Apa Ibu punya waktu?"

Di seberang sana, Ibu Kim terkekeh. "Tentu saja aku selalu punya waktu untukmu, Sayang. Ada apa?"

"Aku sedang berada di apartemen Junmyeon. Aku ingin menyiapkan sesuatu untuk kepulangannya ... Ibu ingin ikut? Aku ingin membuat kue dan tetap berada di sini sampai dia pulang. Bagaimana?"

"Tentu saja aku ingin bergabung, Nak! Aku akan ke sana sekarang. Tunggu, ya. Jangan mulai buat kuenya tanpa aku, lho."

Setengah jam kemudian, ia dan Ibu Kim sudah berada di dapur bersama-sama untuk memanggang kue. Untuk makan mereka berdua, ia sudah menyiapkan makanan dari katering yang dipesannya sebelum ia datang. Mereka menikmati makan sore itu sembari menunggu kue tersebut matang. Penerbangan Junmyeon sudah berlalu sepuluh jam lebih, sehingga Juhyun memperkirakan kedatangannya pasti tak begitu lama lagi.

"Boleh aku bertanya beberapa hal tentang Junmyeon?" Juhyun memberanikan diri membuka topik pembicaraan ini, saat ia lihat Ibu Kim sudah hampir selesai makan.

"Tentu, Hyun-ah." Dia menggeser kotak makannya ke tepian meja, lantas melipat tangannya di atas sana. "Apa yang ingin kau ketahui?"

"Apa dia pernah marah besar di rumah—paling tidak sebelum dia tinggal terpisah? Maksudku... aku ingin tahu, seperti apa sifatnya di hal-hal yang tidak pernah kulihat. Selama ini dia memang tidak pernah marah seperti itu padaku ... aku hanya ingin tahu."

Ibu Kim menelengkan kepala, yang Juhyun rasa semakin membuatnya penasaran. "Dia anak yang membanggakan kalau soal emosi. Dia tidak pernah meledak-ledak. Walaupun kami tinggal bersama hanya sampai dia remaja, sebelum dia jadi trainee, tapi dia tidak pernah memberontak. Saat dia sudah jadi trainee, bahkan idol sekali pun, setiap kali dia pulang dia tidak pernah benar-benar membuat kekacauan."

"Menurutmu, Bu, apakah karena dia menahannya atau dia memang tipe yang tidak akan pernah seperti itu?"

"Sebagai ibunya, aku tahu sifatnya memang seperti itu. Dia tidak suka perkelahian. Sifat-sifat naturalnya tampaknya bergabung dengan posisinya di grup. Dia tetaplah Junmyeon yang kaukenal, Hyun-ah."

Juhyun mengangguk-angguk, baru menyadari bahwa sedari tadi ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja sebagai pengalihan rasa gugup. "Apa dia pernah ... membicarakan soal pernikahan padamu?"

Mendengarnya, Ibu Kim tertawa halus. "Tentu saja pernah. Aku mengenal namamu dari ceritanya tentang itu ... dan itu sudah cukup lama berlalu. Saat itu aku tanyakan padanya, apakah dia punya seseorang yang serius dia cintai, dia jawab ada. Tapi hubungan kalian masih belum menentu, dan dia pikir belum saatnya karena kalian juga masih dalam posisi yang sulit, terutama soal karir. Aku salut dengan kesabarannya dalam tujuan-tujuan hidupnya. Dia pekerja keras yang menanti hasil dengan tenang—bukan seorang pekerja keras yang terburu-buru. Kaulihat, 'kan, seberapa lama dia menunggu untuk menjadi seorang artis?"

Juhyun hampir-hampir tidak berkedip saat menyimaknya. Bahkan ia tak mendengar bunyi microwave dan Ibu Kim yang harus menyadarkannya dengan kalimatnya, kuenya sudah matang, Hyun-ah.

forever in youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang