Gerimis masih membasahi kota pagi ini ketika seorang wanita berdiam diri di tempat pemakaman umum. Hanya tudung jaket hitam yang melindunginya dari gerimis. Sudah tiga puluh menit berlalu Kania berada disana. Mata coklatnya memandangi dua batu nisan bertuliskan nama orang tuanya. Satu batu nisan terlihat masih baru, sedangkan yang lain sudah termakan oleh waktu. Sang Ibu memiliki penyakit kanker yang sudah menggerogotinya sejak tujuh tahun yang lalu harus meninggalkan Kania sendirian tepat satu minggu yang lalu. Sedangkan sang Ayah sudah lebih dulu meninggalkannya sejak lima tahun yang lalu karena kecelakaan.
Sudah lama Kania merasa sendiri. Puncaknya ketika sang Ibu benar-benar pergi meninggalkannya, sehari kemudian kekasihnya mencampakannya. Sampai saat ini mantan kekasihnya itu tidak mengubunginya, memberi bela sungkawan pun tidak. Kania sadar bahwa sudah tidak ada seorangpun yang peduli dengannya lagi. Bahkan perkuliahannya hancur berantakan. Seakan dunia ikut membencinya. Dia ingin mengakhiri segalanya, tapi sadar bahwa akhirat juga tidak ingin menerimanya.
Ketika gerimis tiba di ujung rintik, Kania merapihkan tanah makam orang tuanya kemudian beranjak pergi. Pakaiannya sudah sangat basah karena tubuhnya tidak terlindungi oleh payung. Air matanya sudah tercampur dengan air hujan. Tapi Kania sama sekali tidak menghiraukannya, dia terus berjalan meninggalan makam tersebut. Beberapa hari yang lalu Kania berpikir untuk mendaki Gunung Semeru seorang diri. Mendaki gunung bukan hal pertama baginya, karena sang Ayah sudah mengenalkan gunung dan alam sejak dirinya masih kecil. Tapi mendaki Gunung Semeru sendirian adalah hal baru baginya. Mungkin terdengar gila bagi sebagian orang. Tapi persetan dengan pikiran orang lain, toh tidak ada yang peduli lagi dengannya. Jadi dia sudah membulatkan tekadnya untuk mendaki gunung tertinggi di Pulau Jawa itu.
Sesampainya di rumah, Kania langsung mandi membersihkan tubuhnya kemudian mempersiapkan segala sesuatu untuk dibawanya mendaki gunung. Sejak kemarin dirinya sudah mulai mempersiapkan. Mulai dari tenda, sleeping bag, kompor lipat lengkap dengan perlengkapan makan, serta banyak logistik lainnya untuk dipakai beberapa hari kedepan. Setelah menyiapkan dan mengeceknya berulang kali khawatir ada yang tertinggal, Kania memasukan semua perlengkapan kedalam ransel besar ukuran 75 liter.
Dirinya langsung bergegas mempersiapkan diri. Setelah semuanya sudah siap, dia mengangkat ransel besarnya. Ketika akan keluar kamar, ransel besar itu menyenggol lemari hingga sebuah benda terjatuh. Kania mengambil benda tersebut, sebuah buku tulis berukuran kecil. Buku itu berisi catatan yang sering ditulis Kania jika sedang merasa jenuh. Ketika dibuka, di halaman pertama buku tersebut ada sebuah foto Kania bersama mantan kekasihnya. Tak terasa, satu tahun telah berlalu semenjak foto itu diambil. Kania tersenyum kecut menatap foto tersebut, membuatnya berpikir bahwa ternyata apa yang dijaga pasti akan pergi pada waktunya.
Buru-buru Kania menghapus pikiran yang tak perlu. Dirinya langsung membuang foto tersebut ke tempat sampah dan membawa buku itu bersamanya. Dia melangkah keluar dari kamar. Sebelum Kania benar-benar pergi, dia menatap kamarnya sekali lagi. Buku-buku yang menumpuk di atas meja belajar, beberapa foto hasil jepretannya yang terpampang di dinding, beserta untaian kenangan yang ada di segala benda dalam kamarnya. Lalu, dia menutup pintu kamar itu. Melewati ruang tamu, dirinya berjalan menuju pintu depan. Kemudian keluar dan mengunci pintu rumahnya.
Ditemani panas matahari yang sangat terik, Kania tiba di Stasiun Kereta Api Bandung tepat pukul tiga sore. Manusia ramai berlalu-lalang, melakukan kegiatan masing-masing. Seorang satpam tersenyum pada orang yang baru datang, sesekali memberikan jawaban jika ada yang bertanya padanya. Banyak orang yang datang dan pergi silih berganti. Kania menuju loket tempat penukaran tiket kereta. Setelah mendapatkan tiketnya, dia langsung menuju peron sesuai dengan yang tertera di tiket.
Arlojinya sudah menunjukan pukul 15.15, dan kereta yang akan membawanya ke Kota Malang sudah siap sejak tadi. Kania langsung memasuki gerbong 5. Saat sedang mencari kursinya, dia terkejut karena tidak sengaja menabrak sebuah ransel yang lebih besar jika dibandingkan punyanya. Laki-laki pemilik ransel itu langsung menengok dan meminta maaf kepada Kania. Kania hanya membalasnya dengan senyuman, tanda dirinya tidak masalah dengan kejadian tadi. Kania kembali mencari kursinya, setelah menemukannya dia menaruh barang bawaannya di atas kepalanya dan duduk tepat disamping jendela. Dirinya tidak sengaja bersitatap dengan laki-laki pemilik ransel besar itu. Langsung saja dia membuang mukanya menghadap jendela kereta sambil memasang earphone ke telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNCAK EDELWEIS
Short StorySemua orang pasti pernah merasakan saat dirinya terjatuh. Tapi bagaimana rasanya jatuh disaat kau sedang terjatuh? Dan kemudian terbangun di puncak tertinggi Pulau Jawa? . . . "Puncak gunung bukanlah tujuan yang harus dicapai, tapi pulang dengan se...