Pilihan

4 0 0
                                    

Aku tak pernah berpikir dua kali dalam mengambil keputusan. Lebih suka bertindak baru berpikir. Hingga pada akhirnya aku seringkali menyesali keputusan yang telah kubuat. Yah! Aku  mungkin harus memperbaiki kepribadianku ini. Kebiasaan buruk yang tak perlu dipertahankan. 

Mataku terasa panas dan lelah. Majas hiperbola adalah majas yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku saat ini, bola mataku hampir keluar dari tempatnya. Dia seakan bisa melompat kapan saja ke atas keyboard laptopku karena begitu lelah. 

Aku sudah memasukkan segala kata kunci yang cocok untuk menemukan akun media sosialnya. Aku juga men-scrool beribu nama yang memiliki username yang sama dengan namanya. Tetapi sudah setengah hari aku melakukannya, tak juga aku menemukan orang yang kucari. Aku mencoba mengabaikan segala kemungkinan bahwa dia telah mem-blokir-ku dari semua akun medsosnya. Jangan sampai itu terjadi, jika memang begitu aku sebaiknya menangis saja. 

Kepala dan tengkukku sangat berat. Aku mencoba meregangkan persendianku agar tak terlalu kaku. Tetapi sia-sia, kebugaranku telah mencapai klimaksnya. Aku telentang di atas kasur pengantinku. Pinggangku ngilu karena terlalu lama telungkup dan duduk secara bergantian sejak Subuh tadi. 

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kamarku yang telah disulap menjadi seperti kamar putri-putri dalam negeri dongeng 1001 malam. Didominasi warna biru laut dan putih, warna kesukaanku. Selimut berwarna biru dengan walpaper angsa yang sedang berpelukan menggunakan lehernya membuatku bergidik.

Aku membuka kembali laptopku, tak bisa sepenuhnya menyerah untuk menemukannya. Tetapi kemudian bau rendang menusuk hidungku. Membuatku pusing dan seperti dehidrasi. Sejak hari pernikahan ditentukan, tiba-tiba aku merasa pusing dengan bau rendang. Aku merasa mual. Aku harus menemukan Murat secepatnya. Seseorang harus membantuku untuk melarikan diri dari pernikahan ini. Dan tak ada satupun yang aku inginkan selain Murat. Ayolah, dia dimana? Tolonglah aku.

Ini semua salahku. Awalnya aku tak bisa menyalahkan diriku sendiri. Keadaanlah yang salah, namun kemudian aku membuatnya semakin memburuk. Percuma! Percuma jika kau mencintaiku tetapi tak bisa membantuku melarikan diri. Itulah kalimat spontanitas yang keluar dari mulutku saat melakukan komunikasi melalui skype bersama Murat. Aku menangis, dan dia terdiam di ujung sana. Aku saat itu begitu putus asa. Antara mencintai dan membenci. Aku tak tahu siapa yang aku cintai dan siapa yang aku benci. Bukan, aku tak tahu apa yang aku cintai dan apa yang aku benci. 

Kita sudah pernah membahas ini. Kau harus bersabar menantikanku. Aku masih begitu sibuk dengan jadwal kuliahku. Musim libur yang akan datang aku akan menjemputmu. Tak bisakah kau bersabar sedikit lagi? Aku tetap saja marah mendengar penjelasannya. Dan semakin marah karena mengingat pernikahanku akan berlangsung beberapa hari lagi.

AKU TIDAK MAU! Aku tidak mau lagi bersabar untukmu. Kita akhiri saja hubungan yang selama ini memang sangat aneh untuk dijalani.

Percakapan itu menjadi  percakapan terakhir kami. 

Aku melangkahkan kaki menuju dapur. Kulkas mungkin satu-satunya benda di rumah ini yang mampu membantu mendinginkan perasaanku yang kacau balau dan memanas. Aku menyesap minuman dingin. 

"Ni Lis beruntung ya punya mantu dokter." 

Seorang ibu yang memasak di dapur bersuara, menggoda bundoku. Percakapan itu membuatku jengah. Memangnya kenapa kalau dia dokter? Dia hanyalah seorang lelaki brengsek dengan jas dokter. Memikirkannya saja membuatku muak. Sungguh aku tak ingin menikah dengannya. Tak bisakah dia memilih wanita lain. Aku tahu dia bisa saja memilih wanita lain, tetapi kami sudah dijodohkan. Ah! Aku ingin berteriak. Atau aku kabur saja dari pernikahan ini? Ya, sebaiknya aku kabur saja.

"Mayang, ke sini sebentar." 

Suara Abah mengagetkaku. Beliau memanggilku dari ruang shalat. pakaian shalatnya masih rapi lengkap dengan tasbih di tangan kanannya. Tiba-tiba saja perasaan sedih melingkupiku. Entah datang darimana perasaan itu. Kemudian sekelebat bayangan masa kanak-kanak dengan Abah juga berlarian di benakku. Aku belum siap menikah. Aku masih gadis kecil ayah dan ibu. Ini benar-benar berat untukku. Aku melawan air mata yang tertahan di kantung mataku yang sembab. 

"Ada apa, Bah?"

Abah memintaku untuk duduk bersisian dengannya. Di depan ayah sebuah mushaf alQuran tertutup rapat. "Nak, besok tibalah masanya abah melepaskan tanggung jawab abah terhadapmu. Tanggung jawab itu akan diemban oleh Andi. Lelaki yang telah abah dan bundo pilihkan untukmu."

Abah berhenti sejenak, aku tak bisa menahan air mata mendengar suara abah yang serak pun menahan tangis. "Jadikanlah ia tempatmu mereguk surga. Jangan kamu pernah membantah kata-katanya, jangan pernah berteriak kepadanya, dan jangan pernah melukai harga dirinya. Jagalah martabatnya dan bahagiakanlah ia."

Aku terisak. Ingin rasanya aku merengek pada abah, menyatakan bahwa aku belum siap menikah. Tetapi aku tak bisa, abah dan bundo telah memilihkan dia untukku. Aku tak ingin mengecewakan abah. Aku mengagguk takzim mendengarkan nasehat abah, mampukan aku menjalankan nasehatnya? Di perjalanan menuju kamar, aku telah memilih untuk menjalankan segala nesehat abah semampuku. Aku telah memilih untuk menjalani takdirku. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, aku tak tahu. Abah dan Bundo juga tak tahu. 


Janji Bunga TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang