Penikahan

5 0 0
                                    

Anak kecil berlarian dengan riang gembira di halaman rumah gadang. Pemuda-pemudi juga tampak bahagia dengan pesta pernikahanku. Ramai orang yang datang memenuhi undangan dan mengucapkan selamat. Semoga samawa, sakinah, mawaddah, warahmah. Itulah doa yang paling sering diucapkan ke telingaku. Sesekali aku juga digelitik teman semasa kuliah atau semasa kanak dulu. "Lagaknya mau kerja dulu, haram akan menikah sebelum menikmati hidup." Mereka mengolok-olokku di antara rasa gundahku.

Aku tertawa masam mengingat kalimat yang sering kulontarkan ketika menyusun skripsi. Betapa payahnya mendapatkan gelar sarjanaku. Makan tak enak, tidur payah, lantas aku harus menyambut pernikahan selepas kuliah. Rasanya seperti keluar mulut harimau masuk mulut buaya. Masih terngiang di telingaku, bagaimana teriakanku menyambut pesta kelulusan. Aku akan traveling keliling Indonesia lagakku menjawab setiap pertanyaan rencana selepas kuliah.

Namun seperti itulah, rencana tak selalu berjalan baik. Nyatanya aku malah terjebak dalam rutinitas menjadi ibu rumah tangga nantinya. Mengingatnya membuatku kesal. Lelaki itu berdiri di sampingku, sekalipun belum pernah dia menyapaku sejak ijab kabul. Aku benar-benar tak kuasa menahan kesal. Kapankah pesta ini akan diakhiri. Aku tak tahan.  Dia tersenyum ramah pada setiap tamu undangan yang menyalaminya. Tetapi memasang wajah angkuh saat orang-orang tak melihatnya. Entah kenapa Abah memilihkan dia untukku.

"Yang,sini deh. Ih, gimana sih caranya bisa dapat suami seperti udamu itu? Wajahnya tampan, kerjaannya mapan, dan tubuhnya bak binaragawan." Jamilah tak dapat menahan liurnya yang menetes. 

Aku melepaskan diri dari cengkeraman tangannya. Sekilas aku melihat lelaki itu tersenyum puas Entahlah, mungkin aku salah lihat karena kelelahan melihat laptop kemarin dan menangis malam harinya karena akan berpisah dengan Abah dan Bundo. "Mil, tak selalu yang tampak baik itu baik." Aku berkata agak keras, senagaja agar lelaki itu mendengarnya. Tampan? Bagiku tak!

Jamilah mendengus kesal karena tak kuacuhkan lagi. Dia lantas pergi menyantap hidangan dengan kesal sambil terus melihat lelaki yang berdiri di sampingku. 

***

Badanku pegal-pegal dan sepertinya masuk angin. Pesta yang memakan tenaga dan biaya yang tak sedikit. Sebenarnya aku ingin pesta yang sederhana saja. Tak perlu ada tari Pasambahan, tak perlu sembelih kerbau, tak perlu hidangan berlebihan, juga tak perlu ada orgen segala. Cukup dihadiri kerabat dan tetangga dekat dengan hidangan yang biasa saja. Tetapi Abah dan Bundo mengatakan bahwa pesta ini adalah hal yang wajar, mengingat aku adalah anak semata wayang mereka. 

Ah hatiku kembali diliputi perasaan sedih, bagaimana mungkin Abah dan Bundo memilihkan lelaki ini untukku. Tentu Abah dan Bundo paham betul, jika aku menikah dengan lelaki ini maka kami akan berdomisili di Jakarta. Di sanalah lelaki itu ditugaskan. Tak risaukah Abah dan Bundo melepasku? Sedang ke Padang saja, untuk urusan kuliah tak pernah rela mereka melepaskan. Sekali dua minggu aku dikunjungi jika aku tak bisa pulang. Lah, ini. Aku dilepas ke negeri rantau, sanak saudaraku tak ada di sana. Aku yang biasa dibesarkan dengan sistem keluarga metrilineal, bisakah menyesuaikan diri. Tinggal di rumah yang satupun tak mengenal tingkah polahku, satupun tak pernah memanggil nama kecilku, dan satupun tak pernah mendengar tawa atau tangisku. 

Di luar suasana pesta masih terasa. Beberapa kerabatku dan kerabat lelaki itu masih bercengkrama mendekatkan diri. Dia juga di sana. Sayup aku bisa mendengar percakapan mereka.

"Mayang itu memang sedikit manja, tetapi mudah-mudahan dengan sedikit latihan dan pengajaran darimu--sebagai suaminya, dia dapat berubah dan menyesuaikan diri dengan usianya."

Itu kata-kata Bundo. Aku tak dapat menerima pandangan bundo tentang diriku. Aku bukanlah manja seperti yang bundo katakan dan aku tak perlu pengajaran dari siapapun untuk memperbaiki kepribadianku. Jika memang kepribadianku tak baik, maka aku sendirilah yang berhak memperbaikinya. 

Aku kaget karena pintu kamar berdecit. Aku tak tahu itu siapa karena aku langsung pura-pura tidur di balik selimut bergambar angsa yang sedang berpelukan itu. Jantungku berdegup tak karuan. Bagaimana kalau itu adalah lelaki itu? Aku harus bagaimana. Tak lama kemudian terdengar lagkah kakinya memasuki kamar mandi. Itu pastilah dia! Udara dalam selimut terasa pengap. Aku mencoba mengeluarkan sedikit mukaku agar hidungku bisa menghirup udara. Tetapi rasa gerah di dalam selimut tak dapat hilang. Aku harus keluar dari kamar ini. Kulkas. Satu-satunya alat yang dapat membantuku.

Aku melewati orang-orang yang sedang berkumpul dengan bergegas. Mencari kulkas dan membuka pintunya lebar-lebar. Menghirup udara dingin sebanyak-banyaknya memenuhi paru-paruku. Lalu menarik sebotol minuman dingin rasa asam. Aku butuh sesuatu yang menyegarkan.

"Kenapa di sini?"

Aku melongo. Seseorang yang aku kira adalah lelaki itu berdiri mematung di sampingku. 


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Janji Bunga TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang